Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GERIMIS baru saja reda pada Ahad pagi musim panas akhir Juni lalu ketika sekelompok pria dan wanita yang rata-rata berusia 60 tahun tiba dengan bus di Taman Sonsbeek di jantung Kota Arnhem, sekitar 100 kilometer barat daya Amsterdam. Dengan senyum lebar, mereka langsung berjalan melewati Molenplaats, bekas lumbung yang diubah menjadi pusat informasi pengunjung yang ingin berkeliling Taman Sonsbeek. Maklum, hari masih terlalu pagi, Molenplaats belum lagi mulai beroperasi.
Tanpa aba-aba, rombongan itu langsung menuju sebuah konstruksi kayu berbentuk rumah yang berada persis di belakang Molenplaats. Mereka tidak ragu-ragu melintasi lapangan rumput yang masih becek karena hujan kemarin. "Jadi ini rumah pembakaran roti itu," ujar salah seorang di antaranya. "Katanya sih semua simbol agama ada di sekeliling struktur kayunya. Kristen, Yahudi, Islam, Hindu, Buddha," yang lain menanggapi.
Jika diperhatikan lebih saksama, dalam susunan kerangka kayu tersebut terlihat simbol bintang David dan bintang yang biasa ditemukan dalam Islam, tanda salib, bahkan simbol swastika. Semua anggota rombongan sibuk mengamati struktur-struktur kayu yang terlihat seperti malang-melintang membentuk pola-pola tertentu. Tanpa sungkan-sungkan semua anggota rombongan keluar-masuk rumah kayu karya seniman Alphons ter Avest, seniman lokal dari Arnhem, itu.
Di pusat struktur kayu itu terdapat sebuah gua kecil pembakaran roti yang biasa dipakai di restoran makanan Italia untuk membakar pizza. Setiap Ahad, Ter Avest mengundang siapa saja, baik warga kota, tukang masak, pemilik restoran, maupun tukang roti, untuk datang membakar roti di dalam gundukan pembakar menggunakan kayu dari kerangka rumah itu sendiri. "Jadi, saat festival ini berakhir nanti, yang tersisa hanyalah pembakaran roti itu," kata Ter Avest kepada Tempo.
Rumah pembakaran roti bertajuk Bakehouse ini adalah salah satu karya yang dipamerkan dalam Festival Seni Internasional Sonsbeek 2016, sepanjang 4 Juni-18 September mendatang. Sonsbeek adalah nama taman seluas 67 hektare yang ada sejak akhir abad ke-19 di Kota Arnhem. Taman ini diapit oleh Taman Zijpendaal dan Gulden Bodem, yang jika digabung bisa mencapai lebih dari 200 hektare dan merupakan area yang dijaga kelestariannya.
Tradisi pameran seni Sonsbeek dimulai sejak 1949 di kota berpenduduk sekitar 150 ribu jiwa ini—ketika Perang Dunia Kedua berakhir. Festival seni yang sudah memasuki edisi ke-11 ini awalnya adalah bagian dari program rekonstruksi pascaperang dan diniatkan untuk membantu penduduk Kota Arnhem keluar dari trauma perang dunia. Bertahun-tahun Festival Sonsbeek terkenal sebagai pameran seni patung yang setiap edisinya memajang karya seni rupa patung di taman kota itu dari seniman-seniman terkenal. "Sonsbeek Internasional Sculpture Festival sempat menjadi festival yang tidak reguler, biasanya tiga tahun atau kadang empat tahun, tapi kemudian vakum selama tujuh tahun sejak 2008 karena masyarakat Arnhem sudah mulai bosan dengan festival patung yang menghabiskan dana publik," ujar Verna Meertens, penduduk Arnhem dan pengunjung tetap Taman Sonsbeek.
Festival Sonsbeek yang sempat mati suri selama tujuh tahun itu membuat resah para pekerja seni di Arnhem. Mereka kemudian memutuskan membuat edisi baru festival yang berbeda dari festival-festival sebelumnya. Pemerintah kota bekerja sama dengan penyelenggara Sonsbeek lalu mengundang kurator baik dari dalam maupun luar negeri untuk mengajukan proposal yang mencakup kata kunci: partisipasi, kerja sama, dan kontinuitas. Dan pada festival baru ini yang terpilih adalah komunitas Ruang Rupa dari Indonesia.
"Ruang Rupa mengajukan proposal bertema TransAction," kata Hafiz, salah satu kurator dari Ruang Rupa, Jakarta, yang ditemui Tempo di Arnhem. Hafiz menjelaskan bahwa ide TransAction adalah mengaktifkan seluruh Kota Arnhem, bukan hanya Taman Sonsbeek sebagai pusat festival. "Yang kami tawarkan adalah membuat platform-platform yang bisa mengaktivasi keikutsertaan semua jajaran masyarakat Kota Arnhem. Kami mengundang seniman-seniman yang kami kenal untuk membuat karya yang bisa melibatkan masyarakat yang nantinya tidak hanya sebagai penikmat, tapi sekaligus ikut berpartisipasi memfungsikan karya itu," ujar Hafiz. "Karya seni di ruang publik saat ini diperlukan untuk mengundang publik mempertanyakan lagi persepsi mereka tentang seni," ucap Reza Afisina, anggota Ruang Rupa lain.
Menurut Direktur Sonsbeek, Tati Vereecken Suwarganda, Ruang Rupa ditunjuk sebagai kurator karena konsep TransAction mereka menggabungkan semua elemen kontemporer, dari isu pengungsi; kolonialisme; ekologi; konteks sosial, politik, bahkan ekonomi dengan pendekatan seni visual; patung; performance; panggung; hingga musik. "Mereka juga ingin melibatkan semua kalangan, dari seniman hingga mereka yang terpinggirkan," ujar Tati.
Sejak terpilih menjadi kurator Sonsbeek, beberapa anggota Ruang Rupa kemudian membuka Ruru Huis di Arnhem sejak 2015. "Ruru Huis berfungsi sebagai ruang tamu. Siapa saja bisa berkunjung, siapa saja bisa melontarkan ide, siapa saja bisa bercerita," kata Reza. Sebagai kurator, mereka ingin memahami dan mengalami Kota Arnhem sebagai materi untuk karya seni yang masif dalam bentuk Sonsbeek 2016. "Kami mengumpulkan fakta dan cerita dari masyarakat, memetakan komunitas-komunitas, mencoba mencari tahu apa harapan dan kenangan mereka di Arnhem," ujar Reza.
Setelah melakukan "penelitian" ala sosiolog dan antropolog yang berpusat di rumah tamu sementara di Ruru Huis, barulah tujuh kurator Ruang Rupa, yang terdiri atas Ade Darmawan, Indra Ameng, Farid Rakun, Hafiz, Reza Afisina, Mirwan Andan, dan Ajeng Nurul Aini, memilih seniman-seniman yang akan diundang. "Kami memilih seniman-seniman yang kami kenal, yang tahu seperti apa posisi kami dalam melihat karya seni," kata Hafiz. Permintaan Ruang Rupa sederhana: karya para seniman ini nantinya tidak hanya berfungsi sebagai karya seni. Karya-karya ini juga harus bisa berinteraksi dan melibatkan publik. Wujud dari permintaan itu pun direalisasi dalam berbagai bentuk.
Selain Alphons ter Avest dengan karya Bakehouse, Kevin van Braak, misalnya, membangun tempat kerjanya di salah satu lokasi dalam taman. Setiap hari, hingga Festival Sonsbeek berakhir nanti, Van Braak dan kolega-koleganya akan berkreasi seperti biasa membuat perabot kayu yang berasal dari taman itu sendiri. Semua orang bisa mampir, sekadar melihat-lihat cara kerja sang seniman, atau bahkan ikut membuat sesuatu.
Sejak festival dibuka oleh Raja Belanda William-Alexander pada 4 Juni lalu, di Taman Sonsbeek tersebar berbagai "karya" seni yang membutuhkan partisipasi masyarakat agar berfungsi sesuai dengan yang diniatkan. Patung kepala manusia setinggi dua meter yang setengahnya memperlihatkan bagian dalam anatomi kepala tanpa kulit karya Louie Cordero adalah karya patung yang belum sepenuhnya selesai. Setiap pengunjung taman diundang untuk meninggalkan jejak di permukaan karya seniman asal Filipina tersebut dengan menempelkan permen karet yang habis dikunyah.
Karya lain yang banyak dimanfaatkan adalah taman bermain Common Ground karya Maze de Boer. Taman bermain warna-warni yang terbuat dari besi tersebut adalah taman bermain yang dicomot dari taman bermain di Tebet, Jakarta. Dibanding taman bermain anak-anak buatan Belanda yang biasanya lebih canggih dan mutakhir, Common Ground langsung mengundang perhatian tak hanya karena terlihat agak kuno, tapi karena kombinasi warna-warna yang terlihat mencolok. De Boer tidak hanya mengambil taman bermain itu begitu saja. Sebagai gantinya, ia memasang taman bermain ala Belanda di Tebet.
Masyarakat bisa mendaftar untuk menggunakan karya para seniman sebagai tempat apa saja, dari tempat latihan yoga, pesta anak-anak, talk show, olahraga bersama, hingga tempat pesta perkawinan. Bukan hanya masyarakat, kucing pun bagian dari partisipan berkat karya Mark Salvatus asal Manila, yang membuat taman khusus untuk kucing dari tumpukan meja, tempat kucing bebas mencakar apa saja tanpa kena lemparan sandal majikan.
WALAUPUN bertajuk Festival Sonsbeek, pameran karya 44 seniman yang terpilih dari 22 negara tidak hanya bertumpuk di Taman Sonsbeek. Sebagai bagian dari TransAction itu sendiri, yang berarti pertukaran aksi, karya seni yang terpilih juga tersebar di seluruh Kota Arnhem, di dinding-dinding, museum, galeri, trotoar, jembatan, dan sudut-sudut tersembunyi lain. "Strategi ini membuat setiap warga, baik penduduk Arnhem maupun pengunjung yang khusus datang untuk melihat festival, bisa menemukan sisi lain Kota Arnhem yang tidak mereka perhatikan sebelumnya," kata Hafiz.
Pendekatan publik ala Ruang Rupa ini tentu punya risiko sendiri. Beberapa karya sempat dirusak, dicorat-coret, tapi Ruang Rupa menganggap tindakan itu justru sebagai penghormatan terhadap apa yang mereka lakukan. "Artinya kami berhasil membuat semua orang berpartisipasi, bahkan mereka yang tidak suka sekalipun," ujar Hafiz.
Marishka Veerle, salah seorang warga Arnhem, menganggap Festival Sonsbeek tahun ini sangat berbeda dengan festival sebelumnya. "Dulu hanya ada karya seni patung. Tahun ini lebih banyak alternatif dan banyak karya dengan statemen politik. Anda butuh banyak imajinasi dan referensi untuk mengerti karya-karya itu. Saya sendiri merasa ada beberapa karya yang layak dipertanyakan, apakah itu karya seni atau bukan," kata Veerle.
Pernyataan Veerle ini menunjukkan keberhasilan Ruang Rupa menghadirkan kembali diskursus tentang seni yang terus berevolusi. Bagaimanapun, Veerle mengakui, Taman Sonsbeek sekarang terasa beda dengan adanya karya seni "nyentrik" yang tersebar tidak hanya di Sonsbeek, tapi juga di seluruh Kota Arnhem.
Asmayani Kusrini (Arnhem, Belanda)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo