Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Audit BPK menemukan banyak masalah pada pengadaan alat tes antigen Covid-19 senilai Rp 1,46 triliun.
Pengadaan senilai Rp 314,97 miliar digelar tanpa mempertimbangkan ketersediaan barang di pusat dan daerah.
Pembengkakan anggaran bisa berujung kerugian keuangan negara.
JAKARTA – Seabrek pengadaan bermasalah memenuhi laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan terhadap kepatuhan pengadaan barang dan jasa di Kementerian Kesehatan 2020-2021. Bekerja sepanjang Oktober-Desember 2021, auditor negara menemukan pengadaan alat tes antigen yang tak sesuai dengan kontrak, barang hasil tender belum dimanfaatkan, kelebihan pembayaran, denda keterlambatan tak dikenakan, hingga pemborosan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemeriksaan BPK terhadap pengadaan Rapid Diagnostic Test Antigen (RDT-Ag) senilai Rp 1,46 triliun menarik perhatian. Alat deteksi cepat Covid-19 itu ditengarai serampangan diborong oleh Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, sejak Juni 2021.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan, Kunta Wibawa Dasa, belum dapat berkomentar banyak mengenai temuan BPK tersebut. “Itu kan temuan awal BPK. Kami diberi kesempatan untuk memperbaiki. Kalau tidak muncul lagi temuannya, berarti sudah selesai,” kata Kunta kepada Tempo, Kamis, 26 Mei 2022.
Kepada Kunta, Tempo menanyakan beberapa pengadaan yang tercatat di laporan audit BPK. Satu di antara sederet temuan auditor adalah adanya pemborosan senilai Rp 314,97 miliar pada pengadaan tahap V dan VI, sekitar Agustus 2021. Sebelum itu, Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan telah menggelar empat tahap pengadaan—yang juga sarat persoalan.
Pengadaan tahap V dan VI itu, merujuk ke laporan BPK, bermula dari kenaikan angka kasus Covid-19 periode Juni-Agustus 2021 yang mencapai 2,26 juta kasus, melebihi perkiraan awal tahun. Merespons kondisi tersebut, Sub-Direktorat Infeksi Emerging menghitung kebutuhan RDT-Ag periode September-Desember 2021. Hasil penghitungan menunjuk angka kebutuhan sebanyak 14 juta tes RDT-Ag.
Pengadaan RDT-Ag tahap V dan VI pun dimulai, masing-masing sebanyak 3,71 juta unit dan 2,66 juta unit alat tes. Sedikitnya empat perusahaan kebagian jatah sebagai pemasok, yakni PT ID, PT CMI, PT JMM, dan PT GIS. Keempatnya meneken kontrak pada 31 Agustus 2021.
Persoalan mulai muncul ketika hasil pemeriksaan stok RDT-Ag di daerah per 22 Agustus 2021 mencatat ketersediaan barang serupa sebanyak 9,83 juta unit. Angka ini belum termasuk stok di 29 kantor dinas kabupaten dan kota yang belum melapor. Laporan BPK juga mencatat, di pertengahan Agustus itu, Kementerian Kesehatan sebenarnya memperoleh hibah RDT-Ag dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Badan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) yang totalnya mencapai 2,13 juta unit.
Tak pelak, ketersediaan RDT-Ag periode September-Desember 2021 mencapai 18,33 juta unit, jauh dari angka hitungan kebutuhan yang hanya 14 juta unit. Kelebihan pasokan akibat pengadaan V dan VI inilah yang dipersoalkan BPK sebagai pemborosan. "Berdasarkan hasil konfirmasi kepada Subdit Infeksi Emerging, diketahui perhitungan perencanaan pengadaan tahap V dan VI tidak mempertimbangkan ketersediaan stok RDT Ag di daerah dan pusat," begitu bunyi laporan BPK.
Dalam laporannya, BPK menyebut pengadaan yang melebihi kebutuhan tersebut melanggar sejumlah ketentuan. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, misalnya, mewajibkan semua pihak yang terlibat dalam pengadaan harus menghindari dan mencegah pemborosan serta kebocoran keuangan negara.
Sejak Rabu, 24 Mei 2022, Tempo berupaya meminta penjelasan kepada Ketua BPK Isma Yatun mengenai temuan lembaganya. Namun Isma tidak menjawab panggilan ataupun membalas pesan singkat dari Tempo. Sejumlah anggota BPK yang dihubungi pun setali tiga uang.
Petugas kesehatan menuang reagen ke dalam tabung reaksi saat tes usap antigen di Dinas Kesehatan Kota Bandung, Jawa Barat, 26 September 2021. TEMPO/Prima mulia
Pelaksana tugas Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan, Endang Budi, juga belum bisa menanggapi temuan BPK. “Kami belum terima dokumennya, jadi belum bisa kasih komentar,” kata dia, kemarin.
Namun laporan BPK mencatat tanggapan pelaksana tugas Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan yang menyatakan sependapat dengan penjelasan soal pemborosan sebesar Rp 314,97 miliar karena perencanaan tidak memperhitungkan stok RDT-Ag. Laporan audit juga menyebutkan sejumlah langkah Direktorat, seperti menghitung sisa stok. Stok RDT-Ag di daerah, hasil pengadaan tahun lalu, akan digunakan pada 2022.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, menilai pemborosan pengadaan tersebut menunjukkan adanya masalah dalam perencanaan di Kementerian Kesehatan. “Tentu kita tidak bisa menerima alasan-alasan di balik itu, karena ini berkaitan dengan anggaran negara,” ujarnya.
Kurnia mendesak Kementerian Kesehatan menjelaskan kepada publik duduk persoalan pengadaan RDT-Ag pada 2021 yang sarat masalah. Tak hanya berimplikasi pada pembengkakan anggaran, pengadaan berlebih ini juga berpotensi menjadi kerugian negara jika barang yang dibeli tak terpakai.
IMAM HAMDI | MAYA AYU PUSPITASARI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo