Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pendongeng Ulung Bernama Amitav Ghosh

Amitav Ghosh, sastrawan asal India yang menetap di Kota New York, Amerika Serikat, menganggap Indonesia sebagai tempat paling menarik untuk dipelajari. Atas undangan pemerintah Indonesia, November mendatang Ghosh akan berlayar ke Maluku dan Papua untuk riset karyanya. Delapan novel Ghosh sebelumnya, terutama The Glass Palace dan trilogi Ibis, dianggap sebagai novel sejarah yang mengasyikkan hingga Ghosh disebut oleh sastrawan Chitra Banerjee Divakaruni sebagai master of storyteller.

Berikut ini diskusi tentang novel-novelnya dan wawancara Leila S. Chudori dari Tempo dengan Amitav Ghosh di Kota New York.

18 Juli 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HANYA Rajkumar, si kecil berusia 11 tahun, yang paham apa arti bunyi gelegar itu. Sebuah bunyi yang terkirim dari seberang dataran di sepanjang Sungai Irrawaddy dekat sebuah benteng di Mandalay. Tak ada orang di sekitar kedai itu yang mengenali bunyi dentuman ini kecuali Rajkumar, yang melibas semua dengung spekulasi dan dengan lantang menyatakan bahwa itu adalah "bunyi gelegar meriam," kata bocah India tersebut dalam bahasa Burma yang lancar.

Bunyi dentuman ini adalah pertanda pertama masuknya Inggris ke Burma.

Inilah cara Amitav Ghosh membuka The Glass Palace, novel sepanjang 486 halaman yang terbit pada tahun 2000 yang menggegerkan bukan hanya karena sikap anti-kolonialisme yang dilontarkan melalui tokoh-tokohnya, melainkan seperti dikatakan sastrawan Chitra Banerjee Divakaruni bahwa Ghosh adalah "seorang pendongeng ulung". A master of storyteller. Novel ini semakin dihebohkan karena Ghosh menarik kembali The Glass Palace dari kompetisi penghargaan Commonwealth Writer's Prize. Penerbitnya semula mengikutsertakan novel tersebut dan sudah dianggap sebagai calon besar, tapi Ghosh tak setuju dengan mandat penghargaan itu dan segera menarik novelnya dari kompetisi. "Penghargaan ini adalah hadiah dari Kerajaan Inggris untuk penulis berkulit berwarna. Ini adalah perayaan kekuasaan (Inggris)," katanya kepada Tempo dalam sebuah wawancara (baca: "Saya Selalu Berusaha Menulis dengan Jujur...").

Lahir di Kolkata, India, 11 Juli, 60 tahun lalu dari sebuah keluarga Bengali Hindu, Ghosh menjadi wartawan sejak remaja ketika menempuh pendidikan di The Doon School, almamater penulis India terkemuka Vikram Seth dan Ram Guha. Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana di St. Stephen's College, Delhi University, dan Delhi School of Economics, Ghosh melanjutkan pendidikan sosial antropologi di Oxford University. Pekerjaan pertamanya adalah sebagai wartawan harian The Indian Express di New Delhi.

Mungkin juga latar belakang antropologi itu yang menyebabkan karya-karya Ghosh tak hanya melibatkan sejarah, tapi juga pendekatan antropologis. Ghosh mengaku bahwa cikal-bakal ide novel The Glass Palace adalah dari ayahnya jauh sebelum ia lahir. "Saya berutang kepada ayah saya, Letnan Kolonel Shailendra Chandra Ghosh. Beliau perwira yang ikut berperang sebagai bagian dari unit British-Indian Army," demikian Ghosh menulis catatan penulis pada bagian akhir novel ini. Ghosh mengakui, setelah kepergian ayahnya, dia menyadari betapa novelnya ini sangat dipengaruhi oleh berbagai pengalaman dan refleksi sang ayah tentang peran orang India dalam peperangan.

Tentu saja, selain dari pengalaman ayahnya, Ghosh tetap melakukan riset selama lima tahun, membaca ratusan buku, memoar, artikel, dan dokumen sejarah baik yang sudah diterbitkan maupun yang tersimpan serta mewawancarai begitu banyak narasumber di India, Malaysia, Myanmar, dan Thailand. Menurut Ghosh, seandainya ayahnya membaca novelnya, pasti dia tak akan mengenal bibit yang pernah ditanam di kepala anaknya itu. Sebab, "Kenangan yang ditanamkan pada saya sudah berubah dan hanya terselip di antara suasana dan tekstur cerita," ujar Ghosh.

The Glass Palace adalah salah satu karya Ghosh yang impresif karena cerita itu mengambil setting Burma, India, dan Malaya dalam rentang waktu 115 tahun yang diceritakan dengan detail yang luar biasa teliti. Dimulai dari sepak terjang si kecil Rajkumar Raha, anak yatim piatu India yang lincah dan dengan segera menjadi pekerja serabutan di warung Ma Cho, perempuan yang setiap malam diintipnya dengan penuh berahi. Percintaan Ma Cho dengan lelaki Inggris, Saya John, mau tak mau membuat Rajkumar menganggap John sebagai substitusi ayahnya. Dari Saya John, Raj menyerap berbagai pengetahuan, dan itulah sebabnya ia tahu betul bahwa bunyi yang menggelegar di seberang sungai adalah dentuman meriam pasukan Inggris yang akan menduduki Burma. Saat tentara Inggris—yang sebagian besar terdiri atas orang India—masuk ke Burma, situasi kacau dan terjadi penjarahan di istana Raja Thebaw. Saat itulah Rajkumar bertemu dengan seorang dayang pengasuh para putri raja bernama Dolly.

Tapi tentu saja ini bukan hanya kisah cinta Rajkumar kecil yang di masa dewasa akan bertemu kembali dengan Dolly dan mengawininya. Lebih jauh lagi, Amitav Ghosh dengan cerdas menceritakan tokoh nyata Raja Thebaw, raja terakhir Burma; permaisurinya, Ratu Supalayat; serta ketiga putrinya yang terusir dari istananya dan harus hidup sebagai eksil di Ratnagiri, India. Meski ini tokoh sejarah, Ghosh mampu menceburkan mereka bersatu dengan tokoh-tokoh fiktifnya: Dolly, Rajkumar, Uma, dan semua orang di sekeliling mereka. Ghosh mengaku membaca banyak tentang kepribadian raja dan ratu yang "sebetulnya sosok-sosok yang sudah lama dilupakan" serta mencoba menciptakan dialog dan sosok raja-ratu berdasarkan buku sejarah itu.

Ratu Supalayat dalam sejarah dikenal sebagai salah satu dalang pembunuhan massal terhadap keluarga raja yang dianggap bisa mengancam posisinya atau posisi suaminya sebagai raja. Ghosh menggambarkan Supalayat yang dingin dan ditakuti itu dengan diksi yang luar biasa sehingga pembaca bisa ikut gemetar setiap membaca adegan kekejian sang ratu.

Pada bab-bab kerajaan ini, Ghosh nyaris menciptakan sebuah dunia dongeng yang fantastis. Si gembel yang jatuh cinta kepada perempuan cantik dayang istana dan orang-orang istana yang keji serta penuh pemberontakan para putri muda. Tentu saja dia tak berhenti pada kisah cinta Rajkumar dan Dolly. Selanjutnya barulah kita menyadari bahwa Ghosh akan menarik kita terus menyusuri kisah anak, cucu, hingga cicit pasangan ini dan keluarga Uma—sahabat Dolly. Rajkumar di masa dewasa adalah seorang pengusaha karet dan kayu yang sukses serta kaya raya yang menjadi eksploitatif seperti orang Inggris terhadap warga lokal India atau Burma.

Pada saat para tokoh sudah memasuki masa modern, Ghosh mulai mempercepat ritme tulisan. Dia tetap mementingkan detail deskripsi yang berkepanjangan. Ghosh bisa saja dengan asyiknya menulis beberapa halaman tentang bagaimana sebuah kamera bisa merekam sebuah gambar karena tokohnya, Dinu, putra Raj dan Dolly, adalah fotografer profesional. Sedangkan di bagian lain, Ghosh bisa saja menuliskan kematian atau perkawinan salah satu tokohnya hanya dalam dua kalimat yang datar dan dingin.

* * *

PADA paruh kedua novel, kita sementara harus meninggalkan kisah Rajkumar dan Dolly karena Ghosh menceburkan pembacanya pada kisah generasi berikutnya. Pada bagian inilah Ghosh mulai memasukkan debat penting soal identitas tokoh-tokohnya tentang mereka yang dijajah dan penjajah. Tokoh Arjun, keponakan Uma, bergabung menjadi bagian dari militer India yang artinya dia adalah alat Kerajaan Inggris. Posisi ini tentu tak nyaman karena Uma adalah aktivis kemerdekaan India.

Arjun mulai mempertimbangkan identitasnya sebagai orang India ketika Jepang masuk. Dia terlibat perdebatan yang panas dengan atasannya dan mengaku ia tak akan lagi ikut membela Inggris, karena untuk ratusan tahun Inggris menjajah begitu banyak negara, termasuk India. Sang atasan dengan keras mempertanyakan apakah Arjun menyadari bahwa dia tak hanya mengkhianati Kerajaan Inggris, tapi juga membela fasisme Jepang. Yang menarik, melalui tokoh Arjun, Ghosh juga seperti memberikan pernyataan lantang bagaimana bahasa Inggris bagi orang India telah memenjarakan dan memperlemah kesadaran perlawanan.

Dengan mulus, Ghosh mengembalikan fokus pada peran utama novel ini: Rajkumar, yang semakin tua menjadi seperti benda yang anakronistik di tengah keluarga dan kawan-kawannya yang progresif. Ketika Raj memperlakukan perang sebagai sumber keuntungan, Dolly tak nyaman dengan moralitas sang suami. Namun Dolly adalah tipe perempuan yang melakukan protes dalam diam serta perlahan menjauhi dan meninggalkan suaminya tanpa pertarungan konfrontatif. Sedangkan Uma, bagi saya, hampir seperti "juru bicara" Amitav Ghosh yang tak hanya mempertanyakan posisi orang India—yang dijajah dan digunakan Inggris untuk menindas warga India dan Burma—tapi juga berani memutuskan hidupnya untuk mandiri.

Perdebatan panas antara Uma dan Rajkumar adalah salah satu perdebatan menarik dari seluruh novel. Uma adalah sahabat Dolly dan karena Uma mengetahui Rajkumar bukanlah seorang suami yang setia dan lurus, kemarahan Uma ada subteks. "Rajkumar, orang sepertimu yang bertanggung jawab atas tragedi ini. Pernahkah kau pikirkan konsekuensi memasukkan orang ke sini? Apa yang kau lakukan justru jauh lebih buruk daripada penjajah Eropa."

Kemarahan yang menancap seperti pisau dengan tusukan karena Uma gusar terhadap kejahatan seksual yang dilakukan Raj kepada perempuan lokal; sekaligus dia sangat marah terhadap posisi Raj yang tak peduli dengan penjajahan dan imperialisme sepanjang itu menguntungkan bisnisnya.

Rajkumar bertahan bahwa orang India yang mendukung Kerajaan Inggris, termasuk para tentara, adalah orang yang "tak hanya melindungi Kerajaan inggris, tapi juga orang-orang seperti aku dan Dolly". Pertarungan ide dan identitas ini adalah salah satu tema yang secara konsisten dipertarungkan dalam novel ini. Dan inilah salah satu keistimewaan Ghosh sebagai seorang pendongeng. Tentu saja ada hal-hal yang sering dipersoalkan kritikus, misalnya kecenderungan Ghosh untuk memberikan detail deskripsi yang tak selalu penting kecuali untuk estetika. Misalnya Ghosh ingin menyampaikan keterangan waktu pernikahan Manju dan Neel. Dia menulis dengan rinci: "Manju and Neel had been married not quite three months when the British Prime Minister, Neville Chamberlain, declared war on Germany on behalf of Britain and her Empire. With the start of the war, an Air Raid Precautions scheme was prepared for Rangoon."

Deskripsi yang sungguh penuh sesak ini bisa menenggelamkan kebutuhan pembaca untuk memahami situasi batin tokoh-tokohnya. Sebagai pembaca fiksi, tentu kita merindukan kompleksitas psikologi tokoh-tokohnya yang mengalami kehilangan dan pengkhianatan. Dan tentu saja Ghosh juga piawai menyajikan bagian itu.

Salah satu bagian menarik adalah percintaan Dinu dan Allison yang berlangsung sangat halus, lambat, dan tertahan lebih karena karakter Dinu yang pemalu, minim kata, dan hanya tenteram berbincang di balik kamera. Justru hubungan di antara kedua kawan yang sebetulnya saling tertarik tapi tersendat-sendat—entah karena gangguan Arjun entah perbedaan temperamen—malah memperlihatkan keunggulan Ghosh dalam menciptakan suasana yang mengharukan. Apalagi, seperti halnya novel-novel Inggris abad ke-19, berbagai tokoh dalam novel ini meninggal, maka lengkaplah kesedihan pembaca yang sudah telanjur mencintai tokoh-tokoh yang diciptakan dan dibangun Ghosh dengan penuh rawatan dan kasih itu. Perkara pengaruh novel abad ke-19 Inggris, Ghosh mengakui bahwa dia memang menyukai novel-novel periode tersebut, terutama Buddenbrooks karya Thomas Mann. Berbagai kritikus juga menganggap dia dipengaruhi Leo Tolstoy dan Charles Dickens.

Ghosh juga paham betapa pentingnya bergurau. Justru pada babak-babak akhir, ia mempersembahkan adegan lucu antara Uma dan Rajkumar yang sudah sepuh yang tertangkap basah di tempat tidur bersama dan gelagapan mencari-cari gigi palsu mereka. Ini memang adegan yang menggelikan dan hampir mendekati sebuah cipratan komedi; sebuah jeda setelah pembaca melalui 115 tahun yang penuh dengan peperangan dan pelbagai konsekuensinya pada tokoh-tokohnya.

Saat wawancara dengan Tempo, Ghosh mengakui bahwa dia menyukai kapal. "Ships are nice," katanya dengan penuh semangat karena berencana akan berlayar menuju Maluku dan Papua dengan kapal Pelni. Trilogi Ibis, yang terdiri atas Sea of Poppies (2008), River of Smoke (2011), dan Flood of Fire (2015), adalah sebuah saga yang kaya petualangan di Samudra India dengan menjelang Perang Opium. Sea of Poppies berkisah tentang tiga tokoh yang berbeda yang bertemu di atas kapal Ibis: Deeti, perempuan desa bersuami seorang cacat yang bekerja di pabrik opium. Sejak awal dikisahkan Deeti dan Hukam berputrikan satu orang, tapi belakangan pembaca akan diberi tahu mengapa akhirnya Deeti dengan Kalua, lelaki dari kasta yang lebih rendah, harus lari menyelamatkan diri dari keluarga suaminya.

Bertemu dengan dua tokoh lain yang masing-masing menyimpan problem, seorang anak budak dan seorang anak dari ahli botani Prancis, kapal Ibis memasuki Kolkata pada 1838 yang riuh-rendah serta penuh warna dan pelbagai aroma sekaligus berbagai adegan kericuhan, pengadilan, cinta yang terlarang, dan perkelahian di antara awak kapal. Tak mengherankan jika The Observer menyebut novel ini penuh adegan laga gaya Alexander Dumas tapi juga terasa sentuhan Tolstoy dan Dickens.

Novel yang berhasil meraih penghargaan antara lain British Book Design & Production Awards dan The Indiaplaza Golden Quill Award untuk novel terbaik pada 2009 ini juga berhasil masuk daftar penghargaan Man Booker Prize pada 2008.

November nanti, atas undangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Amitav Ghosh dan penulis Ian Buruma akan melakukan riset di Indonesia sebagai bagian dari program yang baru dimulai tahun ini. "Ian Buruma memilih menulis tentang Aceh dan Amitav Ghosh memilih Maluku dan Papua," ucap Restu Gunawan dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Ghosh mengaku sangat ingin melakukan perjalanan di atas kapal Pelni dan meriset untuk tulisannya tentang Indonesia. "Dari semua tempat yang pernah saya kunjungi di dunia, Indonesia adalah tempat yang paling menarik untuk dikunjungi," katanya dengan mata berbinar-binar sambil mengucapkan betapa dia sangat terkesan oleh Flores yang dikunjunginya dua tahun lalu.

Mungkin suatu hari kita akan membaca sebuah novel dengan latar belakang Indonesia dengan lautannya yang biru dan pulau-pulau yang akan dikunjungi Ghosh.

Leila S. Chudori (Kota New York)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus