Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENIT ke-81 di Stadion Maguwoharjo, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 6 November 2018. PSS Sleman menjamu Madura FC di babak delapan besar Liga 2.
Menerima umpan lambung dari garis belakang, pemain PSS Sleman, Slamet Budiono, mengoper bola kepada Ilhamul Irhaz di sayap kiri. Sesungguhnya, Ilhamul sudah berdiri jauh di depan garis off-side. Tapi wasit cadangan Agung Setiawan, yang menggantikan koleganya, Pahlevi, di pertengahan babak kedua, tak kunjung meniup peluit tanda pelanggaran.
Ilhamul terus menggocek bola, lalu mengirim umpan ke mulut gawang Madura FC. Bek Madura FC, Chairul Rifan, yang berdiri bebas, malah menyundul bola masuk ke gawang sendiri. Madura FC keok 0-1. Manajer Madura FC Januar Herwanto menyebut momen tersebut sebagai skandal “offside dua kilometer”. “Kental aroma match fixing-nya,” kata Januar, Kamis pekan lalu.
Bukan kali itu saja Januar merasa ada keanehan saat klubnya berlaga di Liga 2. Lawannya pun PSS Sleman. Syahdan, pada 1 Mei 2018, sehari sebelum pertandingan, Januar ditelepon Hidayat, yang saat itu menjadi anggota Komite Eksekutif Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia. Hidayat meminta kepada Januar agar Madura FC mengalah di Stadion Maguwoharjo.
Offside pemain PSS Sleman, Ilhamul Irhaz, yang berujung pada gol bunuh diri bek Madura FC, Chairul Rifan, dalam pertandingan 8 besar Liga 2 Indonesia di Sleman, November 2018. Youtube Official Liga 2/TV One
Menurut Januar, Hidayat awalnya mengiming-iminginya Rp 100 juta. Januar menolak. Tawaran naik menjadi Rp 150 juta, plus garansi bahwa PSS Sleman akan gantian mengalah saat Laskar Jokotole—julukan Madura FC—melakoni laga kandang di Sumenep, Madura. Kepada Hidayat, Januar meminta waktu untuk berpikir dan berjanji menelepon balik.
Selang beberapa menit, mereka kembali bercakap-cakap di telepon. Kali ini, Januar mengajak pelatih Madura FC ikut mendengarkan obrolan di telepon lewat mode pengeras suara. Di situ, Januar menampik permintaan Hidayat. Dalam pertandingan esoknya, Madura FC menang atas tuan rumah PSS Sleman dengan skor 2-1.
Kepada wartawan di Hotel Aston, Jakarta Selatan, pada 29 Desember lalu, Hidayat mengaku bahwa seseorang yang bukan bagian dari pengurus PSS Sleman mengontaknya pada Mei 2018. Orang tersebut meminta kepada Hidayat agar Madura FC mau menukar kemenangan di Sleman dengan di Sumenep. Hidayat adalah mantan pemilik klub Persibo Bondowoso, cikal-bakal Madura FC, sehingga dianggap masih punya pengaruh di Laskar Jokotole. “Dia mencoba menelepon untuk merencanakan skenario itu,” ujar Hidayat.
Akibat skandal pengaturan pertandingan itu, Hidayat mundur sebagai anggota Komite Eksekutif per 3 Desember. Sehari setelah itu, Komite Disiplin mengumumkan sanksi larangan beraktivitas di sepak bola selama tiga tahun terhadap Hidayat. Ia juga dilarang masuk ke stadion di Indonesia selama dua tahun serta didenda Rp 150 juta. “Saya melakukan itu sebagai akibat kelalaian saya dan tak pernah menghubungi siapa pun lagi terkait dengan Liga 1 ataupun Liga 2,” kata Hidayat.
PS Tira (kostum putih) melawan PSMS Medan dalam laga lanjutan Liga 1 Indonesia 2018 di Stadion Pakansari, Bogor, Jawa Barat, 5 Desember 2018. ANTARA /Yulius Satria Wijaya
Pelatih PSS Sleman, Seto Nurdiantoro, menyebut keberhasilan PSS Sleman di Liga 2 karena tim bekerja keras, alih-alih lantaran faktor pengaturan skor. Adapun Sismantoro, mantan Manajer PSS Sleman, yang mundur awal Januari ini, mengatakan klubnya tak pernah berbuat curang selama mengarungi kompetisi musim lalu. “Kami bersih, tak pernah terlibat pengaturan skor,” ujar Sismantoro.
JEPARA, November 2017. Manajer kesebelasan Persibara Banjarnegara, Lasmi Indaryani, menyaksikan Pra-Pekan Olahraga Provinsi cabang futsal. Di stadion, ia bersirobok dengan Johar Lin Eng, anggota Komite Eksekutif PSSI sekaligus Ketua Asosiasi Provinsi PSSI Jawa Tengah. Mereka kemudian mengobrol.
Di tengah obrolan, Johar memperkenalkan Priyanto, anggota Komite Wasit PSSI, yang saat itu ada di Jepara untuk mengawasi pertandingan. Mereka bertukar nomor telepon. Sore berkenalan, malam harinya Priyanto mengirim pesan kepada Lasmi. “Dia bilang mau membantu mengawal futsal Banjarnegara,” kata Lasmi, Rabu pekan lalu.
Sekitar sebulan setelah kompetisi futsal di Jepara, Priyanto bertamu ke rumah Lasmi di Purwokerto, Jawa Tengah. Mbah Pri—sapaan Priyanto—mengajak dua wasit futsal. Salah satunya Anik Yuni Artikasari alias Tika, yang diperkenalkan sebagai anak. Belakangan, Tika menjadi asisten Lasmi, yang membawanya menjadi perantara duit dari Lasmi kepada pejabat teras PSSI.
Manajer Madura FC Januar Herwanto setelah diperiksa Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim di Jakarta, 21 Desember 2018. ANTARA/Rivan Awal Lingga
Dalam pertemuan di rumah Lasmi, Priyanto menawari Persibara Banjarnegara promosi dari Liga 3 ke Liga 2 jika menyetor Rp 400 juta. Lasmi baru memenuhi permintaan itu ketika Persibara mulai berkompetisi pada 2018. “Cita-cita semua kabupaten ingin naik kasta dan disebut harus ada kontribusi untuk orang pusat,” ujar Lasmi.
Lasmi menyetor Rp 400 juta dalam empat kali transaksi di Bank Mandiri sepanjang September-Oktober 2018. Ke nomor rekening 1350007181xxx milik Priyanto di Bank Mandiri, Lasmi mentransfer Rp 350 juta. Sisanya dikirim ke rekening 9000036916xxx milik Tika. Tempo mencoba mentransfer ke dua nomor rekening tersebut lewat anjungan tunai mandiri. Di layar, keluar nama Priyanto dan Tika sebagai pemilik akun.
Terhadap uang itu, Tika membuat rekapitulasi belanja yang diberi judul “Road to Liga 2”. Rincian itu memuat penggunaan duit dalam dua laga Persibara melawan Berlian Rajawali di Semarang dan Banjarnegara. Dalam laga di Banjarnegara, Lasmi merogoh dana untuk wasit sebanyak Rp 30 juta dan untuk transportasi Mbah Putih Rp 10 juta. Mbah Putih adalah nama alias Dwi Irianto, anggota Komite Disiplin PSSI.
Dalam pembukuan yang sama, tercatat aliran duit untuk akomodasi dan transportasi seseorang berinisial BM senilai Rp 13,5 juta. Inisial tersebut merujuk pada Bang Mansur atau Mansur Lestaluhu, anggota Departemen Wasit PSSI, yang ditengarai berperan mengatur wasit. Ada juga anggaran untuk karaoke sebesar Rp 15 juta.
Mantan Manajer Persibara, Lasmi Indaryani, menunjukkan rekening koran bukti transfer untuk memuluskan jalan Persibara promosi ke Liga 2. TEMPO/Shinta Maharani
Mansur mengaku pernah menerima duit dari Priyanto saat berada di Semarang. Menurut dia, Priyanto memberikan uang itu karena mereka telah berkarib sejak sama-sama meniti karier sebagai wasit. “Diberikan waktu karaoke,” kata Mansur. “Tapi saya tak punya kuasa mengatur wasit.”
Saat laga di Semarang, buku kas Tika juga mencatat kiriman Rp 30 juta untuk wasit. Selain itu, ada transfer untuk Johar Lin Eng dan Dwi Irianto, masing-masing Rp 50 juta. “Kalau kami enggak nurut, bisa saja tim langsung dimatikan,” ujar Lasmi.
Alih-alih naik kasta ke Liga 2, Persibara bahkan gagal lolos ke babak delapan besar Liga 3. Ini merupakan putaran final untuk memperebutkan enam tiket promosi musim 2019.
Pada saat kompetisi bergulir, Lasmi ditawari menjadi manajer tim nasional U-16 putri. Tawaran datang dari Johar Lin Eng. Kepada Lasmi, Johar berjanji memutuskan lokasi pemusatan latihan di Banjarnegara. Lasmi sekaligus diminta menyandang dana bila usul itu disetujui.
Tanpa pikir panjang, Lasmi menerima gagasan itu. Tawaran Johar lantas ditindaklanjuti anggota Komite Eksekutif PSSI lainnya, Papat Yunisal. Dalam percakapan lewat WhatsApp pada Agustus 2018, Papat mengirimkan rencana anggaran pemusatan latihan. Banjarnegara waktu itu dipilih karena dianggap beriklim serupa dengan Kirgistan, tuan rumah kejuaraan sepak bola putri junior.
Perkenalan Lasmi dengan Papat merambah hal lain di luar sepak bola. Pada September 2018, Papat menghubungi Tika, asisten Lasmi, untuk menyampaikan soal keterlambatan honor dari PSSI. Kepada Lasmi, Tika mengatakan Papat butuh Rp 25 juta. Namun Lasmi hanya sanggup mentransfer Rp 10 juta ke nomor rekening 13000001249xxx atas nama Papat pada 16 September 2018.
Kepada wartawan di Jawa Tengah, pengacara Johar, Khairul Anwar, mengatakan penangkapan kliennya oleh polisi merupakan bagian dari pemeriksaan. “Status Pak Johar masih dimintai keterangan,” ujar Khairul, akhir Desember lalu.
Anak Dwi Irianto, Berlandika Candra, tak yakin ayahnya terlibat dalam skandal pengaturan pertandingan. “Beliau selama ini orang jujur. Kami tak percaya dia terlibat,” ucap Berlandika.
Soal keterlibatan Priyanto, Sekretaris Jenderal PSSI Ratu Tisha Destria menyebutkan organisasinya bersedia berkoordinasi dengan pengacara pribadi anggota Komite Wasit tersebut dan mendampinginya selama proses hukum. “Kami juga berkepentingan mengetahui fakta sebenarnya untuk menegakkan disiplin ke-olahragaannya,” kata Ratu Tisha.
Papat Yunisal menyatakan tak pernah menerima duit dari Lasmi. Menurut dia, rancangan anggaran untuk tim nasional wanita adalah hasil perhitungan Lasmi dan timnya. “Bukan ranah saya untuk menghitung itu,” ujar Papat.
LIGA 1 menyisakan enam pertandingan sebelum musim berakhir. Pada pekan ke-28 itu, PS Tira berada di zona degradasi. The Young Warriors—julukan PS Tira—bersaing dengan Mitra Kukar, Sriwijaya FC, dan PSMS Medan agar tak turun -kasta.
Tak mau tim asuhannya terlempar dari Liga 1, pelatih PS Tira waktu itu, Nil Maizar, buru-buru mengontak seseorang di Jakarta. Kepada orang itu, Nil Maizar meminta tolong agar tim yang semula bernama PS Tentara Nasional Indonesia tersebut diselamatkan dari degradasi. Orang di ujung telepon menyanggupinya. Syaratnya, ia minta dipertemukan dengan petinggi klub.
Pertemuan terjadi di salah satu restoran di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, dua hari sebelum pertandingan PS Tira melawan Persija Jakarta pada 10 November 2018. Pria yang dimintai bantuan Nil Maizar itu bertemu dengan pengelola PS Tira, Kusmanto Harapan.
Dua orang yang mengetahui cerita pertemuan tersebut mengatakan pria itu meminta Rp 300 juta per pertandingan. Duit itu akan dipakai untuk mengatur wasit dalam pertandingan PS Tira dan tiga tim lain di zona degradasi. Mereka bersepakat.
Pria itu pun menjalankan operasinya. Sehari sebelum pertandingan di Stadion Wibawa Mukti, Cikarang, ia mengajak Nasrul Koto, anggota Komite Wasit PSSI, meriung di salah satu kedai kopi di dekat kompleks Meikarta. Nasrul diminta mengatur wasit yang akan memimpin laga.
Waktu itu, PS Tira berhasil menahan imbang Persija Jakarta, yang akhirnya menjadi kampiun Liga 1. Dari enam pertandingan sisa, PS Tira meraih 10 poin, hasil dari tiga kali menang, sekali seri, dan dua kali kalah. Raihan poin itu cukup membawa PS Tira bertengger di peringkat ke-15 klasemen akhir, satu setrip di atas zona degradasi—sesuai dengan skenario.
Nil Maizar saat melatih PS Tira. ligaindonesia.id
Kusmanto Harapan mengatakan timnya tak meminta bantuan kepada pihak lain agar selamat dari degradasi. “Mana mungkin. Tak ada pemberian apa pun,” ujar Kusmanto. “Kami berjuang agar bisa lolos degradasi.”
Nil Maizar sempat menjawab panggilan telepon dari Tempo pada Kamis pekan lalu. Ia awalnya menyimak pertanyaan tentang dugaan permintaan menyelamatkan PS Tira dari degradasi. Tapi tak lama kemudian dia menutup teleponnya. “Halo, halo, halo...,” ujarnya sebelum menutup panggilan. Ia mengalihkan panggilan telepon berikutnya dan tak menjawab pertanyaan yang dikirim lewat Whats-App.
Adapun Nasrul Koto mengatakan tak punya wewenang mengatur penugasan wasit. “Anda mendapat info dari mana?” katanya. “Tak benar saya pernah bertemu dengan seseorang untuk mengatur pertandingan.”
PENGURUS PSSI menjadi buhul sejumlah skandal pengaturan pertandingan. Seolah-olah pemain kedua belas, peran mereka begitu menentukan permainan meski tak hadir di stadion. Mereka menggunakan posisinya untuk mengatur perangkat pertandingan, dari wasit sampai hakim garis, hingga mempengaruhi klub.
Mereka pun ditengarai memanfaatkan jabatannya untuk mengeruk keuntungan. Ini yang dituduhkan kepada bekas Wakil Ketua Umum PSSI yang sekarang menjabat Kepala Staf Ketua Umum PSSI, Iwan Budianto, dan Manajer Madura United Haruna Soemitro.
Manajer Perseba Super Bangkalan, Imron Abdul Fatah, melaporkan mereka ke Satuan Tugas Antimafia Bola yang dibentuk polisi. Menurut Ketua Tim Media -Satgas, Komisaris Besar Argo Yuwono, perkara bermula ketika Bangkalan terpilih menjadi tuan rumah Piala Soeratin pada 2009. Iwan, saat itu menjabat Ketua Badan Liga Sepak Bola Amatir Indonesia, dan Haruna, mantan Ketua Asosiasi Provinsi PSSI Jawa Timur, meminta Imron membayar biaya pencalonan. Jika dia tak sanggup, tuan rumah akan dialihkan ke Bandung.
Pada Oktober 2009, Imron tiga kali mentransfer ke rekening Haruna dengan nilai total Rp 115 juta. Kepada Iwan, Imron mengirim Rp 25 juta. Waktu itu, Perseba Bangkalan tak hanya berhasil menjadi tuan rumah, tapi juga melenggang sampai final dan merebut gelar juara setelah mengalahkan Persema Malang dengan skor 2-1.
Nomor telepon Iwan tak aktif sepanjang pekan lalu untuk dimintai konfirmasi. Seperti dikutip Bola.net, ia mengaku lupa akan peristiwa tersebut karena sudah berselang sembilan tahun. Sebagaimana Iwan, Haruna juga tak ingat soal pengiriman duit dari Imron. Tapi ia mengakui bahwa tuan rumah perlu menyediakan dana untuk menyelenggarakan turnamen. “Dipakai untuk mendatangkan wasit, sewa bus, jasa keamanan, dan lain-lain,” ujar Haruna.
Sekretaris Jenderal PSSI Ratu Tisha Destria menolak menanggapi perkara yang melibatkan pengurus PSSI, yang berkasnya sudah di meja polisi. Tapi, kata dia, “Memerangi match fixing pekerjaan kami sehari-hari.”
RAYMUNDUS RIKANG, HUSSEIN ABRI (JAKARTA), SHINTA MAHARANI (PURWOKERTO), PRIBADI WICAKSONO (YOGYAKARTA), DIDIT HARIYADI (MAKASSAR), MUSTHOFA BISRI (MADURA), EKO WIDIANTO (MALANG), NURHADI (SURABAYA), ADI WARSIDI (BANDA ACEH)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo