Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Beras 'Bijak' ala Jember

14 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Ancaman kelangkaan beras akibat gagal panen membuat Achmad Subagyo terus memutar otak. Hasilnya tak sia-sia. Dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember, Jawa Timur, itu berhasil menemukan beras tiruan. Ia menamainya beras bijak—kependekan dari umbi, jagung, dan kacang koro (kekara).

Beras "aspal" berbentuk bulat lonjong mirip pelet (pakan ikan) itu, menurut penemunya, bisa menjadi pengganti beras asli. Bahkan beras bijak punya sejumlah kelebihan. Kandungan protein beras bijak mencapai 9-10 persen. Sedangkan protein beras giling hanya 6 persen. Dalam takaran 100 gram, unsur vitamin B1 beras bijak mencapai 0,12 miligram, sedangkan beras giling hanya 0,12 miligram. Kelebihan lainnya, serat kasar beras bijak pun lebih tinggi. "Jadi, beras bijak lebih baik untuk pencernaan," kata Achmad, lulusan The Osaka Prefecture University, Jepang.

Sebagian besar bahan beras bijak, 50-60 persen, adalah umbi-umbian. Sekitar 20-30 persennya berasal dari jagung. Sisanya dari kacang koro. Umbi-umbian merupakan sumber karbohirat, tapi tidak sebagus padi. Untuk melengkapinya, perlu tambahan jagung.Untuk tambahan protein nabati, perlu tambahan koro.

Hanya, pembuatan beras tiruan itu tidak mudah. Perlu alat khusus dan proses pengujian yang panjang, seperti uji fisik untuk warna dan ukuran butiran, uji kimia untuk analisis asam amino, uji sifat fungsional untuk derajat gelatinisasi, derajat rehidrasi, dan rasio pengembangan, serta uji sensorik untuk rasa, warna, dan aroma. Kendala lainnya menyangkut cita rasa. Rasa jagung dan koro beras tiruan Jember ini masih dominan. Karena itu, dalam tahap akhir penelitiannya, Achmad berusaha menciptakan aroma wangi yang bisa merangsang nafsu makan.

Lemak Antikegemukan

Sejumlah peneliti menemukan isyarat bahwa komponen lemak yang terbentuk secara alamiah bisa menghalangi rasa lapar. Penemuan awal ini diyakini bisa meretas jalan baru untuk membuat obat antikegemukan yang lebih aman.

Dalam studi yang hasilnya dipublikasikan oleh jurnal Nature itu, para ilmuwan dari University of California mengungkapkan asam lemak oleylethanolamide (OEA)—ditemukan secara alami dalam menu—yang terikat dengan sel bisa mengirim sinyal kepada tubuh untuk berhenti makan. "Dalam studi sebelumnya, kami menemukan bahwa OEA bisa menjadi pengatur penting perilaku makan. Tapi kami belum tahu bagaimana cara kerjanya," ujar Danielle Piomelli, profesor, psikiater, dan farmakolog dari Fakultas Kedokteran University of California.

Para peneliti itu memberikan makanan berkadar lemak tinggi kepada dua kelompok tikus. Satu kelompok merupakan tikus normal. Kelompok kedua adalah tikus percobaan yang sel reseptornya yang bisa berinteraksi dengan OEA telah dibuang secara genetis. Setelah diberi lemak, tikus-tikus itu mendapat perlakuan diet OEA selama empat minggu.

Tikus normal makan lebih sedikit dan kehilangan berat badan setelah mendapat perlakuan itu. Sebaliknya, perlakuan itu tidak berpengaruh terhadap tikus yang sel reseptornya telah dibuang. Ini mengindikasikan bahwa sel reseptor memainkan peran kunci dalam mengirim sinyal kepada tubuh untuk berhenti makan.

Pada tikus normal, OEA juga menurunkan kadar kolesterol dengan mengurangi molekul asam oksida penyebab rasa lapar. "Ini menunjukkan sel reseptor itu tidak hanya penting untuk pengekangan rasa lapar dan pengurangan berat badan yang diperankan OEA, tapi juga menyumbang keseluruhan stabilitas dan pemeliharaan sistem makan kita," ujar Piomelli.

Bahan Rumah dari Sampah

Sampah tak selamanya jadi limbah. Sampah bisa saja jadi barang berfaedah. Para pengajar Fakultas Teknik Universitas Tunas Pembangunan (UTP), Surakarta, Jawa Tengah, mencoba memanfaatkan sampah untuk bahan bangunan pengganti batu bata. Selain bisa menghasilkan produk berharga murah, cara ini bisa mengurangi volume sampah yang terbuang percuma.

Djoko Pratikto, staf pengajar UTP yang ikut proyek pengembangan "bata sampah", menerangkan bahwa biaya bisa ditekan hampir 50 persen. Harga bata sampah dengan panjang 22 sentimeter, lebar 11 sentimeter, dan tinggi 5 sentimeter hanya Rp 104. Padahal, dengan ukuran yang sama, harga batu bata biasa bisa mencapai Rp 200.

Pembuatan bata sampah pun tidak terlalu rumit. Bahannya bisa dari berbagai jenis sampah rumah tangga. Setelah dipilah, sampah dibakar dan dihaluskan. Abu sampah dicampur berangkal, semen, dan diaduk dengan air. Adonan itu kemudian dicetak, dilapisi plastik, dan diolesi solar. Selanjutnya, bahan direndam di dalam air selama tiga hari dan dikeringkan. "Daya tahannya sudah diuji di laboratorium. Hasilnya sangat kuat," ujar Djoko. Rencananya, mulai September ini, pihak universitas akan menguji coba teknologi bata sampah itu di beberapa desa di Klaten.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum