INI mungkin hanya bisa terjadi di Indonesia. Adalah seorang
laki-laki yang tampaknya yakin benar bahwa ia akan tak lama lagi
jadi Presiden -- menggantikan Jenderal Soeharto: Namanya Sawito,
44 tahun, tinggalnya di jalan Tampomas 8, Bogor. Sawito asal
desa Sanan Wetan, Blitar, salah satu dari putera Pak
Kartowibowo, pengajar sekolah guru di kota itu. Sekitar tahun
1950-an, ia masuk fakultas pertanian di Bogor. Ia lulus, dengan
gelar insinyur. Kemudian ia jadi pegawai Departemen Pertanian.
Tapi sejak 1968, Sawito tak diberi jabatan atau pekerjaan,
"karena adanya keragu-raguan mengenai dirinya", begitu
keterangan dari Departemen tadi.
Keragu-raguan apa, tak jelas. Sebuah sumber mengatakan bahwa
pegawai yang mendiami daerah klas satu di Bogor itu -- di rumah
dinas yang kemudian dibelinya -- terlibat "korupsi". Tapi sumber
lain juga mengatakan bahwa ia dituduh termasuk orang PNI yang
sangat "Sukarnois" dan pendukung grup "Ali-Surachman", yang
setelah Gestapu dibersihkan dari pelbagai jabatan. Sawito, yang
tak punya anak dan hanya punya sepasang anjing (salah satu
bernama "Dulfi", singkatan dari "Idul Fitri"), termasuk keluarga
jauh almarhum Bung Karno.
Semenjak ia dinon-aktifkan, ia memasuki secara aktif "dunia
kebatinan" -- yang rupanya bisa menampung rasa "terbuang"
seorang seperti Sawito. Ayah Sawito, Pak Kartowibowo, memang
gemar mendalami khasanah sastra Jawa dan konon juga suka nyepi.
Syahdan, ada pula seorang lain. Ia adalah Sudjono, sarjana hukum
lulusan Leiden, kini berumur 72 tahun. Ia pernah jadi dutabesar
RI di Tokio di tahun 1950-an, lalu di Brazil selama 4 tahun dan
kemudian di Swedia. 1963, ia pensiun. Hingga kini tinggal di
daerah Ciawi, di luar kota Bogor, bertanam cengkeh dan tinggal
di atas bukit. Sejak ia pensiun, kata seorang anggota
keluarganya, ia tertarik pada kebatinan. Ia sering menyendiri,
naik gunung dan bersemedi.
Di awal 70-an, ia menyusun suatu risalah -- yang pernah
dicobanya untuk diterbitkan tapi ditolak oleh seorang penerbit
terkemuka. Isi risalah itu agak aneh: diceritakan bagaimana
dunia halus telah memutuskan bahwa pemerintahan yang sekarang
akan diganti. Beberapa rombongan delegasi perkumpulan kebatinan
pun naik ke puncak gunung Tidar -- di luar kota Magelang --
untuk mendengarkan wangsit (petunjuk) dari Yang Maha Kuasa. Mr.
Sudjono dan Sawito, yang telah diangkatnya jadi anak, ada di
antara delegasi-delegasi itu -- yang konon tanpa berembug lebih
dulu telah sama-sama mendapatkan isyarat batin bahwa malam itu
di bukit Tidar akan turun wangsit tentang siapa yang bakal jadi
pemimpin Indonesia.
Maka kata yang empunya cerita, wangsit itu pun datang:
Sawito-lah orangnya. Menurut kisah yang dikutip harian Pelita,
petunjuk itu datang dalam bentuk "suatu sinar (yang) berputar,
turun dari langit lalu jatuh ke tangan Sawito". Ketika Sawito
membuka tangannya, "terlihat sebuah batu bergambar Jesus,
sementara di baliknya tampak gambar Sawilo sendiri".
Nah, sejak itulah ke beberapa orang sejak dua tiga tahun yang
lalu Sawito memperkenalkan diri, atau diperkenalkan oleh
teman-teman sekelompok-kebatinannya, sebagai penerima wahyu yang
akan jadi Presiden Republik Indonesia. Beberapa orang, termasuk
Wakil Ketua DPR Domo Pranoto yang sudah mendengar perkara
"wahyu" Sawito, menganggapnya "sinting". Baik keluarga maupun
sementara tetangganya di Bogor tidak menyangka begitu. Beberapa
rekannya hanya geli, dan secara bergurau menyebutnya sebagai
sang "Ca-Pres" (Calon Presiden).
Tapi Sawito rupanya tak bergurau. Bagaikan Machbeth dalam lakon
Shakespeare, yang makin hari makin percaya ramalan bahwa ia akan
jadi penguasa tertinggi, Sawito pun mengambil langkah-langkah.
Jelas bahwa ia tak puas dengan keadaan sosial-politik sekarang,
di bawah Presiden Soeharto, dan orang-orang yang ditemuinya pun
rupanya termasuk yang tak puas. Suatu ketika di pertengahan
1976, ia pun mnyusun sebuah naskah yang berjudul "Menuju
Keselamatan". Kalimatnya panjang-panjang, dan seperti dinilai
Kardinal Darmoyuwono -- salah seorang tokoh yang kemudian
dimintainya tandatangan -- "berlebih-lebihan". Bagian ke-4 dari
tulisannya misalnya berbunyi: pembangunan kini "ternyata
menelorkan pula kemerosotan budi pekerti kemanusiaan yang luhur
dan menjurus ke lembah kenistaan yang parah". Meski pun begitu,
sebenarnya isi naskah "Menuju Keselamatan" tidaklah lebih tajam
ketimbang misalnya pernyataan PMKRI beberapa waktu yang lalu.
Namun mungkin saking kaburnya apalagi ditik rapat, dan dengan
cara-cara Sawito (lihat box) naskah itu tak terlalu sukar
mendapat tandatangan dari tokoh-tokoh lanjut usia. Tapi di
samping naskah itu, Sawito juga menulis naskah lain . Naskah
ke-II ini berjudul "Pernyataan", diteken juga oleh Bung Hatta
dan drs. Singgih, seorang yang pernah disebut sebagai pemuda
yang menculik Bung Karno dan Bung Hatta supaya memproklamasikan
kemerdekaan Agustus 1945 duiu. Isinya: ikrar bersama untuk
menggunakan "Menuju Keselamatan" sebagai dasar pengetrapan dan
pengamalan Pancasila.
Di samping itu, ada pula naskah lain berjudul "Pernyataan
Pemberian Maaf. Bagi Almarhum Bung Karno" -- juga diteken oleh
Sawito dan Bung Hatta. Tapi yang serem adalah naskah yang
berjudul "Mundur Untuk Maju Lebih Sempurna", yang menilai
Presiden Soeharto gagal dan meminta atau mendesak Presiden untuk
menyerahkan kekuasaan kepresidenan kepada Bung Hatta. Mungkin
serangkaian dengan itu, Sawito juga menyusun "Surat Pelimpahan"
-- konsep "timbang terima" tugas dan kewenangan
Presiden/Mandataris MPR dari Presiden Soeharto kepada Dr. Moh.
Hatta. Dalam angan-angannya, menurut sebuah sumber, beberapa
bulan setelah Bung Hatta jadi Presiden, Sawito-lah yang rupanya
akan kemudian muncul.
Tapi apa yang kemudian dibuat Sawito dengan naskah-naskah itu
belum jelas benar. Ada yang mengatakan bahwa ia pernah mencoba
mengirimkannya kepada Presiden lewat Menteri Mintareja -- yang
dikenal seorang teman se-orhiba Sawito. Yang jelas, pemerintah
kemudian menemukan seluruh naskah. "Pemerintah tidak menerima
secara resmi dokumen itu dan Pemerinah mengetahui pula bahwa
dokumen tersebut telah disebarkan secara terbatas kepada
orang-orang tertentu" begitu diumumkan Menteri Soedharmono pekan
lalu. Dan menganggap hal ini sebagai petunjuk nyata tentang
adanya "sekelompok orang-orang yang telah melakukan kegiatan
gelap (ilegal) untuk mengadakan penggantian Kepala Negara secara
inkonstitusionil", pemerintah pun bertindak. Sawito, Mr.
Soedjono, drs Singgih ditahan. Bersama itu juga Karnaradjasa,
putera almarhum tokoh PNI Ali Sastroamidjojo, bekas tokoh I KN.
Mengapa Karnaradjasa ikut ditahan, belum diketahui, Rupanya ada
dugaan -- seperti biasanya -- bahwa di sini ada terlibat
kekuatan-kekuatan politik yang tak puas, khususnya dari
bekas-bekas PNI. Namun untunglah: lebaran yang dua hari
sebeLumnya didahului hujan lebat di Jakarta, ternyata aman.
Kantor-kantor berita asing yang tergopoh-gopoh mencari sesuatu
yang tegang di Jakarta ternyata hanya bingung. "Ini rupanya
usaha mengambil alih kekuasaan secara spirituil", begitu salah
satu komentar. Seorang pejabat penting punya penilaian lain:
"Secara rasionil ini perkara Sawito memang terlihat aneh dan
mungkin lucu, tapi secara irasionil serius".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini