Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pengemis, aktor jalanan yang...

Merupakan profesi yang sulit dibubarkan oleh pemerintah, punya organisasi yang rapi. berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menangani pengemis. (pan)

23 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUARA takbir terus berkumandang sampai dinihari. Pos Hansip d pinggir jalan yang merangkap sebagai Kantor RW 03 Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta, masih terkunci rapat. Hari belum terang benar. Sosok-sosok tubuh mulai berdatangan dari jalan setapak di sebelah Pos Hansip. Mereka adalah penghuni rumah bedeng di pinggir wilayah RW 04 yang pintu masuknya jadi satu dengan RW 03. Sosok-sosok tubuh itu beragam jenis. Lelaki tua yang dituntun seorang wanita. Perempuan yang tangannya dibalut perban dengan baju compang-camping. Kemudian dua wanita diiringi anak perempuan. Dan akhirnya: barisan empat wanita yang masing-masing menggendong anak di bawah usia 5 tahun. Mereka bergegas meninggalkan perkampungan itu menuju arah Patal Senayan. Tujuannya, ke Jalan Sisingamangaraja, Masjid Al Azhar. Itulah sisa-sisa pengemis yang menghuni kawasan Simprug, yang tak merasa perlu mudik di hari Lebaran. Bahkan Hari Raya itu mereka sambut dengan niat mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Mereka segera berpencar di sela-sela pengemis lain yang sudah memadati pintu masuk masjid yang megah itu. Aksi menadahkan tangan dengan kata-kata memelas pun dimulai. Jamaah yang mulai bubar walau khotbah sedang berlangsung, dimanfaatkan sebaik-baiknya. Uang pun barjatuhan ke kaleng yang ditadahkan, ke tangan yang tengadah, ke pangkuan yang terbuka lebar. Ternyata mereka yang berwajah paling kusam dan yang menggendong bayi -- apalagi jika bayinya menangis -- mendapat hasil lebih banyak. "Wah, aku dapat tiga puluh sembilan ribu," kata seorang pengemis yang menggendong bayi dalam bahasa Jawa dialek Tegal. Sambil menghitung uang recehan, sementara jamaah mulai meninggalkan masjid para pengemis itu duduk berkelompok. Dan tak lama kemudian, di bawah matahari Jakarta yang mulai menyengat, mereka memesan coca cola dari penjaja minuman di pinggir jalan sekitar masjid. Saat-saat usai sembahyang Ied, memang terkenal sebagai masa panen di kalangan para peminta-minta. Pada Hari Raya begini seorang pengemis di Jakarta bisa berpenghasilan di atas Rp 15.000 seorang. Di Yogyakarta saja ketika sembahyang led yang penuh sesak di Alun-alun Utara, ada pengemis yang mengaku dapat Rp 42.000. Sedangkan pada saat-saat sembahyang Jumat yang seminggu sekali itu, mereka anggap sebagai panen kecil. Tinah, salah satu pengemis di Simprug menyebutkan, setiap Jumat ia bisa mengantungi Rp 6.000 sehari. Pada hari-hari biasa hanya Rp 2.500 sehari. Ia biasa beroperasi di Pasar Kebayoran Baru, ditemani anaknya yang kecil. Anak itu kadang dilepas kadang digandeng sebagai pemikat. Pernah pula Tinah meminjam bayi tetangganya yang juga pengemis. Dengan bayi di gendongan katanya, hasilnya bisa lebih banyak. "Tetapi saya harus menyewanya, setiap dapat Rp 1.000, buat yang punya bayi Rp 400," kata Tinah. Ia tak mau menerangkan, apa kerja suaminya dan berapa penghasilannya tiap bulan. Namun ia mengaku pernah kena razia dan dikirimkan ke Lembaga Pemasyarakatan Khusus (LPK) Pondok Bambu. "Saya membayar Rp 40.000 untuk bisa keluar," katanya. Nyogok petugas ini dilakukannya agar ia tak diusut, atau diantarkan pulang ke kampung asalnya, maupun dididik keterampilan di Panti Sosial III, Pondok Bambu. Uang untuk menyuap petugas LPK Pondok Bambu bisa dipinjam dari "seorang kenalan" dan dibayar dari hasil mengemis kemudian. Tinah tak mau menyebutkan siapa "kenalan" itu. Yang jelas, katanya, bukan dari kalangan pengemis. Perkara menyuap petugas ternyata juga dilakukan pengemis lain. Parman, pengemis yang biasa beroperasi di Pancoran, Jakarta Selatan, mengaku sudah lima kali kena razia. Dua kali ia disidangkan berdasarkan Peraturan Daerah No.3 tahun 1972: divonis kurungan 2 minggu. Ketika razia ketiga, keempat, dan kelima, ia tak mau lagi disidangkan. "Saya menyogok petugas Rp 10.000 agar bisa keluar," kata Parman. Menyuap sebesar itu tak berarti. "Penghasilan saya paling sedikit Rp 3.500 sehari. Kalau lagi untung bisa Rp 6.000," kata Parman lagi. Itu pun jam kerjanya dari pukul 7 malam sampai 10 malam. Siang hari ia mengaso, karena tak tahan udara Jakarta yang panas. Lelaki yang mengaku berasal dari Tuban, Ja-Tim, ini, setiap bulan mengirimkan uang ke kampungnya untuk biaya dua anaknya yang masih sekolah di sana. Di Jakarta ia hidup bersama istrinya. Dulu istrinya berdagang dan Parman membantu. Kini terbalik, Parman yang "bekerja" sementara istrinya membantu. "Mengemis jauh lebih banyak hasilnya dari berdagang," kata Parman, yang bermodalkan paha kiri yang cacat sungguhan. Keluarganya di Tuban, termasuk anaknya, tak tahu kalau Parman menjadi pengemis. Apakah benar pengemis perlu menyuap di LPK Pondok Bambu untuk bisa keluar tanpa diadili? Suluh Pamungkas, kepala Subseksi Pembinaan LPK Pondok Bambu membantah hal itu. "Tak ada main suap di sini," katanya. Namun ia membenarkan, sering terjadi pengemis bisa keluar dari LPK Pondok Bambu sebelum diadili karena "campur tangan pihak luar". Suluh Pamungkas memberi contoh kasus. Ketika razia pengemis dilakukan di Jakarta Selatan, 25 November tahun lalu, berhasil dijaring 103 pengemis yang kebanyakan menggendong anak. Kamtib Jakarta Selatan mengirimkan mereka ke LPK Pondok Bambu. Belum sempat seluruhnya diproses, 55 pengemis sudah bisa keluar tanpa sempat diadili sebagaimana ketentuan Peraturan Daerah No. 3/72. Ini, katanya, karena ada campur tangan seorang purnawirawan Polri di Tebet, Jakarta Selatan. Izin mengeluarkan pengemis itu diperolehnya dari Kamtib Jakarta Selatan. "Kan aneh, kalau Kamtib yang menjaring sekaligus memberi izin pengambilannya," ujar Suluh Pamungkas. Sisa hasil razia yang 48 orang, setelah diproses dikirimkan ke Panti Sosial III Pondok Bambu. Dari sana para pengemis itu keluar lagi dengan campur tangan pihak lain. Pembina Panti Sosial III Pondok Bambu Endriya Moechtar mengakui hal itu. "Jika pengemis terkena razia dan dikirimkan ke sini, besoknya sudah datang tokoh masyarakat di mana pengemis itu tinggal. Sang tokoh mengurus supaya pengemis itu keluar," kata Moechtar terus-terang. Ia merasa tak bisa berbuat apa-apa, karena "izin pengambilan pengemis dari penampungan datang dari Kamtib". Moechtar membantah kalau anak buahnya bisa disuap untuk mengeluarkan pengemis yang disekap itu. Bahkan ia heran, jangan-jangan pengemis itu benar-benar membayar sejumlah uang, entah kepada siapa. Apakah kepada organisasi yang memang bergerak di bidang ini untuk mencari keuntungan? Tak jelas. Tapi yang pasti Pamungkas dan Moechtar tak bisa berkutik menghadapi campur tangan pihak luar yang masih suka terselubung itu. "Sampai saat ini kami masih melacak apakah pihak yang campur tangan dalam pengambilan pengemis itu adalah koordinatornya. Kami belum punya bukti bahwa pengemis itu punya jaringan sindikat," kata Yacoob Nasution yang akhir Juni lalu menjabat kepala Suku Dinas Sosial Jakarta Utara. Sebelumnya, Yacoob adalah kepala Sudin Sosial Jakarta Pusat yang terkenal tegas terhadap pengemis maupun gelandangan yang terkena jaring razia. Menurut Yacoob, pengemis di LPK Pondok Bambu, memang sering ditengok oleh seseorang yang mengaku saudara atau familinya. Setelah diselidiki ternyata orang itu mengkoordinasi pengemis. "Untuk menyebut sebagai sindikat atau mafia pengemis, wah, kata-kata itu terlalu jauh," kata Yacoob lagi. Bukan ulah "koordinator" itu saja yang menjengkelkan pejabat seperti Jacoob Nasution. Ulah pengemis sering membuat ia kesal. Coba saja, seorang pengemis di Jakarta, ketika ditangkap, di sakunya tersimpan uang Rp 150.000. Ketika ditanya, ia mengaku cari uang untuk menggaji buruh yang mengerjakan sawahnya di desa. "Kejadian itu tahun 1977, pengemis itu dirazia di Masjid Istiqlal," kata Yacoob. Lagak lagu peminta-minta hampir sama saja di berbagai tempat untuk menggugah belas kasihan ataupun rasa jengkel sehingga orang melemparkan uang dengan cepat. Siti, 45 tahun, pengemis dengan 3 anak yang beroperasi di Pasar Senen, Jakarta Pusat, selalu meng-gips kakinya dan duduk bersimpuh di depan toko. Anaknya berumur sekitar 5 tahun tergeletak dengan kumal di sebelahnya, sesekali menetek. Ia tak perlu mengiba-iba. Orang yang melihat serta merta kasihan dan melemparkan uang ke pangkuan wanita ini. Ketika toko tutup sore hari, ia pulang ke Gang Bungur dan gips kakinya dibuka. Setelah mandi, ia menghitung hasil "permainan sandiwaranya" sehari suntuk itu. Tak kurang dari Rp 3.000 ia kantungi. Tak ada yang kurang beres pada salah satu kakinya. Kalau malam-malam nonton di bioskop kelas murahan, Siti kelihatan sama dengan orang kebanyakan. Uki, 42 tahun, mengemis di sekitar Stasiun Jatinegara, Jakarta Timur, ditemani istrinya, Sawiyah. Uki berperan sebagai orang buta, dituntun istrinya. Ketika kereta api berhenti, pasangan pengemis ini menyerbu penumpang yang turun. Mereka kemudian naik kereta melewati gerbong demi gerbong dengan tertatih-tatih. Sore hari, dengan kereta jurusan Purwakarta, keluarga pengemis ini pulang ke kampungnya. Mereka turun di Stasiun Plari, sekitar Karawang. Singgah di sebuah warung membeli oleh-oleh dan mengambil sepeda yang dititipkan, Uki ternyata tak buta. Ia menaiki sepeda memboncengkan istrinya pulang ke Desa Kopo, Kabupaten Karawang, 5 km dari Plari. Ia punya rumah cukup lumayan beratap genteng dengan luas bangunan 5 x 6 meter. Sama sekali tak terkesan bahwa keluarga ini keluarga melarat. Ketika wartawan TEMPO yang membuntuti dari Jakarta menanyakan, apakah masyarakat desanya tahu ia mengemis, Uki menjawab polos: "tak ada yang tahu." Penghasilan bersih setiap hari Rp 2.500. Mana ada orang di desa itu berpenghasilan bersih sebesar itu setiap hari. Akan menjadi deretan amat panjang jika aktor dan aktris dunia pengemis ini dituliskan satu persatu. Bukan saja di kalangan orang dewasa, pengemis cilik di berbagai kota besar di Indonesia pun sudah mulai dengan sempurna memperagakan cacat yang mengada-ada. Dengan cara yang agak kuno, misalnya, kakinya dibalut dengan ditaburi terasi supaya lalat mengerubung. Atau tertatih-tatih dengan wajah kusam seolah tak makan berminggu-minggu. Tapi yang agak baru adalah akting pengemis bernama Napi yang berpura-pura gila. Ia beroperasi setiap hari di simpang Jalan Kopi, Jakarta Kota. Main bentak, lari mengejar mobil, telanjang dan segala ulah lainnya. Orang yang kesal dan tak mau ambil risiko biasanya melayangkan recehan logam seratus rupiah. Penghasilan Napi setiap hari minimun Rp 5.000. Dan ketika dilacak, ternyata pemain watak ini normal saja adanya. Begitu mudahnya para pengemis mencari uang, kebutuhan mereka pun semakin meningkat, tak ubahnya pekerja yang lain. Di Jakarta, lapangan yang basah ini melahirkan pula "koordinator" yang mengatur gerak para pengemis. Dari mencarikan tempat penampungan, mengedrop ke tempat beroperasi, membagi daerah-daerah operasi, memberitahukan jika akan ada razia -- sampai mengusahakan pembebasan jika pengemis ditangkap. Jaring-jaring ini yang mau dilumpuhkan oleh Dinas Sosial DKI. "Pengemis di Jakarta menimbulkan kesan pameran kemiskinan," kata Drs. Waluyo dari Dinas Sosial DKI. Apa yang dikemukakan Waluyo ini senada dengan ucapan Drs. Haditono, dosen sosiologi FKIS-IKIP Yogyakarta. "Dilihat dari segi kemanusiaan, pengemis itu merupakan orang-orang yang merosot martabatnya," kata Haditono. "Juga menunjukkan tidak adanya pemerataan kesejahteraan masyarakat." Tahun 1980, Haditono melakukan penelitian untuk mengetahui pola kehidupan kelompok masyarakat pengemis dengan 96 responden. Penelitian yang dilakukan khusus di DI Yogyakarta itu menyebutkan, pengemis sebagian besar dalam usia produktif, 25 sampai dengan 45 tahun. Alasan mereka mengemis, karena sukar mencari pekerjaan lain yang penghasilannya lebih baik (50%), tak dapat melakukan pekerjaan lain (35%), pekerjaan mengemis lebih mudah (12%), dan jelas-jelas menyebut pengemis lebih enak (3%). Dari mana mereka memperoleh kepandaian mengemis? Jawabnya: 83% menyebut mempelajari sendiri dan sisanya belajar dari temannya. Yang cukup mengejutkan adalah tanggapan mereka terhadap jenis pekerjaan mengemis. Ada 90% yang mengatakan, pekerjaan mengemis adalah pekerjaan yang halal dan wajar. Yang 10% tak bisa menjawab. Kemudian hasil penelitian itu menunjukkan pula, para pengemis itu sebelumnya sudah mempunyai pekerjaan yang sebenarnya cukup baik dan terhormat," sesuai dengan martabatnya sebagai manusia," kata Haditono. Yakni, bertani (10%), berdagang (12%), buruh (39%), pembantu dan pesuruh (39%). Penelitian yang menghabiskan biaya Rp 500.000 dalam waktu 4 bulan ini seperti menggambarkan, lapisan masyarakat bawah tak segan-segan mengorbankan "harga diri" untuk mengejar uang lebih banyak, dengan cara lebih gampang -- satu keadaan yang agaknya mirip terjadi di kalangan "sana" yang biasa mengumpulkan kekayaan dengan hanya mempertaruhkan jabatannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus