Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pencapaian Kekuasaan

Zaman dulu, kekuasaan dapat dicapai melalui cara gaib. kini untuk mendapatkan kekuasaan perlu ditempuh suatu perjalanan panjang a.l dengan pemilu. (fk)

2 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI manakah datangnya kekuasaan? Bila di sebuah gunung di daerah Kedu ada orang bersemadi dengan harapan jadi Presiden -- tanpa perjuangan panjang mendapatkan kepercayaan rakyat -- hal itu agaknya tak perlu mengagetkan. Tersebutlah dalam suatu bagian terkenal dari Babad Tanah Jawi, kisah tentang Ki Pamanahan dan Ki Ageng Giring. Keduanya erat seperti saudara sekandung. Ki Pamanahan tinggal di Mataram, yang waktu itu baru berupa dusun muda yang subur Ki Ageng Giring tinggal di wilayah Gunung Kidul. Ia pembuat nira. Suatu pagi, Ki Ageng Giring memeriksa ladangnya. Di sebuah pohon kelapa yang biasanya tak berbuah, tampak sebutir kelapa muda. Ia heran. Dan ia terkejut ketika terdengar suara gaib: "Ki Ageng Ciring, ketahuilah. Siapa yang minum air kelapa muda ini sampai habis, akan berketurunan raja agung yang memerintah seluruh Jawa". Ki Ageng pun memetik buah tunggal itu, lalu membawanya pulang. Di rumah dipangkasnya sabutnya, disiapkannya untuk tinggal diminum airnya. Tapi hari masih pagi, dan Ki Ageng belum haus. Karena itu disimpannya kelapa muda itu di dapur. Ia ke hutan dulu, menebangi pohon dan membuka semak. Tapi tak lama kemudian, Ki Pamanahan tiba di rumah Ki Ageng Giring. Terdesak haus dari perjalanan dari Mataram, ia langsung mencari minuman. Tapi tak ada nira hari itu. Ketika ditemuinya sebutir kelapa muda yang siap di lapur, ia pun langsung melobanginya dan menenggak airnya sampai habis. Syahdan, putera Ki Pamanahan-lah yang kemudian jadi raja Mataram pertama, Panembahan Senapati, yang antara lain menurunkan Sultan Agung. Cerita tentang buah kelapa itu agaknya diciptakan kemudian untuk mengukuhkan legitimasi kekuasaan raja-raja Mataram. Di suatu masa ketika suara rakyat tak dianggap ada, "pemilihan" tentang siapa yang berkuasa perlu dihalalkan oleh suara gaib. Kekuasaan, atau kedudukan, dengan begitu hampir mendekati sejenis kesaktian. Seperti halnya kesaktian, ia memang bisa menyebabkan si pemegangnya berhati-hati. Tapi kekuasaan pun tak dilihat sebagai sesuatu yang berbahaya, merusakkan jiwa dan mengancam sekitar, bila menjadi sangat besar. Kekuasaan pun dipandang sebagai sesuatu yang "melekat" pada pribadi, bukan suatu syarat yang perlu ada pada suatu jabatan atau institusi untuk dapat bekerja. Tak mengherankan bila hilangnya kekuasaan, sebagaimana datangnya, tak dirasakan sebagai kekalahan atau kemenangan yang wajar terjadi pada setiap pertandingan -- pertandingan mana adalah pemilu, bukan "wahyu". "Kompetisi tak terelakkan", kata Raymond Aron dalam Democratie et Totalitarisme, "sebab tak ada lagi pemerintah yang dirancang oleh Dewa atau tradisi".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus