SUASANA perkabungan mencapai puncaknya di seluruh RRT pada
tanggal 19 September yang lalu. Semua bangsa Cina yang berjumlah
800 juta jiwa itu bersama-sama berdiri dan menundukkan kepala
selama 3 menit. Ini adalah kejadian pertama dalam sejarah dunia,
seperempat dari penduduk bumi seara serentak mengenang kepergian
seorang komunis revolusioner yang mengubah wajah dan sejarah
Cina yang juga kehadirannya terasa di mana saja di penjuru dunia
ini.
Perkabungan terpusat di lapangan depan istana T'ien An Men
dengan sejuta manusia berdiri teratur. Mereka semua mendengarkan
PM Hua Kuo-feng membacakan pidato duka cita selama 20 menit.
"Rakyat Cina mencintai Mao dari dasar hati mereka", kata Hua.
Dan tentu saja Uni Soviet -- "imperialis sosial"-- dan Teng
Hsiao-p'ing yang awal tahun ini dipecat oleh Mao, ada pula
kebagian kecaman. Akan nasib jenazah Mao sendiri, pidato itu
tidak berbicara sepatah katapun. Hingga pertengahan pekan silam,
jenazah si tua itu masih saja terletak di Peking, belum
dimakamkan, dibakar atau dibalsem, meski pun almarhum kabarnya
berwasiat agar jenazahnya dibakar saja.
Lapangan tempat upacara sudah sepi. "Semua kembang telah
disingkirkan", begitu laporan yang tersiar dari Peking
pertengahan pekan silam. Udara politik juga nampaknya masih
sepi-sepi saja. Belum terdengar suara mengenai siapa yang akan
menggantiklm Mao atau bakal ada tidaknya perubahan yang jelas di
negeri itu selepas ditinggal pemimpin mereka. Tapi rakyat Cina
diyakinkan bahwa penerus-penerus kepemimpinan Mao yang cakap
akan muncul. Rakyat juga diserukan agar bersatu mendukung
pimpinan partai dan negara. Seruan semacam ini terutama tersiar
lewat tajuk rencana Jen-min Jih-pao (Harian Rakyat) terbitan
Peking. tertanggal 16 September yang lalu. Nampaknya ini
merupakan seruan pertama yang tersiar secara resmi sejak
meninggalnya Mao. Lewat tajuk itu pula tersiarnya tanda-tanda
bakal adanya beberapa pengangkatan pejabat untuk mengisi
sejumlah jabatan yang selama ini tertinggal kosong. Komite
Sentral Partai Komunis Cina diharapkan akan segera bersidang
untuk memilih dan mengisi kembidi berbagai jabatan kosong yang
diakibatkan oleh kematian dan pemecatan-pemecatan. Komite tetap
Sentral itu sendiri kini sisa beranggotakan 4 orang pada hal
tadinya beranggotakan 8 orang. Sebagian mati, sebagian
tersingkir.
"Ketua Mao telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya . . .
Tapi banyak ahli warisnya yang akan meneruskan perjuangan
revolusi proletar yang telah dirintisnya", begitu antara lain
terbaca pada tajuk koran partai itu. Lewat tulisan yang sama,
juga disiarkan serua, agar semua orang "merapatkan barisan dalam
mendukung Komite Sentral yang membawahi semua unsur partai".
Hingga akhir pekan silam, belum kelihatan tanda-tanda mengenai
waktu bagi dimulainya sidang Komite Sentral, meskipun hampir
semua anggota Komite itu yang berjumlah sekitar 160 orang, sudah
berada di Peking untuk upacara berkabung. Para peninjau hampir
semuanya sepakat dalam ketidak-sanggupan mereka meramal tokoh
yang bakal menggantikan Mao. Tapi melihat tajuk koran partai
yang terus-menerus menyerukan persatuan, bisa diraba mengenai
adanya perpecahan dalam partai. Keadaan seperti ini dengan
menarik dilukiskan oleh edisi terbaru majalah U.S. News and
World Report: "Dengan kematian Mao, negeri yang berpenduduk 800
juta itu sedang berada dalam ketidak-pastian. Mungkin dengan
hari depan yang membahayakan". Ketidak-pastian itu dilihat oleh
majalah Amerika tersebut terutama dalam penafsiran ideologi dan
filosofi yang sejak lama telah dirintis oleh Mao.
Di luar RRT, kematian Mao juga menjadi soal yang lebih dari
sekedar menarik. Tapi terutama bagi Uni Soviet, Amerika Serikat
dan Jepang. Untuk Amerika, Mao dan Chou telah menentukan
kebijaksanaan yang bersahabat. Sudah jelas hal ini berhubungan
erat dengan ketakutan Peking terhadap Moskow, terutama setelah
terjadinya insiden perbatasan yang berdarah di Ussuri tahun
1969. Nampaknya untuk sementara tidak ada alasan bagi
pemerintahan baru Cina di Peking nanti untuk mengubah
kebijaksanaan yang telah berjalan ini.
Ucapan turut berduka cita Uni Soviet ditolak mentah-mentah oleh
Peking. Bukan tanpa alasan. Selain lantaran trauma insiden
perbatasan, dalam Ensiklopedi Besar Soviet, Maoisme memang
digambarkan sebagai suatu "faham nasionalisme . . . dengan
intinya yang utama adalah anti Sovietisme". Tapi banyak pemimpin
Cina, terutama di kalangan tentara, yang ingin mempunyai
hubungan lebih baik dengan Moskow. Ini tentu memerlukan
kesediaan Moskow untuk menerima Peking sebagai sahabat yang
tidak lebih rendah darinya. Jelas ini tidak mungkin. Dari
semula, sumber perpecahan kedua raksasa Komunis itu antara lain
perebutan kepemimpinan .
Ketegangan yang melanda Moskow-Peking ada pula menyentuh Tokio.
Hubungan Peking-Tokio yang dibuka lewat kunjungan Tanaka ke RRT
pada tahun 1973. adalah akibat dari keengganan Peking melihat
Tokio bermesraan dengn Moskow. Tapi usaha pendekatan Moskow ke
alamat Tokio yang tidak henti-hentinya itu akhirnya ada juga
memasygulkan Peking. Kabarnya di Peking kini sedang berkembang
suatu kecenderungan untuk tidak menggantungkan harapan bantuan
teknik dari Jepang
Akan halnya Taiwan, mati hidupnya Mao tidak terlalu jadi soal.
Yang menentukan nasib mereka lebih banyak berada di Washington.
Sebelum pemilihan presiden membuahkan hasil yang jelas, soal
Taiwan pasti akan tetap di sana sebagai sediakala. Kematian Mao
yang menyebabkan timbulnya kesibukan baru di Peking, serta gempa
bumi yang sebelumnya juga telah melanda RRT, boleh dihitung
sebagai faktor yang menambah panjang usia Taiwan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini