Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pemili filipina, festival orang kaya

Pemilu di filipina mempunyai warna khas: meriah, jor-joran, dan saling tonjok. wartawati leila s.chudori menuliskan laporan selama mengikuti pesta demokrasi itu, mei lalu. kursi-kursi parlemen dan presiden yang menjadi rebutan antarcucu, sepupu dan ipar osmena, dan laurel. sementara bunga surawijaya melakukan riset berbagai bahan, antara lain dari asiaweek dan the straits times.

6 Juni 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tumpukan sampah yang menggunung itu masih tetap sama dari tahun ke tahun. Ia teronggok abadi, dikerubung lalat dan beragam bau dan penyakit. Tapi anak-anak kecil setengah telanjang yang berlarian mengelilinginya masih tetap menderita kelaparan sepanjang hari. Minggu-minggu sebelumnya penduduk Tondo seperti "panen" pengunjung. Maklum, Tondo -- kawasan pinggiran Kota Manila paling miskin -- merupakan obyek paling empuk bagi politikus yang kepingin dipilih rakyat. Jika jalanan Manila tak macet, Anda bisa mencapai Tondo dari Manila dalam waktu 20 menit. Dalam kondisi macet, sulit diduga. Tondo adalah sebuah kerajaan kumuh yang selalu dikerubung lalat, menjadi ngepop ketika masa kampanye. "Minggu lalu semua calon presiden berkunjung ke sini dan berjanji akan membersihkan daerah ini," kata Rika Lazatin kepada TEMPO. Gadis kecil berusia 12 tahun ini bertempat tinggal di rumah kaleng Tondo dan terpaksa berhenti bersekolah karena "harus cari uang" -- sehari-hari ia menjajakan koran kuning di pinggir jalan. Inikah pertanda janji calon-calon presiden yang hanya enam tahun sekali? Di Filipina, yang mana para pemimpin selalu datang dari kelompok "mahakaya", janji sosial dan pertarungan program hanya terdengar di kampanye. Di balik itu, pertarungan meraih kedudukan presiden, lebih banyak saling mencakar. Ketujuh calon presiden yang kini berkompetisi punya cara sendiri-sendiri. Miriam Defensor Santiago sibuk menyusun daftar kecurangan kelompok Fidel Ramos. Danding Cojuangco sibuk berkoar-koar bahwa ia pasti akan melibas Fidel Ramos dan Miriam Santiago yang angka pemilihnya kini berada di atas namanya. Namun Ramon Mitra Jr., Jovito Salonga, dan Salvador Laurel mengaku kalah dengan rendah hati. Imelda Marcos menyusun strategi kampanye yang sangat aneh. Ia minta agar uang di Bank Swiss yang telah dibekukan bisa kembali kepadanya. Ia juga minta semua harta bendanya yang masih dipajang di Malacanang, termasuk sepatu dan BH, dikembalikan. Sandra Burton, wartawati majalah Time, menggambarkan Filipina sebagai negara tutty frutty, sebuah negara yang penuh warna. Ia menulis dalam bukunya yang terkenal, Impossible Dream, "Bukan hanya karena jalan rayanya anarkis tapi juga karena betapa ekstremnya perbedaan pandangan orang-orangnya. Lalu nama-nama panggilan aneh seperti Tingting atau Dingdong. Tapi lihatlah bagaimana para pejabat, menteri, oposisi, jenderal, dan bahkan keluarga Presiden bernyanyi dengan santai pada saat makan malam kenegaraan, di bar-bar, di atas panggung seolah-olah mereka tak mempedulikan persoalan ekonomi dan politik yang menghajar kehidupan mereka." Pemilu 1992 menunjukkan semua sikap dan mentalitas seperti yang dikemukakan Burton. Meriah, riuh-rendah, dan tentu saja melibatkan darah, meski kucuran darah pada pemilu tahun ini sangat minim untuk ukuran Filipina. Dan coba lihat siapa saja yang ikut meramaikan pemilu tahun ini. Lima dari tujuh calon presiden adalah anggota kabinet dan badan legislatif pada masa pemerintahan Aquino. Ramon "Monching" Mitra, Jr. (Juru Bicara Senat) Jovito Salonga (Presiden Senatorial), Miriam Santiago (Menteri Reformasi Agraria), Fidel "Eddie" Ramos (Menteri Pertahanan), dan Salvador "Doy" Laurel (Wakil Presiden). Sedangkan sisanya, musuh bebuyutan Presiden Cory Aquino, Imelda "Meldy" Marcos, dan Eduardo "Danding" Cojuangco, konglomerat yang memonopoli seluruh perusahaan kelapa dan gula di Filipina, yang ikut kabur bersama Presiden Marcos tahun 1986. Meriahnya pemilu tahun ini semakin meningkat karena rakyat bukan hanya diharuskan memilih presiden dan wapres tapi juga memilih 24 anggota senator, 200 anggota DPR, 73 gubernur, dan 73 wali kota. Karena itu setiap pemilih harus menulis 40 nama di atas kertas pemilu. Presiden Aquino mengimbau agar semua pemilih sebaiknya menulis dulu nama-nama kandidat yang dipilihnya dan tinggal dipindahkan pada formulir pemilihan. Kalau tidak, bisa dibayangkan kerepotan mengisi formulir. Itulah sebabnya pekan terakhir sebelum pemilu seluruh koran Filipina menerbitkan dua halaman ekstra yang berisi 87.770 nama kandidat, lengkap dengan jabatan yang diburu dan nama panggilan para kandidat. Soalnya, orang Filipina lebih mengenal nama "Tingting" daripada Margarita Cojuangco yang mencalonkan diri sebagai gubernur Tarlac. Orang lebih tahu nama "Celing" daripada nama Marcelo Fernan, yang mencalonkan diri menjadi wakil presiden "Monching" Mitra. "Menjadi orang Filipina harus punya nama panggilan. Itu syarat mutlak," kata wartawan Emily, yang biasa dipanggil Ging. Para wartawan asing terpaksa menghafal nama-nama panggilan ini karena mereka akan menggunakan nama panggilan daripada nama asli dalam berbagai pengumuman maupun poster-poster. Ada lagi keanehan lain. Namanya bukan Filipina kalau tidak bicara soal musik dan bisnis hiburan. Percaya atau tidak, para penyanyi dan bintang film Filipina bukan hanya penghias di atas panggung kampanye. Mereka juga ikut mencalonkan diri. Misalnya aktor macho berkumis tebal yang biasa bermain sebagai seorang jagoan pembela orang miskin, Joseph "Erap" Estrada. Selama pemerintahan Aquino, Erap sudah meniti karier politiknya menjadi senator. Tapi televisi Filipina yang jail sering menyorot sidang-sidang perdebatan senator yang mana Erap hanya bisa memandangi langit-langit gedung Senat atau menguap dan bahkan mendengkur ketiduran. Ia adalah senator yang paling sering disorot wartawan dan menjadi bahan karikatur yang memperlihatkan ketidak-mampuannya. Tapi percaya atau tidak, Erap akan menjadi wakil presiden Filipina karena angka pemilihnya sudah melaju di peringkat teratas menjauhi lawan-lawannya. Bintang film lain yang terjun ke dunia politik adalah Vincente Sotto III. Ia aktor film komedi yang ganteng, berkumis, dan enak dipandang. Tapi jangan tanyakan apa-apa kepadanya karena jawabannya tak akan pernah layak kutip. Tapi nama Sotto pun berada di peringkat teratas dalam pemilihan senator tahun ini. Masih ada beberapa bintang film lain yang tampaknya juga akan meramaikan gedung senat dan parlemen Filipina. Karena itu Max Solliven -- intelektual dan pemimpin redaksi The Philippine Star -- menulis dengan sarkastik, "Jika Anda ingin menjadi politikus di Filipina, Anda tak perlu menjadi sarjana hukum atau ahli ekononomi. Belajar menyanyi atau main sinetron televisi atau jadi koboi di film Filipina niscaya Anda akan terpilih menjadi senator atau bahkan wakil presiden Filipina!" Ia benar. Fransisco Chavez, Jaksa Agung Filipina yang namanya melejit gara-gara berhasil menggeret Imelda Marcos ke pengadilan, atau Silvestro Bello III, Menteri Kehakiman yang terkenal brillian, dan Menteri Penerangan Tomas Gomez III tak masuk dalam daftar 24 senator yang terpilih. Dengan bertaburannya bintang-bintang film di percaturan pemilu tahun ini jangan heran melihat histerisnya warga Filipina yang menghadiri kampanye para calon selalu berkaitan dengan kebudayaan pop. Kampanye akbar Danding Cojuangco, calon presiden partai Nacionalist Party Coalition, yang diadakan di Quirino Grandstand, taman Luneta, mengerahkan puluhan pemain basket nasional yang tampan, penyanyi terkenal Filipina, Sharon Cuneta, aktor-aktor tampan dan jurkam yang ganteng, Gregorio Araneta, menantu Imelda Marcos. Berapa jumlah massa yang bisa disedot Cojuanco? "Dua juta orang," kata Quinito Henson, juru bicara Cojuanco, kepada TEMPO. Tapi televisi channel 4 Filipina mengatakan, lautan manusia itu berjumlah 1,5 juta orang sedangkan versi polisi Filipina mengatakan sekitar 500 ribu orang. Setiap menit terdengar jeritan histeris para wanita yang ingin menyentuh, memeluk, atau mencium para aktor yang susah payah naik panggung. Para aktor dan pemain basket benar-benar menjadi primadona panggung sedangkan sang calon presiden tampaknya menjadi "pelengkap penderita". Ia berteriak sampai parau: tentang perbaikan ekonomi, 700 ribu peluang pekerjaan, peningkatan industri pertanian, dan peningkatan kredit bagi petani. Teriakan yel-yel histeris itu mencapai titik kulminasi ketika Erap Estrada yang berkumis tebal dan berwajah jantan itu angkat bicara. "Oh, Tuhan, ia sungguh pahlawanku, persis seperti Joe," kata seorang wanita sambil menetes air mata terharu melihat Erap berbicara di atas panggung. Joe adalah tokoh pembela orang miskin dalam film seri yang dimainkan Erap. Ini memang menggelikan. Tapi perlu dimaklumi. Mungkin kemiskinan yang belum bisa dienyahkan pemerintahan Aquino menyebabkan orang tak bisa membedakan seorang "Joe" di layar putih dengan Erap Estrada dalam kehidupan nyata. Berbeda dengan kampanye Cojuanco yang megah, mahal, dan mewah, kampanye Jovito Salonga dari partai Liberal di Plaza Miranda pada malam yang sama sangat sederhana dan murah-meriah. Salonga, 71 tahun, seorang politikus yang sangat terkenal karena keteguhannya dalam memegang prinsip. Dialah yang memimpin para senator untuk menentang perpanjangan kontrak basis Subic dan Clark. Salonga hanya mampu meminta kesukarelaan suara Freddie Aguilar. Ini adalah "Iwan Fals" bersih Filipina. Gondrong, penyanyi patriotis, dan lagu-lagunya sangat menggetarkan. Dibandingkan dengan ingar-bingar kampanye Danding Cojuanco, kampanye Salonga hanya dihadiri sekitar 5.000 orang, sebuah "pertemuan" yang tenang dan damai. Pendukungnya pun berdiri dan ikut bernyanyi bersama Aguilar. "Saya tahu ia akan kalah, tetapi saya akan memilihnya, karena ia seorang manusia berprinsip kuat," kata Noli Cabantug, wartawan Filipina dari harian Saudi Gazette. Dan Salonga sendiri tidak terlalu berkoar-koar, ia cukup membacakan pidatonya selama dua menit tanpa menjelek-jelekkan lawannya, lalu kembali mengajak para hadirin berdoa. Miriam Defensor Santiago, 46 tahun, lain lagi. Pengagum Lee Kuan Yew dan Margaret Thatcher ini punya massa yang terdiri dari mahasiswa, kaum intelektual, dan hampir seluruh penduduk Metro Manila. "Please, kalau Anda akan mewawancarai Santiago, saya ingin mengantar, boleh bayar ongkosnya setengah harga saja," kata sopir taksi Manila Hotel yang biasa mengantar saya menembus kemacetan Manila pada pekan terakhir kampanye akbar. Santiago adalah fenomena baru dalam politik Filipina. Namanya melejit gara-gara keberaniannya menangkapi mafia penyelundup ketika ia menjabat dirjen imigrasi, dan memecat puluhan pegawainya yang menerima suap. Kebudayaan politik Filipina yang menganggap suap-menyuap dan korupsi sebagai bagian dari kehidupan tentu saja sukar menerima makhluk seperti Santiago. Tapi, lihat anak-anak muda yang histeris di Aranetta Collisium, ketika Santiago mengadakan kampanye akbarnya yang terakhir. Meski Santiago adalah seorang fighter, toh ia harus dikawal beberapa bodyguard ke mana pun ia pergi. Ini terpaksa dilakukannya sejak ia menjabat dirjen imigrasi, karena hampir setiap hari ia menerima ancaman pembunuhan. "Ada yang menulis ancaman dalam bahasa Inggris yang tata bahasanya buruk dan kacau. Keesokannya saya mengumumkan lewat pers, mohon agar calon pembunuh saya yang budiman belajar tata bahasa Inggris yang baik dulu sebelum berani menulis surat kepada saya. Atau, janganlah malu memakai bahasa Tagalog," katanya. Ancaman semacam ini tentunya tidak cuma dialami Santiago. Karena itu, Ramos, Cojuangco, dan Mitra -- yang belum menjadi presiden itu -- juga selalu membawa "pasukan satpam" di sekelilingnya. Malah, konon, Cojuanco mempunyai ribuan tentara yang digaji untuk menjaganya. Sudah menjadi rahasia umum di basement rumah Cojuanco di Quezon City terdapat ratusan senjata koleksi Danding Cojuanco. Ia tak segan-segan memamarkan koleksi senjatanya itu kepada wartawan asing yang mewawancarainya. Warna lain dalam pemilu khas Filipina adalah usaha saling menjatuhkan lawan. Selama seminggu sebelum hari pemilu, 500 wartawan asing dan ratusan wartawan lokal dibikin pusing oleh tumpukan propaganda dari kantor pusat partai lain. Misalnya, satu partai akan memberikan "daftar dosa" Fidel Ramos pada masa lalu. Perannya menangkapi musuh politik Marcos -- termasuk Ninoy Aquino dan Ramon Mitra Jr. -- ketika ia menjadi Kepala Police Constabulary di masa Marcos. Juga hubungannya dengan pengusaha Catalino Tan dan seorang wanita. Para wartawan diberi setumpuk propaganda "dosa" Miriam Santiago yang sering dijuluki "Brenda" -- singkatan dari "brain damage". Daftar "dosa" Imelda Marcos dan Cojuanco tak terhitung dan Mitra pun dituduh memiliki tanah ribuan hektare di Mindanao secara tidak legal. Tugas wartawan tentu saja mengecek kebenaran tuduhan-tuduhan itu kepada yang bersangkutan -- biasanya disangkal -- dan harus tetap mampu memilah-milahnya, karena propaganda adalah propaganda, tiga perempat tulisan itu biasanya omong kosong. Upacara menjatuhkan lawan biasa merembet ke halaman iklan koran dan tabloid. Misalnya puluhan LSM (lembaga swadaya masyarakat) dan aktivis menanandatangani sebuah petisi yang diiklankan di berbagai koran dengan judul "Nurani kita mengatakan TIDAK kepada Fidel Ramos, yang bertanggung jawab sebagai pemilik daftar politikus, wartawan, dan mahasiswa yang ditangkap di masa Marcos. TIDAK kepada Eduardo Cojuangco, satu-satunya anggota sipil di luar pemerintahan Marcos yang ikut membuat perencanaan Martial Law dan membangun kekaisaran ekonominya sebesar 9,7 milyar peso dan TIDAK kepada Imelda Marcos yang memiliki kekayaan secara tidak legal ...." Iklan sebesar satu halaman ini terpampang di hampir semua halaman koran Filipina dan entah siapa yang membayar ongkos pemasangannya. Akibat kebudayaan saling menjatuhkan antara partai satu dengan lainnya, situasi pada hari-hari sebelum pemilu semakin simpang-siur dan ratusan gosip berseliweran seenaknya. Misalnya, gosip dukungan Kardinal Sin terhadap para kandidat presiden. Sejak semula, Jaime Kardinal Sin, seorang kardinal yang sangat aktif dalam isu politik Filipina, secara resmi tak pernah menyebut nama kandidat presiden yang dicalonkannya, tapi secara implisit ia menyebutkan dalam surat "gembala kepada dombanya" yang berisi nasehat agar para "domba" jangan memilih orang-orang yang pernah membuat rakyat menderita di masa pemerintahan Marcos. Orang segera menebak bahwa orang yang dituju adalah Imeda Marcos, Danding Cojuangco, dan Fidel Ramos. "Ramos adalah kawan baik saya. Dia sering ke sini ...," kata Kardinal Sin kepada TEMPO beberapa bulan silam di kediamannya di Villa San Miguel, "tapi, pada saat Martial Law, dia adalah pemimpinnya. Pada saat itu banyak penyiksaan. Dan saya tahu, Ramos tidak disukai di Mindanao dan di Ilocos Norte karena ia adalah seorang militer ...," katanya lagi. Kalau yang bicara begini adalah Jaime Kardinal Sin, memang tidak boleh main-main. Peran gereja dan politik yang dianggap terlalu mesra ini kemudian menjadi persoalan bagi para kandidat presiden pada pemilu tahun ini. Masalahnya, Kardinal Sin memperlihatkan ketidaksukaannya kepada ketiga calon tadi dan kesimpulan sementara rakyat Filipina adalah, gereja memilih Ramon Mitra Jr. Sehari sebelum Kardinal Sin kembali menulis surat "gembala kepada dombanya", bahwa "politik harus dilihat dari nama Tuhan dan mengangkat harkat manusia, keadilan sosial, dan kesejahteraan rakyat." Ia mengulang kata-katanya untuk tidak memilih orang-orang yang pada masa lalu menggunakan kekuasaan militernya dan menggonta-ganti konstitusi demi kepentingan diri sendiri. "Benarkah sesungguhnya Kardinal Sin kini membela Ramos? Kami mendengar Kardinal Sin mengundang Ramos makan siang," tanya seorang wartawan kepada anggota partai LDP, partai yang dipimpin Mitra. "Itu tidak benar," kata Lulu Casas, salah satu humas LDP. "Kardinal Sin masih ada di pihak kami. Tak mungkin Kardinal Sin mengundang Ramos untuk makan siang." Semua wartawan mengerutkan kening. Schedule makan siang Ramos dan Kardinal Sin bukan berita bohong. Itu sudah diumumkan. Keadaan jadi simpang-siur. Sebagian wartawan mengecek ke kantor partai Lakas-NUCD, partai yang dipimpin Ramos. Ternyata, Ramos memang diundang makan siang oleh Kardinal Sin, tapi belakangan Ramos terpaksa membatalkannya karena ada peristiwa pengeboman terhadap dua anggota partainya di Kota General Santos. Tapi acara makan siang itu dihadiri oleh anggota partai Lakas-NUCD lainnya, yakni Menlu Raul Manglapus, Rafael Alunan, dan adik Ramos, Senator Leticia Ramos-Shahani. Isu soal dukungan Kardinal Sin terhadap Ramos lantas menguap. Dan perhatian tetap tertuju kepada tiga nama yang kira-kira akan menjadi tiga peringkat utama dalam pemilihan presiden ini: Ramos, Mitra, dan Cojuangco. Ketika saya bertaruh dengan beberapa wartawan Filipina bahwa dua nama yang bersaing adalah Santiago dan Ramos, saya ditertawakan habis-habisan. "Santiago memang populer, tapi dia gila. Tak mungkin dia bisa melibas Mitra," kata wartawan Manila Times pada saya. Kami "bertaruh" makan es halo-halo (es telernya Filipina). Hari pemilu berjalan dengan mulus, tanpa darah dan pistol. Ini di luar kebiasaan Filipina. Hingga hari itu, korban yang jatuh karena main bunuh-bunuhan sejak bulan kampanye dimulai Februari silam, ada sekitar 73 orang. Dan menurut Christian Monsod, Direktur Comelec (lembaga pemilu Filipina) angka sebegitu "nggak seberapa" dibandingkan angka kematian pada pemilu-pemilu sebelumnya. Tepat pukul empat, berbagai stasiun televisi swasta dan radio mulai mengadakan perhitungan sendiri. Dan siapa yang menyangka, nama yang berada di peringkat atas adalah nama Miriam Defensor Santiago. Meski banyak yang menyadari kepopuleran Santiago di kalangan anak muda, aktivis, dan mahasiswa, para pengamat menyangka kepopuleran Santiago hanyalah karena pers menyukai tingkah lakunya yang nyentrik, ucapan-ucapannya yang ganas, dan sikapnya yang konsisten terhadap antisuap dan antikorupsi. Mereka tidak menyangka bahwa Santiago akan bisa terus-menerus berada di peringkat pertama selama beberapa hari. Maka, hari-hari berikutnya bagi saya, selain menikmati segelas es halo-halo, adalah memonitor Santiago dan Ramos. Mitra saat itu berada di peringkat keenam dan ia langsung menyatakan "akan mencukur jenggot dan berkontemplasi untuk pensiun dari dunia politik." Jadi, para "domba" tidak mendengarkan gembalanya. Kardinal Sin pun bungkam dan malah menerima kunjungan Miriam Santiago yang saat itu merasa di atas angin.Di muka ratusan wartawan, Kardinal Sin dan Santiago berdiri di muka balkon dan melambai-lambaikan tangan bak keluarga bangsawan Inggris terhadap rakyatnya. Pameran ini dianggap restu Kardinal Sin yang terbaru karena Mitra sudah jelas kalah. Ramos tidak tinggal diam. Ia memulai sebuah perang baru, yakni perang saraf melawan Miriam Santiago. Sementara itu, Santiago dan Ramos terjun ke dalam perang saraf yang membuat saraf para wartawan dan penonton Filipina ikut terganggu. Tiga malam berturut-turut Ramos muncul di televisi dan mengucapkan kalimat yang sama, "Saya sudah mengenakan seragam Malacanang saya," katanya sambil membetulkan dasinya dan jasnya. Ia tersenyum-senyum menyambung ucapannya, "Saya akan menyusul Miriam, lihat saja." Miriam Santiago tampaknya terpancing. Semula ia berjanji untuk berlibur ke luar kota dan menunggu sampai perhitungan suara selesai, tapi ia keluar dari liang persembunyiannya dan mendadak nongol dalam acara "Straight from the Shoulder", sebuah acara wawancara Louis Betrand di channel 7 televisi GMA-Filipina. "Saya sudah terpilih oleh rakyat," kata Santiago mendeklarasikan diri. Betrand, si pembawa acara, tersentak, "Anda belum boleh memproklamasikan kemenangan!" Tak kurang Presiden Aquino, yang habis-habisan mendukung Ramos, segera memberikan reaksi, "Jangan membuat konklusi yang prematur sebelum perhitungan suara selesai!" Pada hari kelima, ketika angka Ramos sudah mulai mendekati angka yang dicapai Miriam Santiago, para wartawan dikumpulkan di Asian Tourism Institute Hotel. Di sanalah Santiago dengan meledak-ledak menyatakan adanya kecurangan dalam tahap nasional, dilakukan pihak Ramos, yang didukung Aquino. "Saya akan mengadakan serial demonstrasi dimulai dari kota kelahiran saya Ilo-ilo," katanya setengah histeris. Santiago menyebut kecurangan itu sebagai silent fraud. Kecurangan pemilu kali ini, katanya, bukan hanya melalui cara-cara kuno seperti mengancam dengan pistol, menukar kotak-kotak suara dengan kotak suara yang berisi nama kandidat lain, atau menyogok pembeli. "Kali ini pemerintah mendukung penipuan ini dengan cara yang halus," tuduh Santiago. Antonio Leviste, Sekjen People's Reform Party, partai yang dipimpin Santiago, mengatakan bahwa ada tiga gubernur yang ditelepon Cory Aquino dan "Presiden menekankan agar gubernur harus bisa memastikan kemenangan Ramos di daerah mereka." Pengaduan kecurangan ternyata tidak hanya muncul dari Santiago. Danding Cojuangco memberikan beberapa bukti kecurangan yang direkam oleh anak buahnya dengan video. Beberapa peninjau asing yang diizinkan Comelec untuk mengawasi jalannya pemilu juga menyimpulkan bahwa telah terjadi insiden-insiden kecurangan di beberapa provinsi. Peninjau asing dipimpin oleh Anthiny Joseph Wilson, anggota partai buruh Inggris itu terdiri dari beberapa LSM, gereja, profesor, dan diplomat. Namun, mereka belum mau menyimpulkan apakah kecurangan yang terjadi itu memang telah memberikan dampak bagi kemenangan kandidat tertentu. Isu baru pun bertiup: kudeta! Sudah menjadi dugaan banyak orang, kelompok RAM (Reformed Army Movement) pimpinan Gregorio "Gringo" Honasan adalah pengagum Miriam Santiago dan membenci Ramos (TEMPO, 30 Mei 1992). "Ramos adalah tentara yang paling imoral dan tidak kompeten," kata Honasan kepada wartawan Filipina Cristina Yabes dari Newsweek. Honasan tentu saja membenci Ramos karena Ramos selalu berhasil menumpas usaha kudeta kelompok RAM," tutur Jenderal Rene Cruz, bekas wakil Ramos semasa Ramos masih menjabat sebagai menhankam. Kepada TEMPO, Eduardo Kapunan -- pentolan RAM -- mengakui bahwa Ramos selalu menghalangi gerak RAM. Kapunan, yang saat ini masih dalam tahanan luar dan masih dalam proses pengadilan karena keterlibatannya dalam kudeta Desember 1989, menekankan bahwa RAM menginginkan pemilu yang "bersih dan jujur". Tapi ia berkata dengan wajah serius, "Tapi kalau memang terbukti ada kecurangan massal dan besar-besaran, kami akan bergerak." Perhitungan suara secara resmi kini sedang dilakukan oleh kongres Filipina dan pengumuman pemenang akan dibacakan tanggal 12 Juni. Sementara Miriam Santiago masih akan meneruskan demonstrasi protesnya di berbagai kota, Danding Cojuangco masih terus memproklamasikan dirinya sebagai pemenang, dan Ramos sibuk berkonsultasi dengan Presiden Aquino untuk membentuk kabinet yang baru. Honasan dan kawan-kawannya seperti menanti alasan dan situasi yang tepat untuk menjatuhkan presiden yang dianggapnya memenangkan pemilu karena kecurangan. Lalu, penduduk Tondo di pinggiran Manila itu? Bukankah bulan lalu mereka dikunjungi para calon presiden, calon wapres, calon senator, calon gubernur, dan malah sempat disalami dan berpotret bersama? Bukankah Senator Leticia Ramos-Shahani, adik wanita Ramos, mengatakan dengan lantang, "Kulit muka majalah Time yang menunjukkan anak kecil telanjang dengan perut buncit itu sangat menyakitkan hati. Apalagi 'judulnya Siapa yang Bisa Memperbaiki Filipina', apa-apaan itu." Protes ini dilontarkan pada acara jumpa pers dengan Fidel Ramos dan Leticia Ramos-Shahani di Manila Hotel. Potret kulit muka Time yang merekam seorang anak Tondo itu memang menyakitkan hati. Sebuah gambaran khas Filipina dan negara berkembang lainnya. Tapi kita biasanya sulit mengakui wajah buruk sendiri. Kursi untuk Anak-Cucu WARTAWAN Los Angeles Times, Bob Drogin, melakukan pendataan anggota parlemen Filipina, dan sampai pada kesimpulan bahwa 70% anggota kongres kini adalah keturunan langsung anggota parlemen pertama Filipina tahun 1907. Filipina, kata wartawan itu, tetap dipimpin oleh sekelompok kecil elite keluarga feodal yang berpengaruh. "Demokrasi di Filipina adalah demokrasi dinasti," katanya. Di Tarlac, di Cebu, di Batangas, dan di kebanyakan daerah lain, politik tetap menjadi suatu urusan keluarga. Dalam pemilihan umum yang baru lewat, ketika rakyat memilih tidak saja presiden dan wakilnya tapi juga anggota parlemen, masyarakat seperti berhadapan dengan perlombaan dinasti. Keluarga Osmena "mengirimkan" 11 anggotanya, dinasti terkaya Cojuangco diwakili 5 utusan. Lalu wakil-wakil dari klan Magsaysay, Laurel, Marcos, dan Aquino tak ketinggalan. Dari tujuh pasang kandidat presiden dan wakil presiden, lima di antaranya adalah anak cucu politikus lama. Hanya Miriam Santiago dan calon wapres Joseph "Erap" Estrada yang termasuk baru dalam politik nasional. Di kursi kepresidenan, sudah lama keluarga Cojuangco dari Tarlac berhadapan dengan anggota dinasti Laurel dan Marcos. Dua keturunan Ramon Magsaysay, bekas presiden Filipina, sama-sama bertarung untuk kursi nomor dua di negeri itu. Persaingan makin seru karena Magsaysay, selain berhadapan dengan anggota klannya, juga bersaing dengan calon dari dinasti Osmena, cucu Sergio Osmena, bekas presiden Filipina. Kursi kepresidenan dan parlemen tak ubahnya bagaikan "jabatan warisan" yang harus dipertahankan. Brigadir Jenderal Almonte, 61 tahun, pendiri RAM (Reformed Army Movement) -- kelompok militer pembaharu yang mengawali "Revolusi Rakyat" Februari 1986 -- melihat oligarki dan dinasti politik bagai duri dalam daging di Filipina. Oligarki, kata Almonte, membuat kekayaan hanya bertumpuk di beberapa tangan. Dan, "dinasti politik menyebabkan kekuasaan hanya dipegang segelintir keluarga. Ada korelasi antara oligarki dan kelanjutan dinasti politik di sini, " katanya. Dalam keadaan semacam itu, pentas pemilu menjadi menarik, karena yang muncul tak hanya persaingan antardinasti, melainkan pertentangan antara anggota klan-klan itu sendiri. Lihat saja bagaimana Presiden Cory Aquino justru berseteru dengan saudara sepupunya, Eduardo "Danding" Cojuanco (dari Koalisi Partai Nasionalis), karena Cory mendukung calon presiden yang lain, Fidel Ramos (calon dari Partai Persatuan Kristen Demokrat ). Eduardo Danding Cojuangco Jr. calonk presiden terkaya. Ia bekas pengikut Marcos yang setia. Ketika Marcos didesak demonstrasi dan lari ke AS, Danding ikut bersama sang presiden. Danding membangun kerajaan bisnis atas fasilitas Marcos, lewat monopoli bisnis kelapa. Danding baru kembali ke negerinya November 1989, dan menyusun kembali usaha konglomeratnya. Ia kini, menurut wartawan Asiaweek Antonio Lopez, memegang saham atas 234 perusahaan. Musuh-musuh Cojuangco menyebut Danding sebagai "Buaya Danding" dan "Tuan Pacman" karena serakah dan gemar mencaplok perusahaan yang tengah sekarat. Ia mulai dengan perusahaan kelapa dan bank yang dibangun ayah Cory. Kekayaan klan Conjuangco berasal dari zaman pemerintah Jenderal Emilio Aguinaldo. Ketika itu panglima angkatan bersenjatanya Jenderal Antonio Luna. Luna jatuh cinta pada Ysidra, salah satu gadis keluarga Jose Conjuangco -- keturunan Cina yang berasal dari Fujian. Luna, konon, menyembunyikan dana revolusi di Tarlac, dan ketika ia dibunuh pada 1899, tak seorang pun tahu bagaimana nasib dana perjuangan itu. Yang jelas, Ysidra, yang bapaknya cuma pemilik toko barang loak, mendadak menjadi wanita terkaya di negeri itu. Ia mendirikan Bank Perniagaan Filipina pada 1938. Ahli waris Ysidra adalah keponakan-keponakannya, Jose II, Juan, Antonio, dan Eduardo. Dari Eduardo lahir Danding Conjuanco yang kini mencalonkan diri sebagai presiden Filipina. Dari Jose II, yang telah berhasil membujuk tantenya untuk membeli ladang tebu, lahirlah tujuh anak, antara lain Corazon Aquino dan Jose "Peping" Conjuangco. Kakek Danding adalah salah satu anggota Kongres pertama tahun 1907. Dan ayah Danding, Eduardo, dulunya gubernur Tarlac. Mei lalu adik Danding (Henry) dan istri Peping -- abang Presiden Cory Aquino -- Margarita "Tingting" Cojuangco, bertarung memperebutkan kursi gubernur Tarlac. Memang, dalam klan Cojuangco terjadi perpecahan. Keretakan antara keluarga Cory dan Danding dimulai ketika Danding bersekutu dengan Marcos pada tahun 1960-an dan mencegat saudara sepupunya sendiri, Peping, ketika berkampanye mewakili Provinsi Tarlac di kursi kongres. Ketika undang-undang darurat 1972 diberlakukan, Danding sebagai teman dekat Marcos menjadi orang terkaya di negeri itu, sementara suami Cory dipenjara. Ketika Benigno Aquino akhirnya dibunuh, hubungan Danding dan Cory menjadi benar-benar putus. Malah kabar burung mengatakan Danding yang mengorganisasi pembunuhan itu untuk kepentingan Marcos. Margarita alias Tingting Cojuangco, yang tinggi dan cantik, mulai berkampanye dengan bendera LDP dari Hacienda Luisita, perkebunan tebu mahaluas, 6.431 hektare, milik bapak mertuanya di Tarlac. Luas tanah itu merupakan lempeng tanah kedua terbesar di Filipina. Ribuan buruh tani dan sopir hidupnya bergantung pada Hacienda. Para tuan tanah di Filipina dianggap bertanggung jawab terhadap kesejahteraan buruh. Seorang ilmuwan percaya bahwa keluarga tuan tanah bisa berpengaruh selama bertahun-tahun karena mereka menyediakan kebutuhan dasar yang tak bisa disediakan pemerintah. Calon Cojuangco rupanya sadar betul akan hal tersebut. Bahkan kaum profesional, yang sebenarnya mampu berpendapat, merasa memang tak ada pilihan lain. "Gagasan tidak lagi penting untuk pemilihan. Yang penting keturunan siapa," kata salah seorang dokter. Ia mengatakan pada wartawan Straits Times bahwa banyak orang yang lebih pintar daripada Margarita di Tarlac, tapi mereka tak punya uang untuk kampanye. Maka, yang muncul ya Cojuangco lagi. "Cojuangco yang mana saja, sama saja. Mana ada pilihan lain?" katanya. Tingting, yang pernah belajar antropologi, banyak melakukan kerja sosial untuk kaum muslim di Mindanao. Banyak yang menduga ia akan mencalonkan diri di sana. Tapi, menurut pejabat di Partai Lakas ng Demokraticong Pilipino (LDP) -- partai tempat suaminya duduk sebagai sekjen -- partai memerlukan seorang Cojuangco sebagai calon untuk menghadapi saingan Cojuango yang lain, Henry adik Danding, di Tarlac. Nah, si pejabat tadi mengakui terus terang bahwa naiknya Tingting adalah karena ia mempunyai kelebihan dari yang lain: nama keluarganya Cojuangco. Dalam tradisi politik Filipina, tanpa bendera Cojuangco di Tarlac seorang calon akan kalah. Kelompok Henry langsung melempar tangkisan. "Tingting bukan orang asli Tarlac. Dia cuma mengawini seorang penduduk dari daerah ini." Tapi usaha kelompok Henry untuk menjatuhkan Tingting gagal. Kakak ipar Cory itu menang mutlak sebagai gubernur. Sementara itu, selain mewarisi kekayaan dari garis ayah, Cory Aquino membawa kekayaan dari garis ibu. Karena kakek Cory dari pihak ibu, Juan Sumulong, seorang senator tahun 1920-an. Paman Cory juga senator yang pernah menjadi berita internasional kerena memancing Pemimpin Uni Soviet Nikita Khrushchev mengetuk-ketukan sepatunya di podium PBB. Paman Cory yang lain, Francisco Sumulong, tengah berkampanye untuk menjadi anggota Senat. Dinasti lain, ialah dinasti keluarga Magsaysay. Ramon Jr. (calon wapres pasangan Miriam Santiago) dan Vicente Magsaysay (berpasangan dengan Imelda Marcos) adalah keturunan presiden yang paling dicintai rakyatnya, Ramon Magsaysay. Pada umur 39 tahun di 1946, Ramon duduk di parlemen mewakili rakyat Zambales. Empat tahun kemudian Presiden Elpidio Quirino mengangkatnya menjadi menteri pertahanan. Saat itu prestasi Ramon antara lain menghentikan pemberontakan komunis Hukbalahap. Magsaysay amat populer, dan dengan bantuan mata-mata CIA, citra baik ini bisa dipeliharanya. Tahun 1951, umpamanya, dengan bantuan Amerika, Ramon mencetuskan gerakan nasional untuk pemilu yang bebas (Namfrel). Organisasi ini ternyata mampu membendung kecurangan pendukung Presiden Quirino dan menjadi basis "pertempuran" pemilu 1953. Sejak itu Magsaysay siap bersaing dengan atasannya. Ia juga menyeberang dari Partai Liberal ke Partai Nasionalis, dan mengalahkan Quirino. Simpati rakyat konon tumbuh setelah melihat kampanye Ramon ke pelosok-pelosok, lalu melihat ia menggendong bayi, membagi makanan untuk si miskin, dan menanam padi. Ia membuka Istana Malacanang untuk rakyat. Dan istana dengan rumput yang terpelihara itu segera berubah menjadi tempat piknik. "Ayah saya bisa membuat rakyat biasa merasa seperti orang penting," kata Ramon Junior, yang biasa dipanggil Jun. Jun kini mencoba merebut kursi kepresidenan bersama Miriam Santiago. Sebelumnya ia duduk di kongres mewakili rakyat Zambales. Ramon Magsaysay juga telah memberi contoh pada keturunannya bagaimana menjadi presiden yang bersih dari nepotisme. Ramon pernah meminta adik bungsunya mengundurkan diri dari ketentaraan. Seorang menterinya dipecat karena memberi pekerjaan pada keluarganya di kedutaan di Washington. Ia juga melarang keras keluarganya mencari jabatan yang berdasarkan pemilihan. Ramon dipandang jujur tapi kurang memiliki pengalaman intelektual. Ada cerita kecil yang pernah dituturkan bekas Menteri Luar Negeri Jenderal Carlos Romulo. Suatu ketika berlangsung rapat kabinet. Waktu itu yang dibahas perekonomian. "Kenapa ada inflasi?" ujar Ramon setengah marah suatu ketika. "Yah, ini kan hukum permintaan dan penawaran, Pak," ujar menteri keuangannya. "Kalau begitu, cabut hukum itu!" kata Ramon dengan polosnya. Ramon Magsaysay meninggal pada tahun 1957 dalam kecelakaan pesawat terbang misterius. Kepedihan yang dirasakan rakyat saat itu amat dalam, karena hampir dipastikan rakyat akan memilih kembali Ramon sebagai presiden untuk kedua kalinya. Putrinya, Mila Magsaysay menduga ayahnya tewas bukan karena kecelakaan, tapi akibat kerja sebuah komplotan musuh ayahnya. "Beberapa orang takut ia akan menjadi presiden seumur hidup." Dua tahun setelah kematiannya, adik bungsunya "Gene" Genaro muncul sebagai senator dan bertahan selama sepuluh tahun. Lalu, ia mencoba mencalonkan diri sebagai wakil presiden bersama salah satu kandidat presiden saat itu, Sergio Osmena. Namun gagal. Gene kemudian kembali ke kursi senat. Magsaysay generasi ketiga yang naik ke pentas politik adalah Vicente, keponakan Ramon. Ia menjadi gubernur Zambales periode 1967 sampai 1986. Sang keponakan kini berpasangan dengan bekas mantan Ibu negara Filipina, Imelda Marcos, memperebutkan kursi terpenting di negeri itu. Keponakan Ramon Magsaysay yang lain, Enrique kini wali kota di Castilejos. Dinasti yang turut "mengirimkan" wakil-wakilnya dalam oligarki politik Filipina adalah Klan Osmena. Mereka muncul dari daerah Cebu dan mempunyai sejarah yang berwarna. Klan Osmena muncul pada 1849. Pada masa itu semua orang Filipina diminta mengganti nama keluarga mereka dengan nama Spanyol. Maka, seorang tuan tanah Moorish Usman menjadi Guillermo Osmena agar kedengaran seperti nama keluarga Spanyol. Osmena tua kawin dua kali dan punya dua anak, Lazaro dan Juana. Ketika Osmena meninggal, kedua anaknya dipelihara istri keduanya, tanpa warisan sepeser pun. Juana muda pada usia 15 tahun punya anak luar nikah, 1877. Juana hanya sempat menamai bayinya Sergio, lalu kabur ke biara. Seorang biarawan Spanyol yang iba pada bayi itu mengadopsinya. Si anak ternyata berotak cerdas sehingga ayah angkatnya mengirimnya ke Manila untuk sekolah hukum. Sergio muda lulus dari fakultas hukum dengan nilai tertinggi. Melihat kecemerlangan Sergio, pedagang Cina terkaya di Cebu, Chiong Tuya, yang memonopoli bisnis opium, tertarik. Ia membujuk Sergio untuk mengawini anaknya, Estafania. Mereka kawin dan punya delapan anak. Adalah Sergio yang menerbitkan koran pertama (f8

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus