Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Golput menurut para ulama

Bekas ketua umum Muhammadiyah berpendapat, bergolput itu dosa menurut agama. ia lalu menyitir ucapan imam besar Syafei. apa kata ulama yang lain?

6 Juni 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DILIHAT dari kacamata agama Islam, berdosakah mereka yang golput alias golongan putih? Yakni orang-orang yang sengaja tak memakai hak pilihnya karena alasan tertentu? K.H. A.R. Fachruddin, ulama Muhammadiyah, lewat surat terbuka di harian Kedaulatan Rakyat edisi Jumat dua pekan lalu, menyatakan bahwa umat PPP yang golput berdosa. "Saya mengatakan dosa karena umat PPP kan muslim. Jadi, ada hubungannya dengan pertanggungjawaban kepada Allah," kata tokoh bekas Ketua Umum Muhammadiyah ini. Ia lalu menyitir ucapan Imam Syafii, Maa la yudraku kulluhu, la yudraku kulluhu, kalau sesuatu tidak bisa diperoleh semua, bukan berarti lantas dibuang semua. Dikaitkan dengan soal pemilu, kata Fachruddin, bila yang ada saat ini dinilai belum baik benar, marilah diperbaiki bersamasama tapi jangan ditinggalkan sama sekali. "Demokrasi di Indonesia saat ini bisa dimisalkan seperti itu," ujarnya. Ia pun menilai, mudharat bergolput lebih besar ketimbang manfaatnya. Perkara menang atau kalah dalam pemilu, kata tokoh yang berdomisili di Yogyakarta itu, adalah wajar saja. Fatwa semacam ini memang bukan hal baru di kalangan umat Islam Indonesia. Jauh sebelum ini, persisnya dua tahun menjelang pemilu pertama tahun 1955, Muktamar Nahdhatul Ulama mewajibkan umat Islam untuk ikut pemilu. Agaknya NU, yang ketika itu salah satu partai Islam, ingin menarik dukungan umat Islam. Tahun lalu tiga ulama NU sempat berdebat soal hukumnya mencoblos dalam pemilu. Kata K.H. Sahal Mahfudz, Wakil Rais Am PBNU, berpendapat bahwa mencoblos tanda gambar dalam pemilu hukumnya fardu kifayah. Artinya, kalau sebagian umat Islam sudah melakukannya, yang lain boleh tidak. Sedangkan dua ulama yang lain, K.H. Shohib Bisri dan K.H. As'ad Umar, berpendapat bahwa mencoblos tanda gambar dalam pemilu hukumnya fardu ain. Maksudnya, wajib. Yang menjadi pegangan kedua ulama NU Jawa Timur itu adalah ayat athiiulloha wa athiiur rosuula wa uulil amri minkum, taatilah Allah dan rasulNya, dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu (Quran, Surat An Nisa, ayat 59). Juga pada ucapan Khalifah Umar bin Khatab yang cukup populer, "Umat Islam harus berjamaah, jamaah harus disertai pemimpin, dan kepemimpinan harus disertai ketaatan." Lain pula alasan Dr. Quraish Shihab, ahli tafsir Quran di Indonesia, dalam soal memilih pemimpin. Menurut Quraish, Nabi pernah memberikan ilustrasi, "Seandainya ada penguasa yang berlaku aniaya dan terjadi kekacauan dalam masyarakat itu karena penguasa itu terdongkel, maka dalam keadaan seperti itu, kaum muslimin harus mempertahankan pemimpin yang aniaya itu." Jadi, kata Quraish, keterlibatan dalam pemilihan umum adalah suatu amanah. Tapi, sebaliknya, Quraish tidak tahu dosa apa bagi yang tidak memilih. Walhasil, baik fatwa A.R. Fachruddin, Dr. Quraish Shihab, maupun ketiga ulama NU di atas mewajibkan umat Islam ikut memilih pada pemilu sebagai tempat memilih pemimpin dengan alasan yang berbeda. Adalah Dr. Nurcholish Madjid, seorang intelektual Islam Indonesia, yang menyarankan sebuah perbandingan. Yakni sikap yang berakar dan tumbuh pada penduduk Madinah ketika terjadinya perselisihan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah. Mereka itulah yang disebut kaum Muktazilah, yang artinya tidak mau ikut campur. Kelompok yang dipimpin Abdullah bin Umar, anak Umar bin Khatab, ini tidak mau terlibat dalam politik. Juga tidak proAli ataupun Muawiyah. Memang ada yang beranggapan bahwa sikap Ali bin Abi Thalib tidak ikut berbaiat kepada Abu Bakar ketika dipilih jadi khalifah adalah bentuk golput pertama dalam Islam. Tapi anggapan itu dibantah oleh A.R. Fachruddin. Sebab, katanya, Ali tidak mengatakan apaapa yang bisa diidentifikasikan sebagai sikap bergolput. Dan Nurcholish Madjid sendiri sebenarnya juga merasa sulit mengatakan sikap Ali itu sebagai golput dalam konteks politik sekarang. Memang soal memilih pemimpin ini dalam sejarah Islam masih menjadi bahan perdebatan. Ada yang mengatakan, memilih pemimpin itu wajib menurut agama, dan ada pula wajib menurut akal. "Duaduanya benar karena ada dasarnya pada Quran dan Hadis," kata Nurcholish menilai. Nabi pernah mengatakan, "Kalau mau pergi lebih dari seorang, maka tunjuklah pemimpinnya." Hadis ini, kata Nurcholish, agar suatu kelompok terjaga kekompakannya. Tapi, sebaliknya, ketika Nabi wafat, beliau tidak memberi pesan yang berarti atau wasiat yang tegas tentang siapa penggantinya. Dalam pengamatan Nurcholish, dilihat dari sejarah, soal memilih dalam pemilu lebih banyak sebagai kewajiban rasional ketimbang kewajiban agama. Misalnya, Nabi Muhammad Saw. tidak menentukan siapa penggantinya. Proses penunjukan Abu Bakar sebagai khalifah adalah proses duniawi yang sama sekali sekuler. Istilah khalifah sendiri, katanya, adalah pemberian masyarakat yang sekuler. Dalam soal ini tokoh Paramadina itu tampaknya berpegang pada kewajiban rasional. Ia keberatan dengan sikap golput. Sebab, bagi Nurcholish, berpikir all or nothing (semua atau tidak sama sekali) itu berbahaya. Maka kembali pada Imam Syafei, kalau tak mendapatkan semua, yang sebagian itu tak lalu harus dibuang. Julizar Kasiri, Wahyu Muryadi, Siti Nurbaiti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus