BUNG Hatta tidak telili? Itulah pertanyaan yang cukup tersebar
setelah diumumkannya "perkara Sawito" pekan lalu.
Dari pengumuman pemerintah itu bisa diketahui: bila para tokoh
terkemuka lain cuma teken di atas satu naskah pernyataan, maka
Bung Hatta bertandatangan pada tiga naskah. Memang, ia tak ada
meneken dua naskah yang paling "serem", yaitu yang menilai
kepemimpinan Presiden Soeharto sebagai "gagal", dan yang berisi
konsep "pelimpahan" kekuasaan dari Soeharto pada dirinya. Tapi
mengapa Bung Hatta mau begitu saja diajak oleh Sawito untuk
membubuhkan persetujuannya atas beberapa naskah? Dan mengapa
setelah naskah-naskah itu ketahuan pemerintah, Bung Hatta lalu
menyatakan bahwa pembubuhan tandatangan itu dilakukannya tanpa
"membaca dengan teliti" kata-kata yang tertulis -- padahal Bung
Hatta tersohor sangat teliti?
Segalanya mungkin rupanya. Dalam usianya yang sudah 74,
proklamator ini telah uzur. Sebuah sumber mengatakan bahwa ia
kini harus memakai kaca pembesar untuk membaca. Untuk menjaga
kesehatan ia sejak lama ikut latihan "orhiba" (olahraga hidup
baru) -- semacam senam yang juga berdasarkan "olah batin". Dalam
latihan orhiba itulah ia berkenalan dengan Sawito, suami dari
anak angkat Said Soekanto, "bapak orhiba" yang dulu Kepala
Polisi Negara. Hatta kemudian jadi dekat dengan orang ini. Ada
sebuah potret ia berdua dengan Sawito, yang ditandatanganinya,
dengan kata-kata kira-kira "tua & muda berjuang bersama". "Kalau
Bung Hatta sudah percaya kepada seseorang", kata seorang yang
cukup mengenalnya, "ia bisa percaya betul -- sampai ia
dikecewakan orang itu".
Kitab Injil
Apakah kini ia merasa dikecewakan olell Sawito, tak jelas.
Sawito nampaknya sering berbicara dengannya tentang suasana
sosial-politik kini, yang bagi kedua orang itu mengandung
kepincangan-kepincangan. Dalam suatu pertemuan yang dihadiri
banyak orang malah Sawito pernah menganjurkan Bung Hatta untuk
membikin beres keadaan. Sang proklamator cuma tersenyum. Agaknya
ia sendiri tahu bahwa hal itu tak mungkin dilakukannya, dalam
kondisi usianya kini -- dan Hatta bukanlah jenis pak tua yang
suka berkomplot. Bisa dipastikan bahwa ia tak tahu Sawito
menyusun konsep "pelimpanan" kekuasaan dari Presiden Soeharto
kepada dirinya. Atau mungkin ia tak menganggap "angan-angan"
Sawito serius Ketika ditanya seorang sahabatnya hari lebaran
yang lalu, apakah memang ia menyatakan seperti yang diumumkan
pemerintah -- bahwa ia tak membaca dengan teliti naskah
pernyataan Sawito -- Bung Hatta mengiyakan. "Kurang-lebih memang
begitulah", katanya.
Betapapun, karena dekatnya dengan Bung llatta, maka Sawito
diterima oleh tokoh sekaliber Kardinal Darmojuwona. Kardinal
bahkan bertemu dengan Sawito 3 Juli di tempat peristirahatan
Bung Hatta di Mega Mendung. Waktu itu Sawito menyodorkan naskah
"menuju keselamatan". Kardinal hanya membacanya selintas. Tiga
hari kemudian, Sawito menyusul -- kabarnya sambil membawa kitab
Injil, dengan permintaan kiiab suci itu ditandatangani Kardinal.
Sawito juga minta agar naskah 'Menuju Keselamatan' diteken.
Menurut Kardinal, Sawito menyatakan bahwa tandatangan itu akan
digunakan sebagai "kenangan pribadi". Jelas, Kardinal merasa
terperdaya.
Begitu pula Simatupang. 31 Juli Ketua DGI dan bekas Kepala Staf
Angkatan Perang ini didatangi Sawito yang diantar oleh seorang
kenalan lamanya, dr. Gunawan, kolonel pensiunan yang lebih
terkenal sebagai dokter singkong anti-kanker. Sebab kenalan lama
itulah, tamu yang datang tanpa janji lebih dulu itu diterima
Simatupang selama 10 - 15 menit. Sawito menyatakan
keprihatinannya mengenai keadaan negara dan bangsa -- dan
pandangannya tentang itu telah dituliskannya. Buah pikirannya
itu telah dapat "penilaian positif' dari Bung Hatta. Menurut
Simatupang sendiri, dalam buah pikiran Sawito itu sebetulnya
"tidak ada usul usul kongkrit". Tapi ia ikut membubuhkan
tandatangan. "Saya kira ini usaha orang-orang muda yang mau
menganalisa masyarakat, tapi masih perlu minta persetujuan kita
orang tua-tua", cerita Simatupang kepada TEMPO. Dalam naskah
Sawito sudah ada tandatangan Bung Hatta dan Kardinal
Darmojuwono. Simatupang kemudian melupakan kejadian itu dan juga
nama Sawito, sampai kemudian datang Jenderal Panggabean ke
rumahnya membicarakan naskah itu.
Pribadi
Dari Simatupang, Sawito rupanya pergi ke Hamka, 6 Agustus. "Ia
meminta saya membaca karangannya", tutur Hamka kepada TEMPO.
"Saya lalu membaca dengan teliti cuma dua pasal, yang isinya
supaya kita memadukan diri dengan alam". Hamka berkesimpulan
tamunya ini "orang kebatinan". Tapi ia tak banyak pikir ketika
itu, apalagi sudah ada tandatangan Hatta, Kardinal dan
Simatupang. Apakah pernyataan itu akan disiarkan kepada umum?,--
tanya Hamka kepada Sawito. Jawab Sawito, hanya untuk dokumentasi
pribadi saja.
Sudah jelas Hamka merasa dikecohkan benar dan merasa tak adil
bila namanya dikaitkan dengan usaha mengganti Presiden Soeharto
secara inkoustitusionil. Khotbahnya di hari Lebaran di Mesjid
Al-Azhar menjelaskan persoalan ini, semacam permintaan maaf dan
ucapan terimakasih kepada pemerintah.
Yang kabarnya juga kecewa adalah Said Soekanto. Orang yang telah
dianggap sebagai anak sendiri itu tak disangkanya membawa-bawa
namanya ke suatu hal yang berbahaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini