Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perseteruan Politik Dua Sultan
Hamengku Buwono IX menangkap Hamid II dengan tuduhan makar. Bersahabat semasa sekolah dasar, mereka bersimpang jalan politik.
Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX menerima informasi intelijen bahwa Batalion X pimpinan Kapten Raymond Pierre Westerling akan menyerbu sidang kabinet Pemerintahan Republik Indonesia Serikat. Rapat dijadwalkan di gedung kabinet-sekarang Gedung Pancasila, Jalan Pejambon, Jakarta Pusat-pada 24 Januari 1950 sore.
Perdana Menteri Mohammad Hatta sebagai pemimpin rapat, dihadiri semua menteri. Sultan menyatakan menerima informasi dari telik sandi bahwa Westerling berencana menghabisi dia, Sekretaris Jenderal Ali Budihardjo, dan Kepala Satuan Angkatan Perang Tahi Bonar Simatupang. Setelah itu, kata Sultan, pasukan Westerling akan memaksa Presiden Sukarno mengangkat menteri negara sonder portofolio dan menunjuk Sultan Hamid II sebagai Menteri Pertahanan menggantikan dirinya.
Sultan menyebutkan Hamid-lah dalang rencana upaya makar tersebut. "Agar orang tak menaruh curiga, Sultan Hamid akan ditembak ringan pada kakinya," kata Sultan. Ia menduga rencana kup itu berkaitan dengan pengangkatan dirinya sebagai Menteri Pertahanan pada 19 Desember 1949.
Dalam buku Sultan Hamengku Buwono IX: Riwayat dan Perjuangan tulisan Sutrisno Kutoyo, Sultan mengatakan ide penyerbuan muncul karena Belanda kecewa Hamid II tak diangkat jadi Menteri Pertahanan. Sebab, Belanda berkeinginan tentara dan bekas tentara KNIL menjadi pasukan inti Angkatan Perang RIS. Harapan itu tak terwujud setelah Sultan diangkat menjadi Menteri Pertahanan. "Dengan Angkatan Perang dikuasai bekas KNIL, pemerintah RIS masih dapat diatur Belanda," katanya.
Sutrisno membeberkan beberapa indikasi yang menguatkan kedekatan pemerintah Belanda dengan Hamid II. Raja Pontianak ketujuh ini pernah menjadi ajudan Ratu Belanda dengan pangkat Mayor Jenderal Tituler KNIL. Ketika Belanda membentuk negara-negara bagian, Hamid dipercaya menjabat Ketua Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO) atau Majelis Permusyawaratan Negara-Negara Federal. Hamid II pernah pula jadi juru lobi pemerintah Belanda untuk membujuk Sultan bersekutu dengan Belanda pada awal 1949.
Sejarawan Djoko Suryo mengatakan kedua Sultan ini berbeda haluan ketika sama-sama beranjak dewasa meski mereka bersahabat semasa sekolah dasar. Mereka satu kelas di Eerste Europeesche Lagere School B, setingkat sekolah dasar, di Yogyakarta. Keduanya kembali bersua ketika sama-sama kuliah di Negeri Kincir Angin. Sultan Hamengku Buwono IX mengambil jurusan indologi-gabungan bidang hukum dan ekonomi-di Rijksuniversiteit, Leiden. Sultan Hamid II menempuh pendidikan militer di Koninklijk Militaire Academie (KMA), Breda, 1933.
"Waktu di Negeri Belanda, Hamengku Buwono IX juga beda dengan Sultan Hamid. Dia tidak suka Belanda," tutur Djoko, pertengahan Juli lalu. Saat kembali ke tanah air, menurut Djoko, keduanya bersimpang sikap. Hamid memilih jadi orang kepercayaan Ratu Belanda, sedangkan Hamengku Buwono IX mengambil jarak dengan Belanda. Perbedaan mereka semakin terlihat ketika Indonesia berada di simpang jalan antara negara kesatuan dan federasi. Hamengku Buwono IX mendukung negara kesatuan dan Hamid II sebaliknya.
Maka tak keliru, menurut Sutrisno dalam bukunya, Hamengku Buwono IX sudah lama menduga bahwa Hamid II adalah pion Belanda. Tapi saat itu pemerintah RIS belum memiliki bukti kuat sampai akhirnya tercium rencana penyerangan ke sidang kabinet Hatta di Pejambon.
Meski waktu itu Hamengku Buwono IX mengetahui rencana ini, sidang kabinet tetap digelar. Hatta memulai rapat pukul 17.00. Semua menteri hadir kecuali Hamid II, yang datang terlambat, sejam setelah rapat dimulai. Rapat kali ini tak seperti biasanya, yang berlangsung sampai larut malam. "Sesuai dengan rencana kami, pada pukul 18.30 tiba-tiba sidang ditutup oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta," ujar Hamengku Buwono IX. Setelah rapat bubar, semua menteri meninggalkan tempat.
Malam itu juga, atas perintah Hamengku Buwono IX, pasukan RIS mengejar Westerling ke seluruh pelosok kota. Namun bekas pemimpin KNIL yang memimpin pembantaian 40 ribu orang di Sulawesi pada 1946 ini kabur ke Singapura.
Langkah berikutnya, Hamengku Buwono IX mempersiapkan rencana penangkapan Hamid. Mula-mula ia menyiapkan surat perintah penangkapan yang diteken langsung oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta serta Sekretaris Kabinet Abdul Karim Pringgodigdo. Penangkapan Hamid II memerlukan surat perintah presiden karena ia adalah menteri.
Pada dinihari esoknya, sekitar pukul 03.00, pasukan RIS menangkap Hamid II di tempatnya menginap, Hotel Des Indes-sekarang jadi pusat pertokoan Duta Merlin-di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Ada dua tuduhan yang dialamatkan kepada Hamid II. Selain rencana makar, ia ditengarai berada di balik penyerangan pasukan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) pimpinan Westerling terhadap pasukan Divisi Siliwangi, 23 Januari 1950.
Anshary Dimyati, dalam buku berjudul Sultan Hamid II: Sang Perancang Lambang Negara, memiliki pendapat berbeda. Dalam buku yang diterbitkan Yayasan Sultan Hamid II ini, Anshary mengatakan Hamid II tak terbukti terlibat penyerangan pasukan Siliwangi. Sedangkan tuduhan perencana penyerangan sidang kabinet Hatta, ia mengakuinya. Anshary mengatakan Hamid II memang merencanakan penyerangan dengan eksekutor Westerling, tapi ia pula yang membatalkannya. "Kemudian tak ada insiden dan effect apa pun yang terjadi," kata Anshary. Walau dibantah, Hamid II tetap dinyatakan terbukti bersalah merencanakan makar. Ia dihukum sepuluh tahun penjara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo