Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kota Depok, Jawa Barat, memusnahkan 1.247 buku sejarah tingkat sekolah menengah pertama dan atas. Buku-buku itu dibakar secara simbolis oleh Wali Kota Depok Nurmahmudi Ismail dan Kepala Dinas Pendidikan Depok Asep Roswanda di depan kantor kejaksaan Depok, Jumat dua pekan lalu.
Buku-buku itu disita dari lima SMP dan tiga SMA karena tidak mencantumkan Partai Komunis Indonesia sebagai pelaku pemberontakan 30 September 1965 atau lebih dikenal dengan sebutan G-30-S/PKI. Buku-buku yang disusun berdasarkan kurikulum 2004 tersebut hanya memuat G-30-S untuk menandai peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal. Kejaksaan Agung kemudian menerbitkan instruksi nomor 003/A-JA/03/2007 tanggal 3 Maret 2007 tentang penarikan buku sejarah itu.
Sebelum di Depok, razia dan pemusnahan buku terjadi di sejumlah kota lain. Kejaksaan Bandung juga membakar 2.258 buku pada 26 Juli lalu. Pada 19 Juni, Kejaksaan Tinggi Semarang memusnahkan 14.960 buku dengan mesin penghancur. Di Makassar, 14.307 buku dimusnahkan akhir bulan lalu. Sedangkan di Surabaya, buku-buku disatukan dengan berbagai barang bukti kejahatan untuk dimusnahkan. Razia dan pemusnahan juga berlangsung di Sleman, Jawa Tengah, dan Riau.
Sejarawan Asvi Warman Adam menilai pembakaran itu sebagai tindakan biadab. “Para penerbit diperlakukan seperti pengedar narkoba,” katanya kepada Tempo. Sebaiknya, buku itu dibiarkan saja, toh sudah tidak dipakai lagi karena telah diganti dengan buku sejarah kurikulum 2006. Sedangkan budayawan Goenawan Mohamad menilai pembakaran itu mirip cara-cara PKI ketika memberangus kebebasan berpikir lawan-lawan politiknya.
A.R. Soehoed Tersangka Asahan
Menteri Perindustrian periode 1978-1983, Abdoel Raoef Soehoed, diperiksa untuk ketiga kalinya oleh Kejaksaan Agung pada Rabu pekan lalu. Ia terkait dengan kasus dugaan korupsi saat menjabat sebagai Direktur Utama PT Aldevco, perusahaan yang mengelola Otorita Asahan.
Soehoed, yang sudah ditetapkan sebagai tersangka enam bulan lalu, telah diminta Kejaksaan Agung menyerahkan dua sertifikat tanahnya di Sumatera Utara, dengan luas total 56 hektare. Menurut Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung M. Salim, kasus dugaan korupsi itu terjadi pada periode 1988-1998 di kantor Otorita Asahan di Jakarta dan Medan, dengan modus mengalihkan hak-hak Otorita Asahan kepada Aldevco.
Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan pada semester pertama 2005, terdapat kejanggalan dalam pengeluaran keuangan Otorita senilai US$ 26,34 juta atau sekitar Rp 237 miliar. Selain Soehoed, yang kini berusia 87 tahun, dua orang lagi dari Otorita Asahan ditetapkan sebagai tersangka oleh kejaksaan.
DPR Tersengat Nuklir
Gara-gara memenuhi undangan Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman, lima anggota Dewan Perwakilan Rakyat akan diusut oleh Badan Kehormatan DPR berkaitan dengan pelanggaran kode etik dan aturan Dewan. Kelima anggota itu adalah Zulkiflimansyah dari Fraksi Keadilan Sejahtera, Agusman Effendi dan Zainuddin Amala dari Golkar, serta M. Najib dan Tjatur Sapto Edy dari Partai Amanat Nasional.
Selintas itu undangan biasa, yakni pergi ke Korea Selatan dan Jepang dalam rangka studi banding pengelolaan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) pada 22 Juli-2 Agustus 2007. Ini dihubungkan dengan rencana pemerintah Indonesia membangun PLTN di Muria, Jawa Tengah, mulai tahun 2010. Tapi perjalanan itu menuai kecaman karena mereka dinilai tidak bersikap independen terhadap rencana pemerintah, di tengah penolakan sebagian masyarakat terhadap PLTN.
Apalagi yang pergi adalah mereka yang tergolong pronuklir. Belakangan terungkap pula undangan itu tidak seizin Ketua DPR alias undangan pribadi. ”Caranya tidak elok,” kata anggota Badan Kehormatan DPR, Mutammimul U’la. Apalagi dana yang dipakai kelima anggota DPR itu ternyata diambil dari dana sosialisasi PLTN yang seharusnya ditujukan kepada masyarakat Muria.
Menteri Kusmayanto membantah semua tudingan itu. Kata sang Menteri, dananya berasal dari Korea International Agency dan Japan External Trade Organization, dua calon mitra pembangunan PLTN di Indonesia. Tapi belakangan kedua lembaga ini membantah pengakuan Kusmayanto.
KPU Tolak Calon Independen
KOMISI Pemilihan Umum meminta lembaganya di daerah menolak calon independen sebagai calon kepala daerah. Pasalnya, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat belum merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Untuk itu, surat edaran berkategori penting telah dilayangkan ke KPUD di semua daerah, 31 Juli lalu. Selain menolak calon independen, KPUD diminta tetap menggelar pemilihan kepala daerah sesuai dengan jadwal yang direncanakan, tanpa perlu terpengaruh keputusan Mahkamah Konstitusi. ”Tak perlu menunda atau membatalkan jadwal pemilihan,” kata anggota KPU, Valina Singka Subekti.
Surat edaran itu dilayangkan setelah Mahkamah Konstitusi, 23 Juli lalu, mencabut Pasal 56 ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Mahkamah memutuskan perseorangan boleh maju sebagai calon dalam pemilihan kepala daerah.
Atas keputusan itu, pemerintah mengajukan tiga opsi, yakni mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, merevisi terbatas UU Nomor 32/2004, atau KPU menyusun dan menetapkan tata cara pemilihan kepala daerah dengan mengacu pada aturan pemilihan kepala daerah Aceh. DPR memilih revisi terbatas terhadap UU tentang Pemerintahan Daerah.
Kerusuhan di Penjara Cipinang
Akibat kerusuhan yang terjadi antarnarapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang, Jakarta Timur, pada Selasa, 31 Juli lalu, dua tahanan tewas dan puluhan lainnya luka-luka. Tahanan yang tewas adalah Sukamat alias Munte, 37 tahun, dan Samsul Hidayat alias Slamat, 28 tahun—keduanya narapidana kasus perampokan.
Kerusuhan itu dipicu oleh perebutan lahan mengais rezeki di dalam penjara—seperti uang narkoba dan uang kunjungan—yang berujung perkelahian. Terjadilah baku hantam antara kelompok napi Jawa Timur dan kelompok gabungan Ambon, Batak, dan Palembang.
Menurut Direktur Jenderal Pemasyarakatan Untung Sugiono, kerusuhan itu berawal dari pertandingan sepak bola antarnapi yang berujung ketegangan antarsuporter. Selasa pagi itu, ketika Slamat sedang berkunjung ke sel Munte, keduanya diserang kelompok Ambon cs. Kerusuhan ini merupakan yang ketujuh di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang sejak 1995, dengan latar belakang dendam lama atau perebutan konsumen narkoba.
Brankas PT Askes Menipis
MENTERI Kesehatan Siti Fadilah Supari mengendus adanya penggelembungan dana klaim oleh ratusan rumah sakit. Salah satunya rumah sakit di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara. Padahal ada 595 rumah sakit yang tersebar di seluruh Indonesia yang menggunakan jasa PT Asuransi Kesehatan (Askes).
Akibatnya gawat. Kecu-rangan tersebut membuat perusahaan negara itu kehabisan dana. ”Ada rumah sakit kecil di kota kecil yang mengajukan klaim asuransi kesehatan untuk rakyat miskin, atau Askeskin, sampai Rp 2 miliar. Padahal klaim obatnya hanya Rp 1,5 miliar,” kata Menteri pekan lalu.
Siti menduga rumah sakit bekerja sama dengan PT Kimia Farma—produsen obat pelat merah—dalam mengajukan klaim obat. Modusnya, obat yang diklaim lebih banyak dari penggunaannya. Misalnya, dalam satu resep ada tujuh obat, padahal yang digunakan hanya dua. Modus lain, ia menambahkan, rumah sakit mengklaim biaya operasi yang lebih mahal dari ketentuan.
Menipisnya pundi PT Askes, menurut Menteri, bisa juga terjadi karena pengguna jasa asuransi ini meningkat. Ia menduga ada warga kelas menengah yang menggunakan jasa asuransi kesehatan rakyat miskin. Caranya dengan memalsukan surat keterangan tidak mampu.
”Di beberapa rumah sakit, ada calo yang menawarkan surat keterangan itu kepada pasien,” ujarnya. Penyebab lain membengkaknya klaim PT Askes, kata Siti, bisa juga manajemen yang lemah. Seharusnya, perseroan itu melakukan verifikasi ketat atas setiap klaim yang diajukan rumah sakit. Karena itulah Departemen Kesehatan lalu mengirimkan auditor ke sejumlah rumah sakit untuk memeriksa tagihan yang diajukan. Menteri juga telah meminta secara lisan Badan Pemeriksa Keuangan mengaudit rumah sakit.
Dana BI untuk DPR
Selama sepekan lalu, beredar dokumen tentang aliran dana dari Bank Indonesia ke Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004. Dalam dokumen fotokopi itu, disebutkan bahwa jumlah dana Rp 4,4 miliar telah diberikan oleh bank sentral kepada DPR selama September 2004 untuk melancarkan pembahasan beberapa rancangan undang-undang, antara lain RUU Penjaminan Simpanan, Kepailitan, dan Perbankan, serta pembahasan anggaran BI.
Direktur Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat Bank Indonesia Budi Mulya mengaku tidak bisa memastikan keaslian dokumen itu. Budi juga tidak bisa memastikan ada-tidaknya dana dari BI kepada anggota Dewan selama periode yang tercantum dalam dokumen. ”Saya harus melihat dulu (dokumennya),” katanya kepada wartawan pekan lalu.
Tapi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Paskah Suzetta meragukan keaslian dokumen itu. Pasalnya, selama September 2004, Dewan dalam masa reses, sehingga tidak ada kegiatan apa pun. ”Jangan-jangan ada di antara mereka (BI) yang memainkannya. Saya bukan menuduh, lo,” ujar Paskah kepada Tempo.
Mantan Deputi Gubernur BI Anwar Nasution, yang kini menjadi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, tak mau berkomentar karena masalah itu termasuk gratifikasi. ”Seharusnya ini ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi,” katanya. Sedangkan Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR Topane Gayus Lumbuun mengatakan masih menunggu pengaduan dari masyarakat soal ini atau perintah pemimpin DPR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo