DARI manakah datangnya kekuasaan? Bila di sebuah gunung di
daerah Kedu ada orang bersemadi dengan harapan jadi Presiden --
tanpa perjuangan panjang mendapatkan kepercayaan rakyat -- hal
itu agaknya tak perlu mengagetkan.
Tersebutlah dalam suatu bagian terkenal dari Babad Tanah Jawi,
kisah tentang Ki Pamanahan dan Ki Ageng Giring. Keduanya erat
seperti saudara sekandung. Ki Pamanahan tinggal di Mataram, yang
waktu itu baru berupa dusun muda yang subur Ki Ageng Giring
tinggal di wilayah Gunung Kidul. Ia pembuat nira.
Suatu pagi, Ki Ageng Giring memeriksa ladangnya. Di sebuah pohon
kelapa yang biasanya tak berbuah, tampak sebutir kelapa muda. Ia
heran. Dan ia terkejut ketika terdengar suara gaib: "Ki Ageng
Ciring, ketahuilah. Siapa yang minum air kelapa muda ini sampai
habis, akan berketurunan raja agung yang memerintah seluruh
Jawa".
Ki Ageng pun memetik buah tunggal itu, lalu membawanya pulang.
Di rumah dipangkasnya sabutnya, disiapkannya untuk tinggal
diminum airnya. Tapi hari masih pagi, dan Ki Ageng belum haus.
Karena itu disimpannya kelapa muda itu di dapur. Ia ke hutan
dulu, menebangi pohon dan membuka semak.
Tapi tak lama kemudian, Ki Pamanahan tiba di rumah Ki Ageng
Giring. Terdesak haus dari perjalanan dari Mataram, ia langsung
mencari minuman. Tapi tak ada nira hari itu. Ketika ditemuinya
sebutir kelapa muda yang siap di lapur, ia pun langsung
melobanginya dan menenggak airnya sampai habis. Syahdan, putera
Ki Pamanahan-lah yang kemudian jadi raja Mataram pertama,
Panembahan Senapati, yang antara lain menurunkan Sultan Agung.
Cerita tentang buah kelapa itu agaknya diciptakan kemudian untuk
mengukuhkan legitimasi kekuasaan raja-raja Mataram. Di suatu
masa ketika suara rakyat tak dianggap ada, "pemilihan" tentang
siapa yang berkuasa perlu dihalalkan oleh suara gaib.
Kekuasaan, atau kedudukan, dengan begitu hampir mendekati
sejenis kesaktian. Seperti halnya kesaktian, ia memang bisa
menyebabkan si pemegangnya berhati-hati. Tapi kekuasaan pun tak
dilihat sebagai sesuatu yang berbahaya, merusakkan jiwa dan
mengancam sekitar, bila menjadi sangat besar. Kekuasaan pun
dipandang sebagai sesuatu yang "melekat" pada pribadi, bukan
suatu syarat yang perlu ada pada suatu jabatan atau institusi
untuk dapat bekerja.
Tak mengherankan bila hilangnya kekuasaan, sebagaimana
datangnya, tak dirasakan sebagai kekalahan atau kemenangan yang
wajar terjadi pada setiap pertandingan -- pertandingan mana
adalah pemilu, bukan "wahyu". "Kompetisi tak terelakkan", kata
Raymond Aron dalam Democratie et Totalitarisme, "sebab tak ada
lagi pemerintah yang dirancang oleh Dewa atau tradisi".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini