Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Novel Mari Pergi Lebih Jauh terpilih sebagai karya seni pilihan Tempo 2024 kategori buku sastra prosa.
Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie mengembalikan cerita anak yang kelam seperti yang dulu diangkat Grimm Bersaudara dan Hans Christian Andersen.
Cerita anak sejatinya kisah perlawanan terhadap dominasi dan represi orang dewasa.
JIKA ada, cap yang bisa diberikan pada karya-karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie adalah hadirnya kembali kekelaman dalam cerita anak. Cerita menjadi kelam karena ia bukan dunia fiksional yang menyenangkan, melainkan, sebaliknya, sebuah jagat yang penuh penderitaan dan bahaya untuk anak. Ini terutama karena bekerjanya kekerasan, seperti pembunuhan, penyiksaan, dan perudapaksaan, yang melibatkan anak sebagai pelaku, korban, ataupun sekadar saksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekerasan menjadi tak terhindarkan karena tuntutan cerita atau sebagai upaya mencapai kualitas dramatik yang diinginkan. Kekerasan itu kadang ditempuh anak sebagai bagian dari perlawanan mereka terhadap dominasi dan represi orang, termasuk orang tua sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cerita anak di mana pun sejatinya adalah kisah perlawanan anak-anak terhadap dominasi dan represi orang dewasa sehingga anak bisa membangun dunia yang bebas dan menyenangkan. Tapi perlawanan tersebut sering memunculkan pertanyaan: apakah cerita anak semacam itu cocok untuk anak-anak? Atau sejatinya itu cerita untuk orang dewasa yang memasang anak-anak bukan lagi sebagai sekadar tokoh, melainkan juga bahan permainan, yang bisa diutak-atik, digeser ke sana-kemari? Untuk sementara, biarlah pertanyaan ini menjadi bahan pembicaraan tersendiri.
Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (kedua dari kanan) dalam acara Panggung Pembaca Pingu di Gramedia Matraman, Jakarta, 10 Januari 2025. Tempo/Charisma Adristy
Syahdan, untuk menyelamatkan dirinya, seorang anak menceburkan nenek sihir ke dalam kuali mendidih. Atau, ketika mengunjungi neneknya yang sakit, seorang anak dimangsa bulat-bulat oleh serigala yang kelaparan. Di lain waktu, ada anak yang dibuang ke hutan oleh orang tua mereka yang miskin dan pulang dengan panduan cuilan roti (di cerita lain: batu merjan) dan cahaya bulan. Pemandangan kelam dengan berbagai variasinya itu bisa kita dapatkan dalam cerita-cerita anak gubahan Grimm Bersaudara, Charles Perrault, atau Hans Christian Andersen—sebelum dibikin manis dan ramah anak oleh Walt Disney. Dan Ziggy memilih kembali ke kitah.
Sebagaimana karya-karyanya terdahulu, sebutlah Di Tanah Lada (2015) dan Semua Ikan di Langit (2017), Ziggy kembali menghadirkan dunia anak-anak yang penuh kekerasan dan upaya pembebasan dalam Mari Pergi Lebih Jauh (2024). Dengan novel setebal 208 halaman ini, Ziggy membangun fiksi spekulatif yang jika disigi lebih dalam akan terlihat adukan berbagai genre cerita, dari fantasi, fabel, fiksi sains, hingga petualangan dan kisah detektif anak-anak, yang membuat segala hal di dalamnya menjadi mungkin. Misalnya perwatakan yang ganjil dan penceritaan yang menantang kesabaran pembaca—karena kerap munculnya repetisi dan singkatan kata-kata.
Prosa pilihan Di Tanah Lada (2015), Semua Ikan di Langit (2017), dan Mari Pergi Lebih Jauh (2024).
Novel ini dibuka dengan satu berita yang mengganggu: pembakaran karya anak. Orang tua memusuhi anak-anak yang menulis karena membahayakan kenyamanan mereka, yang umumnya sibuk mencari uang dan tidak suka bermain dengan anak-anak sendiri. Itulah sebabnya, melalui Gerakan Pembakaran Karya Anak atau GPKA, mereka berusaha memberangus karya-karya anak di seluruh jagat. Dalam operasi pemberangusan ini, mereka mencurigai tiga anak dari Rumah Merah Nomor 17: Mi Si Sulung Mo, Ma Anak Kedua Mo, dan Mo Yang Paling Kecil Mo. Untuk hasil yang lebih mujarab, mereka juga bekerja sama dengan kekuatan lain, yang tidak kalah ganjilnya, untuk menangkap anak-anak dan mengirim mereka ke rumah sakit jiwa.
Setelah melewati Konferensi Telepatik Bayi, tiga anak balita itu, dibantu Petronella, seorang anak yang lebih besar dan Kepala Segala Bidang Jasa Pengiriman Pelikan Pos, berjuang menyelamatkan Fufu dan anak-anak lain dari rumah sakit jiwa yang dinamai dengan sangat panjang: Rumah Sakit Jiwa Gerakan Pembakaran Karya Anak Oh Sangat Mencekam Darurat atau RSJGPKAOSMD. Setelah berhasil, mereka harus menyelamatkan Finn Jamanon Line alias Fifi (kembaran Fufu) di Kota Terapung Kucing Luar Biasa. Terakhir, mereka berkongsi untuk menyelamatkan Mi yang ditangkap polisi dan disekap di Penjara Suramnian.
Dalam novel ini, dunia anak yang ceria, tentu saja, menjadi masa lalu. Sebab, pada masa kini, dalam cerita novel ini, mereka harus hidup sebagai orang-orang buangan dan semua itu disebabkan oleh kebencian orang tua mereka. “Ingat,” kata Petronella setelah membebaskan Fifi, “yang sesungguhnya mencoba membuang kalian adalah orang tua.” (halaman 169)
Novel ini adalah sebuah parodi ketegangan hubungan antara orang tua dan anak-anak mereka. Sementara selama ini orang tua dipandang sebagai sosok yang dihormati—sebab, dalam pelajaran moral di sekolah ada kewajiban menghormati orang tua dan guru—posisi mulia itu kini diledek-ledek, dengan menempatkan orang tua sebagai sumber masalah.
Namun yang tidak kalah penting dalam konfrontasi anak-anak terhadap orang tua itu adalah pengarang menampilkan cara berkisah yang mau tidak mau harus terjadi dan semaksimal mungkin meyakinkan pembaca. Keganjilan menjadi permanen dan permainan dalam segala bentuknya menyeruak.
Ambil contoh nama-nama tokoh cerita. Nama-nama dalam novel ini menjadi penting karena bukan sekadar kata atau gabungan kata, melainkan mengarah pada bunyi dan makna tertentu. Sekilas penamaan tokoh, benda, peristiwa, dan konsep dalam novel itu terkesan semena-mena. Tapi, jika dicermati, tata nama itu mengarah pada semangat parodi—semacam pelesetan yang tak kunjung usai: I Nginti Dur, M. Enguap, Ketty N. Dihan, Mint Aduit, Marta Bakeju, Moma Rah, Soma Itahu, Finn Jamanon Line, Tiput Eru S., dan seterusnya.
Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie di Gramedia Matraman, Jakarta, 10 Januari 2025. Tempo/Charisma Adristy
Pengarang juga memberi perhatian pada pembentukan kata-kata turunan yang belum lazim dalam bahasa Indonesia tapi, dengan sinaran morfologi bahasa Inggris, menjadi mungkin. Misalnya, dari kata sifat “sulit dimengerti”, pengarang membuat bentukan nomina “kesulitandimengertinya”—meski ada juga yang meleset: “kemenyenangkan” semestinya “kemenyenangkanan” (ke + menyenangkan + an). Belum lagi pembentukan kata-kata baru yang mengacu pada bentukan kata yang sudah ada. Jika kita bisa mengatakan “pertama-tama”, pengarang memberi kita bentukan “kedua-dua” dan “ketiga-tiga”. Atau, sementara selama ini kita bisa mengatakan “seseorang”, dalam novel ini kita mendapatkan “seseKucing”.
Adapun banyaknya singkatan berisi konsonan berderet-deret mengingatkan kita pada kegemaran menyingkat kata oleh aparat Orde Baru. Jadi novel ini sebenarnya sebuah parodi terhadap masa yang belum terlalu jauh dalam ingatan orang dewasa. Juga sebuah spekulasi tentang bagaimana jika anak-anak sekarang hidup di zaman itu. Singkat kata, selain menghadirkan petualangan anak-anak yang kelam, jungkir balik, novel ini memperlihatkan permainan yang tak kenal dosa: bahasa anak-anak.
Mari Pergi Lebih Jauh adalah sebuah fiksi petualangan anak-anak yang memikat. Semua ini menunjukkan upaya gigih Ziggy dalam menghadirkan fiksi yang berbeda dengan kebanyakan fiksi berbahasa Indonesia sekarang—terlebih yang terbit sepanjang 2024. Kesungguhannya dalam menempuh medan yang sulit telah memberinya tempat tersendiri yang khas. Tapi, jika kurang berhati-hati, kelewat “syik-asyik”, dia bisa terjerumus dalam kemelanturan yang tidak perlu.
Walhasil, novel ini, sebagaimana tersirat dari judulnya, telah berhasil keluar dari kejamakan. Ia telah pergi jauh demi menyongsong sesuatu yang belum banyak dirambah oleh pengarang lain di negeri ini. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Petualangan Jungkir Balik Tiga Balita