Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN suara berat tapi lantang, Presiden Sukarno menyampaikan pidato kenegaraan 17 Agustus 1966. Ia menuding tiga tokoh telah memereteli kekuasaannya: Mayor Jenderal Soeharto, Sultan Hamengku Buwono IX, dan Adam Malik.
Ia berpidato: "Presiden Sukarno telah di-coup. Presiden Sukarno telah dipereteli segala kekuatannya. Presiden Sukarno telah ditelikung oleh satu triumvirat yang terdiri dari?Jenderal Soeharto, Sultan Hamengku Buwono, dan Adam Malik!"
Hampir setahun setelah peristiwa 30 September 1965, kekuasaan Sukarno memasuki fase akhir. Surat Perintah 11 Maret 1966 yang dikeluarkan Sukarno untuk Soeharto kemudian dikukuhkan menjadi Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966. Kekuasaan Orde Lama lumpuh dan mulai beralih di bawah kendali Soeharto.
Soeharto segera membubarkan Partai Komunis Indonesia. Aparat militer menangkapi pemimpin dan simpatisannya. Di sejumlah tempat, massa memburu mereka yang dituduh bagian dari partai itu. Kondisi keuangan pemerintah juga buruk, dengan defisit anggaran 300 persen. Daya beli masyarakat pun semakin rendah.
Pada Juli 1966, Sukarno membentuk kabinet baru dengan nama Kabinet Amanat Penderitaan Rakyat, disingkat Ampera. Presiden berharap kabinet itu bisa menyelesaikan persoalan sosial dan ekonomi rakyat. "Posisi Presiden Sukarno saat itu serba susah. Perekonomian Indonesia juga buruk," ujar sejarawan Rushdy Hoesein, dua pekan lalu.
Kabinet Ampera sehari-hari dipimpin lima anggota Presidium Kabinet, yakni Soeharto yang menjabat Ketua Presidium sekaligus Menteri Utama Bidang Pertahanan dan Keamanan; Adam Malik sebagai Menteri Utama Bidang Politik; Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Menteri Utama Bidang Ekonomi dan Keuangan; Idham Chalid selaku Menteri Utama Bidang Kesejahteraan Rakyat, dan Sanusi Hardjadinata, yang menjadi Menteri Utama Bidang Industri dan Pembangunan.
Di atas kertas, kabinet ini memang dipimpin Sukarno. Namun kendali sepenuhnya ada di tangan Soeharto, Sultan, dan Adam Malik. "Tiga serangkai dalam presidium itu bekerja sangat kompak," tulis Sutrisno Kutoyo dalam bukunya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX: Riwayat Hidup dan Perjuangan (1996). Karena kekompakan itu mereka mendapat julukan tritunggal.
Tiga serangkai itu memiliki julukan masing-masing. Soeharto disebut "a man of quick action" alias orang yang cepat mengambil tindakan. Adam Malik disebut "a man of instant solution" karena dianggap cepat mengambil keputusan. Sedangkan Sultan mendapat panggilan "a man of deliberation" karena bijaksana.
Soeharto membuat program "stabilisasi dan rehabilitasi", yaitu program untuk mestabilkan ekonomi. Caranya, menekan laju inflasi dan merehabilitasi prasarana ekonomi yang rusak. Program ini memerlukan dana besar. Soeharto memutuskan mencari pinjaman ke luar negeri. Ia meminta Adam Malik membangun hubungan diplomatik dengan negara-negara yang sebelumnya bersitegang dengan Indonesia. Ia juga meminta Adam Malik mengupayakan Indonesia masuk anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Sultan mendapat tugas yang tidak kalah berat. Ia diminta melobi negara-negara donor, selain Uni Soviet dan negara Blok Timur, supaya bersedia memberikan pinjaman untuk Indonesia. Sultan juga diminta mendaftarkan kembali Indonesia sebagai anggota Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional atau IMF.
Meskipun menjabat Menteri Utama Bidang Ekonomi dan Keuangan, Sultan sebenarnya tidak memiliki latar belakang pendidikan ekonomi yang kuat. Ia dibantu tim yang solid. Para ekonom yang sebagian besar lulusan University of California di Berkeley mengelilinginya. Mereka antara lain Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Ali Wardhana, Mohammad Sadli, dan Soebroto. "Kami berlima diberi tugas oleh Ketua Presidium Kabinet Jenderal Soeharto membantu Pak Sultan," tulis Emil Salim dalam artikel "Raja-Rakyat" (2012). "Pak Sultan ingin hiperinflasi ditangani segera, sekaligus memulihkan hubungan ekonomi dengan negara-negara anggota Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional."
Mereka adalah anggota tim inti Sultan dalam merumuskan kebijakan ekonomi maupun membangun jaringan ekonomi internasional. Hasilnya, Indonesia kembali menjadi anggota Bank Dunia dan IMF pada September 1966. Selain ke Amerika, Sultan mengunjungi Jepang, Belanda, serta sejumlah negara Eropa. Kunjungan ke sejumlah negara itu cikal-bakal terbentuknya Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), lembaga koordinator pemberian pinjaman untuk Indonesia.
Langkah triumvirat itu bertolak belakang dengan sikap politik Sukarno. Di masa Orde Lama, sebagian negara yang dikunjungi Sultan itu adalah musuh Indonesia. Sukarno juga membawa Indonesia keluar dari keanggotaan PBB, Bank Dunia, dan IMF. Menurut dia, Indonesia harus berdiri di atas kaki sendiri, tidak bergantung pada PBB, yang dianggap sebagai "kaki tangan imperialisme". Sukarno menganggap Bank Dunia dan IMF merupakan "alat kapitalisme yang hanya akan mengisap kekayaan Indonesia".
Wajar bila Sukarno murka. Ia merasa telah ditelikung oleh Soeharto, yang dibantu Sultan dan Adam Malik. Ia mengecam triumvirat dan menyebut kebijakan mereka sebagai upaya yang hanya berdasarkan keinginan "isi perut". Namun Sukarno tidak bisa berbuat apa-apa. Pada 22 Februari 1967, ia menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada Soeharto.
Sejak itu Indonesia digerojok duit hasil pinjaman dari luar negeri. Perlahan perekonomian Indonesia kembali berdenyut, harga komoditas kembali normal, gejolak sosial dan politik juga reda. Namun ada harga yang mesti dibayar. Utang Indonesia ikut membengkak hampir tiga kali lipat dalam kurun sepuluh tahun. Pinjaman luar negeri yang semula US$ 2,6 miliar menjadi US$ 7,2 miliar pada 1977.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo