Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Banjir di Kalimantan Selatan merupakan yang terbesar yang pernah terjadi dengan 11 kabupaten/kota yang terkena dampak.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan penyebab banjir di Kalimantan Selatan adalah anomali cuaca dan bukan soal luas hutan di daerah aliran Sungai Barito.
Curah hujan yang tinggi tidak dapat ditampung dengan baik oleh lingkungan lantaran terdapat perubahan kondisi lahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Banjir yang melanda sejumlah kabupaten dan kota di Kalimantan Selatan tak semata-mata karena anomali cuaca dan tingginya curah hujan. Akademikus dari Universitas Lambung Mangkurat, Baharuddin, mengatakan aktivitas tambang dan perkebunan di daerah aliran Sungai (DAS) Barito ditengarai turut berkontribusi dalam banjir yang melanda 11 dari 13 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan itu.
Baharuddin menegaskan, curah hujan di daerah Pegunungan Meratus memang tinggi, tapi tingginya curah hujan diperparah oleh alih fungsi lahan yang cukup masif di kawasan DAS Barito. Dia mengumpulkan data-data berkaitan dengan rupa bumi Indonesia, khususnya daerah Kalimantan Selatan, yang dikeluarkan Badan Informasi Geospasial--dahulu Bakosurtanal--pada 1997. Data tersebut ia bandingkan dengan keluaran data terbaru pada 2018 dan 2019.
“Di sana terlihat bagaimana perubahan lahan. Data terbaru menunjukkan adanya aktivitas tambang dan perkebunan yang monokultur, seperti kelapa sawit dan karet, dan cukup masif serta pesat di DAS Barito,” ujar Baharuddin kepada Tempo, kemarin.
Baharuddin bercerita, dirinya juga mengkaji menggunakan citra sentinel serta menganalisis data curah hujan di Kalimantan Selatan pada 9-17 Januari. Menurut dia, curah hujan tertinggi selama 9-17 Januari 2021 terjadi pada 14 Januari di bagian barat Pegunungan Meratus di DAS Barito. Curah hujan yang tinggi tersebut tidak dapat ditampung di kawasan tersebut lantaran terdapat perubahan kondisi lahan.
Sungai Hantakan pasca-banjir bandang di Desa Alat, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, 20 Januari 2021. ANTARA/Muhammad Nova
Ia menuturkan, kondisi di daerah aliran sungai itu dahulu adalah rawa dan hutan, sehingga masih dapat diandalkan untuk menampung curah hujan tinggi di Pegunungan Meratus. Rata-rata curah hujan di sana berada di angka 4.000 milimeter per tahun, yang menurut pendapat Baharuddin normalnya adalah 2.500 milimeter.
Dia menjelaskan, kondisi lahan yang seharusnya bisa menyerap air ke tanah kini berubah, sehingga air terkumpul di daerah yang lebih rendah. Dia mencontohkan banjir di sejumlah kawasan di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. “Ada perubahan di atas aliran sungainya, sudah berubah lahannya. Ada tambang,” ujar dia. Perubahan lahan tersebut pada akhirnya memperparah kondisi yang ada. “Curah hujan menjadi pemicu utama, namun kondisi lahan yang mengalami deforestasi juga tak bisa dikesampingkan,” kata dia.
Banjir kali ini di Kalimantan Selatan merupakan yang terbesar yang pernah terjadi lantaran luasnya sebaran yang terkena dampak, yakni 11 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalimantan Selatan, Mujiyat, mengatakan banjir menewaskan 21 orang. Sembilan korban tewas berasal dari Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Dia menuturkan, air dengan cepat naik sehingga banyak masyarakat tak sempat mengungsi. Tim BPBD menyatakan enam orang dilaporkan hilang di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Selain di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, korban jiwa terbanyak ada di Kabupaten Tanah Laut. Menurut Mujiyat, selain banjir, korban tewas di sana lantaran terjadinya tanah longsor. Tim menghadapi kendala saat evakuasi korban, seperti lokasi yang terisolasi, infrastruktur yang terputus, dan radius banjir yang luas.
Data BPBD Kalimantan Selatan per 20 Januari 2021 pukul 18.00 Wita, banjir berdampak pada 403.605 jiwa dan membuat 48.684 jiwa di antaranya mengungsi. Sebanyak 79.636 unit rumah terkena dampak akibat kejadian banjir ini.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono, menyatakan banjir di Kalimantan Selatan terjadi lantaran tata kelola lingkungan di wilayah itu sudah rusak. Dia menyatakan Kalimantan Selatan punya luas 3,7 juta hektare yang terdiri atas 13 kabupaten/kota. Sebanyak 50 persen dari 3,7 juta hektare wilayah tersebut sudah dibebani izin industri ekstraktif, yakni tambang 33 persen dan perkebunan kelapa sawit 17 persen. Selain itu, daya tampung dan daya dukung lingkungan berubah, bahkan rusak seperti di kawasan tutupan lahan dan daerah aliran sungai.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah, mengatakan kegiatan tambang yang juga berada di hulu DAS dan badan DAS berkontribusi dalam banjir di Kalimantan Selatan. Ia mengatakan Pegunungan Meratus adalah “jantung” Kalimantan Selatan. Namun di sana terdapat dua aktivitas tambang dari sejumlah perusahaan.
Adapun Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan penyebab banjir di Kalimantan Selatan adalah anomali cuaca dan bukan soal luas hutan di daerah aliran Sungai Barito. Lewat akun media sosial resmi, kemarin, dia memaparkan DAS Barito seluas 1,8 juta hektare hanya merupakan sebagian dari DAS Barito Kalimantan seluas 6,2 juta hektare.
Data Kementerian tahun 2019, sebesar 83,3 persen hulu DAS Barito bertutupan hutan alam dan sisanya 1,3 persen adalah hutan tanaman. Bagian dari DAS Barito Kalimantan Selatan secara wilayah hanya mencakup 40 persen kawasan hutan dan 60 persen area penggunaan lain (APL) atau bukan kawasan hutan.
Siti Nurbaya menyatakan DAS Barito Kalsel berada di lahan untuk masyarakat yang disebut APL dan didominasi pertanian lahan kering campur semak, sawah, serta kebun. Hasil analisis menunjukkan penurunan luas hutan alam DAS Barito Kalimantan Selatan selama periode 1990-2019 adalah sebesar 62,8 persen. “Penurunan hutan terbesar terjadi pada periode 1990-2000, sebesar 55,5 persen,” kata dia.
Siti Nurbaya di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, 2019. TEMPO/Subekti.
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, M.R. Karliansyah, mengatakan banjir pada DAS Barito terjadi di daerah tampung air (DTA) Riam Kiwa, DTA Kurau, dan DTA Barabai akibat curah hujan ekstrem. “Selama lima hari dari tanggal 9 sampai 13 Januari 2021, terjadi peningkatan 8-9 kali lipat curah hujan dari biasanya. Air yang masuk ke Sungai Barito sebanyak 2,08 miliar kubik, sementara kapasitas sungai kondisi normal hanya 238 juta kubik,” kata dia dalam media briefing virtual.
Karliansyah menilai perlu terobosan ihwal konservasi tanah dan air, pengembangan kebijakan konservasi tanah dan air, serta pengembangan sistem peringatan dini. Menurut dia, beberapa rekomendasi ini telah dijalankan dengan baik bersama pemerintah daerah.
DIANANTA P SUMEDI (KALSEL) | AVIT HIDAYAT | DIKO OKTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo