Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Perkara Sawito: Macbeth, Tanpa Darah

Sawito, menerima wangsit bahwa dirinya akan jadi presiden. ia membuat naskah yang ditanda tangani bersama bung hatta, singgih. dituduh melakukan kegiatan gelap untuk mengganti presiden, ia ditahan. (nas)

2 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI mungkin hanya bisa terjadi di Indonesia. Adalah seorang laki-laki yang tampaknya yakin benar bahwa ia akan tak lama lagi jadi Presiden -- menggantikan Jenderal Soeharto: Namanya Sawito, 44 tahun, tinggalnya di jalan Tampomas 8, Bogor. Sawito asal desa Sanan Wetan, Blitar, salah satu dari putera Pak Kartowibowo, pengajar sekolah guru di kota itu. Sekitar tahun 1950-an, ia masuk fakultas pertanian di Bogor. Ia lulus, dengan gelar insinyur. Kemudian ia jadi pegawai Departemen Pertanian. Tapi sejak 1968, Sawito tak diberi jabatan atau pekerjaan, "karena adanya keragu-raguan mengenai dirinya", begitu keterangan dari Departemen tadi. Keragu-raguan apa, tak jelas. Sebuah sumber mengatakan bahwa pegawai yang mendiami daerah klas satu di Bogor itu -- di rumah dinas yang kemudian dibelinya -- terlibat "korupsi". Tapi sumber lain juga mengatakan bahwa ia dituduh termasuk orang PNI yang sangat "Sukarnois" dan pendukung grup "Ali-Surachman", yang setelah Gestapu dibersihkan dari pelbagai jabatan. Sawito, yang tak punya anak dan hanya punya sepasang anjing (salah satu bernama "Dulfi", singkatan dari "Idul Fitri"), termasuk keluarga jauh almarhum Bung Karno. Semenjak ia dinon-aktifkan, ia memasuki secara aktif "dunia kebatinan" -- yang rupanya bisa menampung rasa "terbuang" seorang seperti Sawito. Ayah Sawito, Pak Kartowibowo, memang gemar mendalami khasanah sastra Jawa dan konon juga suka nyepi. Syahdan, ada pula seorang lain. Ia adalah Sudjono, sarjana hukum lulusan Leiden, kini berumur 72 tahun. Ia pernah jadi dutabesar RI di Tokio di tahun 1950-an, lalu di Brazil selama 4 tahun dan kemudian di Swedia. 1963, ia pensiun. Hingga kini tinggal di daerah Ciawi, di luar kota Bogor, bertanam cengkeh dan tinggal di atas bukit. Sejak ia pensiun, kata seorang anggota keluarganya, ia tertarik pada kebatinan. Ia sering menyendiri, naik gunung dan bersemedi. Di awal 70-an, ia menyusun suatu risalah -- yang pernah dicobanya untuk diterbitkan tapi ditolak oleh seorang penerbit terkemuka. Isi risalah itu agak aneh: diceritakan bagaimana dunia halus telah memutuskan bahwa pemerintahan yang sekarang akan diganti. Beberapa rombongan delegasi perkumpulan kebatinan pun naik ke puncak gunung Tidar -- di luar kota Magelang -- untuk mendengarkan wangsit (petunjuk) dari Yang Maha Kuasa. Mr. Sudjono dan Sawito, yang telah diangkatnya jadi anak, ada di antara delegasi-delegasi itu -- yang konon tanpa berembug lebih dulu telah sama-sama mendapatkan isyarat batin bahwa malam itu di bukit Tidar akan turun wangsit tentang siapa yang bakal jadi pemimpin Indonesia. Maka kata yang empunya cerita, wangsit itu pun datang: Sawito-lah orangnya. Menurut kisah yang dikutip harian Pelita, petunjuk itu datang dalam bentuk "suatu sinar (yang) berputar, turun dari langit lalu jatuh ke tangan Sawito". Ketika Sawito membuka tangannya, "terlihat sebuah batu bergambar Jesus, sementara di baliknya tampak gambar Sawilo sendiri". Nah, sejak itulah ke beberapa orang sejak dua tiga tahun yang lalu Sawito memperkenalkan diri, atau diperkenalkan oleh teman-teman sekelompok-kebatinannya, sebagai penerima wahyu yang akan jadi Presiden Republik Indonesia. Beberapa orang, termasuk Wakil Ketua DPR Domo Pranoto yang sudah mendengar perkara "wahyu" Sawito, menganggapnya "sinting". Baik keluarga maupun sementara tetangganya di Bogor tidak menyangka begitu. Beberapa rekannya hanya geli, dan secara bergurau menyebutnya sebagai sang "Ca-Pres" (Calon Presiden). Tapi Sawito rupanya tak bergurau. Bagaikan Machbeth dalam lakon Shakespeare, yang makin hari makin percaya ramalan bahwa ia akan jadi penguasa tertinggi, Sawito pun mengambil langkah-langkah. Jelas bahwa ia tak puas dengan keadaan sosial-politik sekarang, di bawah Presiden Soeharto, dan orang-orang yang ditemuinya pun rupanya termasuk yang tak puas. Suatu ketika di pertengahan 1976, ia pun mnyusun sebuah naskah yang berjudul "Menuju Keselamatan". Kalimatnya panjang-panjang, dan seperti dinilai Kardinal Darmoyuwono -- salah seorang tokoh yang kemudian dimintainya tandatangan -- "berlebih-lebihan". Bagian ke-4 dari tulisannya misalnya berbunyi: pembangunan kini "ternyata menelorkan pula kemerosotan budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan menjurus ke lembah kenistaan yang parah". Meski pun begitu, sebenarnya isi naskah "Menuju Keselamatan" tidaklah lebih tajam ketimbang misalnya pernyataan PMKRI beberapa waktu yang lalu. Namun mungkin saking kaburnya apalagi ditik rapat, dan dengan cara-cara Sawito (lihat box) naskah itu tak terlalu sukar mendapat tandatangan dari tokoh-tokoh lanjut usia. Tapi di samping naskah itu, Sawito juga menulis naskah lain . Naskah ke-II ini berjudul "Pernyataan", diteken juga oleh Bung Hatta dan drs. Singgih, seorang yang pernah disebut sebagai pemuda yang menculik Bung Karno dan Bung Hatta supaya memproklamasikan kemerdekaan Agustus 1945 duiu. Isinya: ikrar bersama untuk menggunakan "Menuju Keselamatan" sebagai dasar pengetrapan dan pengamalan Pancasila. Di samping itu, ada pula naskah lain berjudul "Pernyataan Pemberian Maaf. Bagi Almarhum Bung Karno" -- juga diteken oleh Sawito dan Bung Hatta. Tapi yang serem adalah naskah yang berjudul "Mundur Untuk Maju Lebih Sempurna", yang menilai Presiden Soeharto gagal dan meminta atau mendesak Presiden untuk menyerahkan kekuasaan kepresidenan kepada Bung Hatta. Mungkin serangkaian dengan itu, Sawito juga menyusun "Surat Pelimpahan" -- konsep "timbang terima" tugas dan kewenangan Presiden/Mandataris MPR dari Presiden Soeharto kepada Dr. Moh. Hatta. Dalam angan-angannya, menurut sebuah sumber, beberapa bulan setelah Bung Hatta jadi Presiden, Sawito-lah yang rupanya akan kemudian muncul. Tapi apa yang kemudian dibuat Sawito dengan naskah-naskah itu belum jelas benar. Ada yang mengatakan bahwa ia pernah mencoba mengirimkannya kepada Presiden lewat Menteri Mintareja -- yang dikenal seorang teman se-orhiba Sawito. Yang jelas, pemerintah kemudian menemukan seluruh naskah. "Pemerintah tidak menerima secara resmi dokumen itu dan Pemerinah mengetahui pula bahwa dokumen tersebut telah disebarkan secara terbatas kepada orang-orang tertentu" begitu diumumkan Menteri Soedharmono pekan lalu. Dan menganggap hal ini sebagai petunjuk nyata tentang adanya "sekelompok orang-orang yang telah melakukan kegiatan gelap (ilegal) untuk mengadakan penggantian Kepala Negara secara inkonstitusionil", pemerintah pun bertindak. Sawito, Mr. Soedjono, drs Singgih ditahan. Bersama itu juga Karnaradjasa, putera almarhum tokoh PNI Ali Sastroamidjojo, bekas tokoh I KN. Mengapa Karnaradjasa ikut ditahan, belum diketahui, Rupanya ada dugaan -- seperti biasanya -- bahwa di sini ada terlibat kekuatan-kekuatan politik yang tak puas, khususnya dari bekas-bekas PNI. Namun untunglah: lebaran yang dua hari sebeLumnya didahului hujan lebat di Jakarta, ternyata aman. Kantor-kantor berita asing yang tergopoh-gopoh mencari sesuatu yang tegang di Jakarta ternyata hanya bingung. "Ini rupanya usaha mengambil alih kekuasaan secara spirituil", begitu salah satu komentar. Seorang pejabat penting punya penilaian lain: "Secara rasionil ini perkara Sawito memang terlihat aneh dan mungkin lucu, tapi secara irasionil serius".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus