SUARA takbir terus berkumandang sampai dinihari. Pos Hansip d
pinggir jalan yang merangkap sebagai Kantor RW 03 Kelurahan
Grogol Selatan, Jakarta, masih terkunci rapat. Hari belum terang
benar. Sosok-sosok tubuh mulai berdatangan dari jalan setapak di
sebelah Pos Hansip. Mereka adalah penghuni rumah bedeng di
pinggir wilayah RW 04 yang pintu masuknya jadi satu dengan RW
03.
Sosok-sosok tubuh itu beragam jenis. Lelaki tua yang dituntun
seorang wanita. Perempuan yang tangannya dibalut perban dengan
baju compang-camping. Kemudian dua wanita diiringi anak
perempuan. Dan akhirnya: barisan empat wanita yang masing-masing
menggendong anak di bawah usia 5 tahun.
Mereka bergegas meninggalkan perkampungan itu menuju arah Patal
Senayan. Tujuannya, ke Jalan Sisingamangaraja, Masjid Al Azhar.
Itulah sisa-sisa pengemis yang menghuni kawasan Simprug, yang
tak merasa perlu mudik di hari Lebaran. Bahkan Hari Raya itu
mereka sambut dengan niat mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.
Mereka segera berpencar di sela-sela pengemis lain yang sudah
memadati pintu masuk masjid yang megah itu. Aksi menadahkan
tangan dengan kata-kata memelas pun dimulai. Jamaah yang mulai
bubar walau khotbah sedang berlangsung, dimanfaatkan
sebaik-baiknya. Uang pun barjatuhan ke kaleng yang ditadahkan,
ke tangan yang tengadah, ke pangkuan yang terbuka lebar.
Ternyata mereka yang berwajah paling kusam dan yang menggendong
bayi -- apalagi jika bayinya menangis -- mendapat hasil lebih
banyak. "Wah, aku dapat tiga puluh sembilan ribu," kata seorang
pengemis yang menggendong bayi dalam bahasa Jawa dialek Tegal.
Sambil menghitung uang recehan, sementara jamaah mulai
meninggalkan masjid para pengemis itu duduk berkelompok. Dan tak
lama kemudian, di bawah matahari Jakarta yang mulai menyengat,
mereka memesan coca cola dari penjaja minuman di pinggir jalan
sekitar masjid.
Saat-saat usai sembahyang Ied, memang terkenal sebagai masa
panen di kalangan para peminta-minta. Pada Hari Raya begini
seorang pengemis di Jakarta bisa berpenghasilan di atas Rp
15.000 seorang. Di Yogyakarta saja ketika sembahyang led yang
penuh sesak di Alun-alun Utara, ada pengemis yang mengaku dapat
Rp 42.000. Sedangkan pada saat-saat sembahyang Jumat yang
seminggu sekali itu, mereka anggap sebagai panen kecil.
Tinah, salah satu pengemis di Simprug menyebutkan, setiap Jumat
ia bisa mengantungi Rp 6.000 sehari. Pada hari-hari biasa hanya
Rp 2.500 sehari. Ia biasa beroperasi di Pasar Kebayoran Baru,
ditemani anaknya yang kecil. Anak itu kadang dilepas kadang
digandeng sebagai pemikat. Pernah pula Tinah meminjam bayi
tetangganya yang juga pengemis. Dengan bayi di gendongan
katanya, hasilnya bisa lebih banyak. "Tetapi saya harus
menyewanya, setiap dapat Rp 1.000, buat yang punya bayi Rp 400,"
kata Tinah.
Ia tak mau menerangkan, apa kerja suaminya dan berapa
penghasilannya tiap bulan. Namun ia mengaku pernah kena razia
dan dikirimkan ke Lembaga Pemasyarakatan Khusus (LPK) Pondok
Bambu. "Saya membayar Rp 40.000 untuk bisa keluar," katanya.
Nyogok petugas ini dilakukannya agar ia tak diusut, atau
diantarkan pulang ke kampung asalnya, maupun dididik
keterampilan di Panti Sosial III, Pondok Bambu.
Uang untuk menyuap petugas LPK Pondok Bambu bisa dipinjam dari
"seorang kenalan" dan dibayar dari hasil mengemis kemudian.
Tinah tak mau menyebutkan siapa "kenalan" itu. Yang jelas,
katanya, bukan dari kalangan pengemis.
Perkara menyuap petugas ternyata juga dilakukan pengemis lain.
Parman, pengemis yang biasa beroperasi di Pancoran, Jakarta
Selatan, mengaku sudah lima kali kena razia. Dua kali ia
disidangkan berdasarkan Peraturan Daerah No.3 tahun 1972:
divonis kurungan 2 minggu. Ketika razia ketiga, keempat, dan
kelima, ia tak mau lagi disidangkan. "Saya menyogok petugas Rp
10.000 agar bisa keluar," kata Parman.
Menyuap sebesar itu tak berarti. "Penghasilan saya paling
sedikit Rp 3.500 sehari. Kalau lagi untung bisa Rp 6.000," kata
Parman lagi. Itu pun jam kerjanya dari pukul 7 malam sampai 10
malam. Siang hari ia mengaso, karena tak tahan udara Jakarta
yang panas. Lelaki yang mengaku berasal dari Tuban, Ja-Tim, ini,
setiap bulan mengirimkan uang ke kampungnya untuk biaya dua
anaknya yang masih sekolah di sana. Di Jakarta ia hidup bersama
istrinya. Dulu istrinya berdagang dan Parman membantu. Kini
terbalik, Parman yang "bekerja" sementara istrinya membantu.
"Mengemis jauh lebih banyak hasilnya dari berdagang," kata
Parman, yang bermodalkan paha kiri yang cacat sungguhan.
Keluarganya di Tuban, termasuk anaknya, tak tahu kalau Parman
menjadi pengemis.
Apakah benar pengemis perlu menyuap di LPK Pondok Bambu untuk
bisa keluar tanpa diadili? Suluh Pamungkas, kepala Subseksi
Pembinaan LPK Pondok Bambu membantah hal itu. "Tak ada main suap
di sini," katanya. Namun ia membenarkan, sering terjadi pengemis
bisa keluar dari LPK Pondok Bambu sebelum diadili karena "campur
tangan pihak luar".
Suluh Pamungkas memberi contoh kasus. Ketika razia pengemis
dilakukan di Jakarta Selatan, 25 November tahun lalu, berhasil
dijaring 103 pengemis yang kebanyakan menggendong anak. Kamtib
Jakarta Selatan mengirimkan mereka ke LPK Pondok Bambu. Belum
sempat seluruhnya diproses, 55 pengemis sudah bisa keluar tanpa
sempat diadili sebagaimana ketentuan Peraturan Daerah No. 3/72.
Ini, katanya, karena ada campur tangan seorang purnawirawan
Polri di Tebet, Jakarta Selatan. Izin mengeluarkan pengemis itu
diperolehnya dari Kamtib Jakarta Selatan. "Kan aneh, kalau
Kamtib yang menjaring sekaligus memberi izin pengambilannya,"
ujar Suluh Pamungkas. Sisa hasil razia yang 48 orang, setelah
diproses dikirimkan ke Panti Sosial III Pondok Bambu. Dari sana
para pengemis itu keluar lagi dengan campur tangan pihak lain.
Pembina Panti Sosial III Pondok Bambu Endriya Moechtar mengakui
hal itu. "Jika pengemis terkena razia dan dikirimkan ke sini,
besoknya sudah datang tokoh masyarakat di mana pengemis itu
tinggal. Sang tokoh mengurus supaya pengemis itu keluar," kata
Moechtar terus-terang. Ia merasa tak bisa berbuat apa-apa,
karena "izin pengambilan pengemis dari penampungan datang dari
Kamtib". Moechtar membantah kalau anak buahnya bisa disuap untuk
mengeluarkan pengemis yang disekap itu. Bahkan ia heran,
jangan-jangan pengemis itu benar-benar membayar sejumlah uang,
entah kepada siapa. Apakah kepada organisasi yang memang
bergerak di bidang ini untuk mencari keuntungan? Tak jelas.
Tapi yang pasti Pamungkas dan Moechtar tak bisa berkutik
menghadapi campur tangan pihak luar yang masih suka terselubung
itu. "Sampai saat ini kami masih melacak apakah pihak yang
campur tangan dalam pengambilan pengemis itu adalah
koordinatornya. Kami belum punya bukti bahwa pengemis itu punya
jaringan sindikat," kata Yacoob Nasution yang akhir Juni lalu
menjabat kepala Suku Dinas Sosial Jakarta Utara. Sebelumnya,
Yacoob adalah kepala Sudin Sosial Jakarta Pusat yang terkenal
tegas terhadap pengemis maupun gelandangan yang terkena jaring
razia.
Menurut Yacoob, pengemis di LPK Pondok Bambu, memang sering
ditengok oleh seseorang yang mengaku saudara atau familinya.
Setelah diselidiki ternyata orang itu mengkoordinasi pengemis.
"Untuk menyebut sebagai sindikat atau mafia pengemis, wah,
kata-kata itu terlalu jauh," kata Yacoob lagi.
Bukan ulah "koordinator" itu saja yang menjengkelkan pejabat
seperti Jacoob Nasution. Ulah pengemis sering membuat ia kesal.
Coba saja, seorang pengemis di Jakarta, ketika ditangkap, di
sakunya tersimpan uang Rp 150.000. Ketika ditanya, ia mengaku
cari uang untuk menggaji buruh yang mengerjakan sawahnya di
desa. "Kejadian itu tahun 1977, pengemis itu dirazia di Masjid
Istiqlal," kata Yacoob.
Lagak lagu peminta-minta hampir sama saja di berbagai tempat
untuk menggugah belas kasihan ataupun rasa jengkel sehingga
orang melemparkan uang dengan cepat. Siti, 45 tahun, pengemis
dengan 3 anak yang beroperasi di Pasar Senen, Jakarta Pusat,
selalu meng-gips kakinya dan duduk bersimpuh di depan toko.
Anaknya berumur sekitar 5 tahun tergeletak dengan kumal di
sebelahnya, sesekali menetek. Ia tak perlu mengiba-iba. Orang
yang melihat serta merta kasihan dan melemparkan uang ke
pangkuan wanita ini. Ketika toko tutup sore hari, ia pulang ke
Gang Bungur dan gips kakinya dibuka. Setelah mandi, ia
menghitung hasil "permainan sandiwaranya" sehari suntuk itu. Tak
kurang dari Rp 3.000 ia kantungi. Tak ada yang kurang beres pada
salah satu kakinya. Kalau malam-malam nonton di bioskop kelas
murahan, Siti kelihatan sama dengan orang kebanyakan.
Uki, 42 tahun, mengemis di sekitar Stasiun Jatinegara, Jakarta
Timur, ditemani istrinya, Sawiyah. Uki berperan sebagai orang
buta, dituntun istrinya. Ketika kereta api berhenti, pasangan
pengemis ini menyerbu penumpang yang turun. Mereka kemudian naik
kereta melewati gerbong demi gerbong dengan tertatih-tatih. Sore
hari, dengan kereta jurusan Purwakarta, keluarga pengemis ini
pulang ke kampungnya. Mereka turun di Stasiun Plari, sekitar
Karawang. Singgah di sebuah warung membeli oleh-oleh dan
mengambil sepeda yang dititipkan, Uki ternyata tak buta.
Ia menaiki sepeda memboncengkan istrinya pulang ke Desa Kopo,
Kabupaten Karawang, 5 km dari Plari. Ia punya rumah cukup
lumayan beratap genteng dengan luas bangunan 5 x 6 meter. Sama
sekali tak terkesan bahwa keluarga ini keluarga melarat. Ketika
wartawan TEMPO yang membuntuti dari Jakarta menanyakan, apakah
masyarakat desanya tahu ia mengemis, Uki menjawab polos: "tak
ada yang tahu." Penghasilan bersih setiap hari Rp 2.500. Mana
ada orang di desa itu berpenghasilan bersih sebesar itu setiap
hari.
Akan menjadi deretan amat panjang jika aktor dan aktris dunia
pengemis ini dituliskan satu persatu. Bukan saja di kalangan
orang dewasa, pengemis cilik di berbagai kota besar di Indonesia
pun sudah mulai dengan sempurna memperagakan cacat yang
mengada-ada. Dengan cara yang agak kuno, misalnya, kakinya
dibalut dengan ditaburi terasi supaya lalat mengerubung. Atau
tertatih-tatih dengan wajah kusam seolah tak makan
berminggu-minggu.
Tapi yang agak baru adalah akting pengemis bernama Napi yang
berpura-pura gila. Ia beroperasi setiap hari di simpang Jalan
Kopi, Jakarta Kota. Main bentak, lari mengejar mobil, telanjang
dan segala ulah lainnya. Orang yang kesal dan tak mau ambil
risiko biasanya melayangkan recehan logam seratus rupiah.
Penghasilan Napi setiap hari minimun Rp 5.000. Dan ketika
dilacak, ternyata pemain watak ini normal saja adanya.
Begitu mudahnya para pengemis mencari uang, kebutuhan mereka pun
semakin meningkat, tak ubahnya pekerja yang lain. Di Jakarta,
lapangan yang basah ini melahirkan pula "koordinator" yang
mengatur gerak para pengemis. Dari mencarikan tempat
penampungan, mengedrop ke tempat beroperasi, membagi
daerah-daerah operasi, memberitahukan jika akan ada razia --
sampai mengusahakan pembebasan jika pengemis ditangkap.
Jaring-jaring ini yang mau dilumpuhkan oleh Dinas Sosial DKI.
"Pengemis di Jakarta menimbulkan kesan pameran kemiskinan," kata
Drs. Waluyo dari Dinas Sosial DKI.
Apa yang dikemukakan Waluyo ini senada dengan ucapan Drs.
Haditono, dosen sosiologi FKIS-IKIP Yogyakarta. "Dilihat dari
segi kemanusiaan, pengemis itu merupakan orang-orang yang
merosot martabatnya," kata Haditono. "Juga menunjukkan tidak
adanya pemerataan kesejahteraan masyarakat."
Tahun 1980, Haditono melakukan penelitian untuk mengetahui pola
kehidupan kelompok masyarakat pengemis dengan 96 responden.
Penelitian yang dilakukan khusus di DI Yogyakarta itu
menyebutkan, pengemis sebagian besar dalam usia produktif, 25
sampai dengan 45 tahun. Alasan mereka mengemis, karena sukar
mencari pekerjaan lain yang penghasilannya lebih baik (50%), tak
dapat melakukan pekerjaan lain (35%), pekerjaan mengemis lebih
mudah (12%), dan jelas-jelas menyebut pengemis lebih enak (3%).
Dari mana mereka memperoleh kepandaian mengemis? Jawabnya: 83%
menyebut mempelajari sendiri dan sisanya belajar dari temannya.
Yang cukup mengejutkan adalah tanggapan mereka terhadap jenis
pekerjaan mengemis. Ada 90% yang mengatakan, pekerjaan mengemis
adalah pekerjaan yang halal dan wajar. Yang 10% tak bisa
menjawab. Kemudian hasil penelitian itu menunjukkan pula, para
pengemis itu sebelumnya sudah mempunyai pekerjaan yang
sebenarnya cukup baik dan terhormat," sesuai dengan martabatnya
sebagai manusia," kata Haditono. Yakni, bertani (10%), berdagang
(12%), buruh (39%), pembantu dan pesuruh (39%).
Penelitian yang menghabiskan biaya Rp 500.000 dalam waktu 4
bulan ini seperti menggambarkan, lapisan masyarakat bawah tak
segan-segan mengorbankan "harga diri" untuk mengejar uang lebih
banyak, dengan cara lebih gampang -- satu keadaan yang agaknya
mirip terjadi di kalangan "sana" yang biasa mengumpulkan
kekayaan dengan hanya mempertaruhkan jabatannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini