HEWAN-HEWAN membikin malu tuannya. Soalnya, awal 1981 Menteri
Pertanian telah menyatakan mereka yang tinggal di Bali dan Jawa
Timur sudah bebas dari penyakit mulut dan kuku. Penyakit yang
sangat mereka takuti. Malahan pada 1984 mendatang
saudara-saudara mereka di seluruh Indonesia akan dinyatakan
bebas pula. Food and Agriculture Organization, organisasi yang
mengurusl pangan dan pertaman dunia, juga sudah diberitanu
tentang kabar keselamatan dan rencana yang menggembirakan itu.
Tapi ternyata penyakit tiba-tiba muncul dan menyerang sapi-sapi
di Blora, Jawa Tengah. Hingga akhir Agustus korban terus
berjatuhan.
Penyakit itu ditemukan Juli lalu oleh tim peneliti Direktorat
Jenderal Peternakan yang dipimpin Dokter Hewan Anwar Saleh.
Penyakit mulut dan kuku ini begitu cepat mewabah, sehingga sapi
yang kena diperhitungkan mencapai 4.000 ekor yang menghuni
daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Vaksin penyakit terpaksa dibongkar kembali. Vaksinasi ulang
harus dilaksanakan. Vetma Surabaya, satu-satunya pembuat vaksin
Aphue Epizootica mengeluarkan 170.000 dosis vaksin untuk
dipergunakan di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Jakarta.
Semula vaksin buatan Vetma ini akan disimpan sebagai stok untuk
negara-negara ASEAN atas permintaan FAO. Karena diperhitungkan
Indonesia sudah akan bebas dari penyakit tersebut. Tetapi
nyatanya sekarang vaksin yang berada dalam stok malahan kurang.
Vetma masih harus membuat 300.000 dosis lagi, yang menurut
Mahyuddin, pimpinan perusahaan itu, "baru bisa diselesaikan
dalam dua bulan."
Persoalan lain muncul pula: apakah ratusan ribu sapi bisa
dijamah vaksin sebelum penyakit tambah menyebar. Tenaga medis
yang hanya mampu menyuntiki 300 ekor per hari, harus berlomba
dengan virus penyakit yang seharinya bisa mencekik 1.000 ekor
sapi. Satu-satunya jalan pintas, seperti diucapkan kepala dinas
peternakan Jawa Timur Silitonga "begitu melihat sapi sakit,
segera laporkan."
Sesungguhnya penyakit itu muncul kembali sejak Juni. Pertengahan
bulan itu, Camat Kedungtuban melaporkan kepada Bupati Blora
tentang delapan ekor sapi yang terserang penyakit di Desa Bajo
dan Ngaldean. "Kami dipanggil Pak Bupati. Kami mendapat marah
besar," cerita Tarmudji, camat itu. Kemarahan bupati tentu
beralasan, karena ia tak mau pemerintah pusat menganggap
daerahnya sebagai sumber penyakit.
Menurut kabar, penyakit itu datang dari Bojonegoro, Jawa Timur.
Ceritanya, seorang penduduk Desa Bajo bernama Djayus, membeli
seekor sapi dari Bojonegoro. Lima hari kemudian seluruh sapi
petani ini pincang. Kemudian menyusul tanda-tanda biasa dari
serangan penyakit, berupa air liur berbuih. Mulut melepuh.
Begitu pula lidah dan gusinya. Kalau sudah begitu, ternak tadi
tak doyan makan. Dari rumah Djayus penyakit mulut dan kuku itu
menjangkit ke seluruh desa dan menyerang 1.500 ekor ternak.
Rupa-rupa cara petani memerangi penyakit tadi. "Saya olesi kecap
di tempat yang luka. Jarak seminggu sudah sembuh," ujar Daman,
pemilik tiga ekor sapi. Ada yang mencampur kecap dengan kapur.
Ada pula yang hanya mengoleskan oli bekas. Semuanya mengaku obat
seadanya itu menyembuhkan.
Tetapi pemerintah yang menganggap serangan terhadap kuku dan
mulut itu harus ditanggulangi tuntas, segera mengirimkan tim
yang terdiri dari 70 orang ke Blora. Tim bekerja 24 jam dan
berpangkalan, antara lain di Hotel Cepu Indah di Kota Cepu. Sapi
dan kerbau di daerah itu yang harus divaksinasi berjumlah
140.000 ekor.
Untuk menjaga jangan sampai wabah menyeberang ke daerah lain,
daerah lalu lintas ternak diawasi ketat. Pasar hewan di Blora
dinyatakan ditutup sampai waktu yang belum diketahui. Di
perbatasan dengan Bojonegoro dijajarkan pula karung goni basah.
Belum terdengar sapi maupun kerbau yang tewas karena penyakit
ini. Penyakit mulut dan kuku ini bisa juga menyerang manusia dan
membuat korbannya menggigil dengan suhu badan meningkat tinggi.
(Lihat juga box Di Paniai Lewat Babi). Untunglah belum ada orang
yang kena penyakit binatang ini.
Petugas peternakan setempat menganjurkan agar hewan yang sakit
segera di bunuh. Kalau mau memakan dagingnya boleh saja. Asal
dilayukan dulu di tempat pemotongan selama 24 jam. Karena, kalau
daging itu sudah asam, virus penyakit akan mati. "Tetapi jeroan,
kaki, dan kepala harus dimusnahkan," kata kepala dinas
peternakan Jawa Tengah, Kusmono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini