Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Penentang Komunis Dari Balik Layar

Sultan Hamengku Buwono IX dinilai antikomunis tapi tidak secara terang-terangan menunjukkan sikapnya. "Menjinakkan" Kolonel Sungkono, Panglima Divisi Brawijaya, agar tak bergabung dengan Musso.

17 Agustus 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pria gempal itu kembali ke Yogyakarta pada 11 Agustus 1948 dengan nama samaran Soeparto. Ia menyaru sebagai sekretaris pribadi Suripno, pejabat pemerintah yang dikirim ke Praha, Eropa. Dalam suatu pertemuan Partai Komunis Indonesia, Suripno mengungkapkan bahwa Soeparto sesungguhnya adalah Musso, anggota Politbiro PKI awal 1920-an, tokoh pemberontakan PKI 1926 melawan Belanda, dan pendiri "PKI ilegal" 1935. Musso, yang membawa "misi Moskow", disambut antusias dan dengan aklamasi diangkat sebagai sekretaris partai.

Musso cepat melakukan konsolidasi. Dan segera segenap anggota partai yang selama ini menutupi identitas aslinya mengumumkan diri sebagai anggota. Di antara mereka yang termasuk mendeklarasikan keanggotaannya adalah mantan perdana menteri Amir Syarifuddin Harahap. Pada 29 Agustus 1948, dia menyatakan sudah menjadi anggota PKI sejak 1935. Maka PKI dengan cepat mengambil alih Front Demokrasi Rakyat (FDR), koalisi sayap kiri yang beroposisi terhadap Kabinet Hatta. Anggota PKI yang awalnya cuma 3.000 berlipat menjadi 30 ribu orang.

Pertentangan FDR dengan pemerintah semakin memuncak dan bahkan menjadi pertentangan fisik di Surakarta. Saling culik serta saling serang markas Pasukan Panembahan Senopati dan Siliwangi, kelompok kiri, juga laskar-laskar hampir tiap hari terjadi. "Solo dikondisikan sebagai wild west (daerah tak bertuan) oleh PKI. Tentara hijrah Siliwangi diadu dengan tentara-tentara lokal," kata Mayor Jenderal Purnawirawan Sukotjo Tjokroatmodjo, Wakil Ketua Legiun Veteran Republik Indonesia, kepada Tempo pada awal bulan lalu.

Pertentangan itu mencapai puncaknya saat meletus Madiun Affair, 18 September 1948. Ucapan Soemarsono saat pemakaman dua tentaranya bahwa "dari Madiun revolusi dimulai" segera disimpulkan PKI telah memberontak. Inisiatif Komandan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) ini memaksa Musso mempercepat pembentukan Negara Republik Soviet Indonesia.

Saat peristiwa Madiun, Panglima Besar Jenderal Soedirman sedang berada di Magelang, sedangkan Kolonel A.H. Nasution, kepala stafnya, sedang berada di ibu kota, Yogyakarta. Menteri Pendidikan Ali Sastroamidjojo segera menjemput Nasution, lalu menghadap Presiden di Istana. Di sana sudah hadir Sultan Hamengku Buwono IX. Presiden kemudian menugasi Nasution menyusun rencana operasi.

Tengah malam, dalam sidang kabinet yang dipimpin Hatta, konsep Nasution disetujui. Panglima Tentara Nasional Indonesia diperintahkan melaksanakannya. Malam itu juga Brigade Djoko Untung (pro-PKI) dilucuti dan tokoh-tokoh PKI di Yogyakarta ditangkap. "Paginya saya dapat melaporkan kepada Pak Dirman bahwa daerah Yogya telah selesai diamankan," ujar Nasution dalam buku Tahta untuk Rakyat.

Malam 19 September 1948, Sukarno berbicara di RRI Yogya dan meminta rakyat memilih Musso dengan PKI-nya atau bersama Sukarno-Hatta. Dalam waktu dua jam, Musso membalasnya di depan radio Madiun dengan mengatakan "rakyat seharusnya menjawab kembali bahwa Sukarno-Hatta adalah budak-budak Jepang dan Amerika".

Di Markas Besar Tentara, Soedirman memimpin rapat bersama para perwira staf guna menggariskan petunjuk operasi penumpasan. Melalui operasi itu, Madiun dan kota-kota sekitarnya akhirnya dapat direbut kembali "dalam dua minggu". "Harus dilakukan tindakan cepat sebelum menyebar," kata Nasution.

Selama kondisi genting, Nasution mengaku secara unik berbagi peran dengan Sultan HB IX. Nasution memimpin militer dan Sultan sebagai Menteri Koordinator Keamanan "bertugas" di tingkat kabinet. Sedari semula, meski tak menampakkan sikapnya secara terbuka, Sultan menentang komunisme. "Sultan sebenarnya 'direkrut' (disetujui diangkat sebagai Sultan IX) oleh Belanda karena antikomunis," ucap cucu HB VIII, KRT Jatiningrat alias Romo Tirun.

Pada 9 September 1948, Sultan ke Jawa Timur untuk "menjinakkan" Kolonel Sungkono, Panglima Divisi Brawijaya, membatalkan niatnya bergabung dengan Musso. Kelak Sungkono-lah yang berhasil mengkonsolidasi sisa-sisa batalion di Jawa Timur untuk menumpas PKI Madiun. "Di Madiun, saya mengusulkan penguatan militer, tapi Musso keburu tiba di sana. Saya diberi tahu bahwa komandan di Jawa Timur, Sungkono, hendak bergabung dengan Musso. Saya pergi dengan mobil saya bersama Gubernur Jawa Timur Soeryo," kata Sultan HB IX dalam wawancara dengan Asiaweek pada 1986 seperti dikutip John Monfries dalam bukunya, A Prince in a Republic.

Dalam perjalanan melewati Solo, Sultan membawa mobilnya sendiri, sementara Gubernur RM Ario Soerjo bersama Kepala Polisi Jawa Timur dengan mobil lain di belakangnya. Sultan menduga Soerjo mampir untuk makan karena mobil mereka tak kunjung tiba. Dua jam kemudian, seorang kurir melaporkan bahwa Soerjo dan Kepala Polisi terbunuh di hutan Walikukun, Ngawi. "Peristiwanya mungkin setengah jam setelah saya lewat," ujar Sultan, yang menuturkan sebelumnya mencurigai gelagat orang-orang berpakaian hitam-hitam duduk-duduk di pinggir jalan Walikukun.

Soemarsono, kepada Tempo beberapa waktu lalu, mengaku justru digosok Sungkono untuk memberontak. "Hadapi saja Siliwangi itu, kami sepenuhnya di belakang Madiun," ucap Soemarsono menirukan ucapan Sungkono.

Di Yogyakarta, Sultan diam-diam mendirikan Laskar Rakyat Mataram, yang sebagian tujuannya adalah membentengi pemuda Yogyakarta dari pengaruh komunis. Karena sikap Sultan, kata Tirun, gerakan komunis di Yogyakarta tak membesar sebagaimana wilayah kembarannya, Kasunanan Surakarta. Yogyakarta tetap tenang. "Di Yogya, orang-orang kiri rikuh meski Sultan tidak terang-terangan antikomunis," ujar sejarawan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Djoko Suryo.

Pergolakan komunis di Yogyakarta tetap ada meski dalam skala kecil. Saat aksi PKI di Madiun dan sekitarnya terjadi, aksi serupa merembet di pinggiran Daerah Istimewa Yogyakarta. Suatu hari sekelompok pemuda mengepung rumah Bupati Gunungkidul. Pemuda bersenjatakan granggang (bambu runcing) itu menuntut Bupati memerintahkan polisi melepaskan Istiajid (tokoh PKI setempat).

Kepada Bupati, Kepala Polisi Wonosari memberitahukan bahwa ia mendapat perintah dari Yogyakarta untuk menahan Istiajid pada malam 18 September 1948. Istiajid dicurigai terlibat pemberontakan Madiun. Menurut dokumen yang ditemukan dari rumah Istiajid, PKI berencana merebut sejumlah wilayah Yogyakarta, didahului dengan rapat raksasa di Alun-alun Wonosari pada akhir September. Rencana ini dapat dicegah dengan ditangkapnya Istiajid pada malam 19 September 1948. "Orang-orang yang hendak mengadakan rapat raksasa menjadi kebingungan," kata Ernawati Purwaningsih, seperti dikutip dari laporan penelitiannya, "Gunung Kidul saat Meletus PKI Muso Madiun".

PKI sempat menyerobot dan menculik aparatur Kawedanan Ponjong, Semenu, Baron, dan Samin. Pada 30 September 1948, Paku Alam VIII meninjau langsung Gunungkidul dan sekitarnya sampai 2 Oktober 1948. Sejak itu, perhatian dari Yogyakarta semakin besar. Tentara dan polisi terus mengalir. Daerah-daerah yang dikuasai pengacau direbut kembali.

Pada 7 Oktober 1948, Sultan datang ke Wonosari. Segera Sultan mengisi kekosongan struktur pemerintahan dengan memerintahkan bupati diberi kekuasaan penuh memilih serta mengisi semua lowongan pegawai sampai pangkat panewu dan langsung bertugas, sedangkan surat keputusannya menyusul. Sultan juga memerintahkan Daerah Surakarta, yang terputus hubungannya dengan pemerintah pusat, supaya dipimpin bangsawan setempat untuk sementara dan dijamin pegawainya.

Selo Soemardjan, bekas sekretaris pribadi Sultan IX, dalam bukunya, Perubahan Sosial di Yogyakarta, menuturkan bahwa Gunungkidul memang sudah lama menjadi basis PKI, sejak 1920-an. Setelah merdeka, komunis memanfaatkan dibentuknya Komite Nasional Indonesia mengorganisasi massa dalam Barisan Tani Indonesia (BTI). Komite Nasional Indonesia (KNI) juga membentuk Barisan Buruh Indonesia, yang kemudian menjadi Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), dan Lasykar Rakyat, yang juga digerakkan oleh komunis.

Angkatan bersenjata menangkapi segenap tokoh PKI beserta sejumlah ormasnya karena pemberontakan PKI di Madiun. Tindakan ini merupakan pukulan keras bagi PKI, BTI, dan SOBSI serta melumpuhkan mereka hingga tiba saat "dibebaskannya" pemimpin-pemimpin mereka sewaktu tentara Belanda menduduki Yogyakarta pada 19 Desember 1948.

Tak butuh waktu lama bagi PKI untuk bangkit. Sebab, meski memberontak, PKI tak dikenai sanksi karena pemerintahan kacau setelah diserbu Belanda. Dalam pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat DI Yogyakarta pada 1957, PKI menjadi pemenang dengan memperoleh 14 kursi, disusul Partai Nasional Indonesia 8 kursi, dan Gerinda 6 kursi (jumlah total kursi yang diperebutkan 45). Di seluruh perwakilan DPR provinsi, kota, dan kabupaten di Yogyakarta, PKI mendapatkan 64 kursi, PNI 37 kursi, Masyumi 29 kursi, dan Gerinda 28 kursi. Jumlah kursi semuanya 207.

Sultan sejatinya menolak konsep Nasakom yang digaungkan Sukarno. Namun, sebagai orang Jawa, ia tetap diam. Meski demikian, sekali waktu Sultan ikut andil juga menunjukkan sikapnya menentang Sukarno yang hendak menyatukan puluhan organisasi kepanduan pada 1961. Konsep kepanduan yang disusun Menteri Pendidikan Priyono (PKI) dianggap menguntungkan PKI sehingga Sultan mendesak Pejabat Presiden Djuanda mengeluarkan keputusan soal Pramuka seperti yang dikenal saat ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus