Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Penghuni Baru Balai Kota

Di luar prediksi sejumlah lembaga survei, Anies Baswedan-Sandiaga Uno unggul telak atas pasangan inkumben, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat. Kejadian dan manuver di masa tenang mengubah peta suara. Ada yang menangguk untung dari isu rasial dan agama, ada yang terpuruk gara-gara guyuran bahan kebutuhan pokok dan kabar konflik pemuda Tionghoa dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat di Singapura.

24 April 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karena Agama Lebih Utama
Agama dan blunder sembako tim lawan membuat Anies-Sandi terpilih menjadi Gubernur Jakarta. Menghidupkan kartu Prabowo dalam pemilihan presiden.

SEPEKAN sebelum pemilihan Gubernur Jakarta putaran kedua pada Rabu pekan lalu, Husein Yazid baru selesai merampungkan survei terakhir elektabilitas para kandidat pada 1-8 April 2017. Direktur Indomatrik-H2Y itu disewa Partai Gerindra untuk memantau data keterpilihan calon gubernur Anies Baswedan-Sandiaga Uno sejak masa kampanye yang dimulai tahun lalu.

Survei dengan 1.250 responden itu agak mencemaskan Husein. Anies masih unggul tapi hanya selisih 3,05 persen dari keterpilihan lawannya, pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat--atau sama dengan tingkat kesalahan survei itu. "Ini modal besar untuk menang, tapi bisa disalip jika ada kecurangan," katanya pekan lalu.

Hari itu juga ia pun buru-buru mengajak Muhammad Taufik, politikus Gerindra Jakarta yang menjabat Wakil Ketua Tim Pemenangan Anies-Sandi, membahas angka itu di markas tim sukses di Jalan Cicurug, Menteng, Jakarta Pusat. Husein melaporkan setidaknya ada tiga bolong yang bisa dipakai tim lawan merebut suara dengan memanipulasi data pemilih.

Menurut Husein, surat keterangan pengganti kartu tanda penduduk bisa dipakai untuk memobilisasi massa dari luar Jakarta masuk Ibu Kota untuk ikut mencoblos. Celah lain adalah gempuran politik uang kepada pemilik suara yang belum menentukan pilihan atau kepada mereka yang memilih Agus Yudhoyono di putaran pertama.

Mendengar pemaparan itu, Taufik meminta 300 koordinator menyisir pemilih di posko masing-masing dan menunggui setiap tempat pemungutan suara dua hari sebelum pencoblosan. "Saya minta mereka ronda 24 jam," katanya.

Esoknya, Taufik mengundang wartawan ke Cicurug dan mengumumkan temuan 15 ribu data ganda daftar pemilih di seluruh Jakarta. Pengumuman itu lumayan manjur. Komisi Pemberantasan Korupsi mengundang Taufik dan timnya memaparkan temuan itu. "Ini namanya teknik menggonggong untuk mengunci KPU membenahi data mereka," ujarnya.

Kepada KPU, Taufik menjelaskan bahwa timnya menemukan KTP elektronik dengan format yang keliru sehingga pemiliknya akan diberi surat keterangan sebagai syarat memilih akibat blangko KTP habis. Setelah dia mengumumkan temuan, Badan Pengawas Pemilu Jakarta juga menemukan nama-nama ganda dalam daftar pemilih tetap. Klop. Taufik semakin percaya diri dengan temuannya.

Setiap hari ia menggoreng isu itu di media. Menurut Taufik, jika data ganda itu dipakai tim lawan, Anies-Sandi akan kehilangan 2-3 persen suara. Apalagi, kata dia, jika keliru data itu diikuti dengan politik uang. Wartawan terpancing dan memverifikasi isu tersebut kepada KPU dan Bawaslu serta mengecek ke lapangan.

Pucuk dicita ulam pun tiba. Dari pelbagai penjuru Jakarta, wartawan mendapat kabar ada pembagian bahan kebutuhan pokok oleh tim Basuki-Djarot. Taufik segera membuat pernyataan pers bahwa timnya juga mengantongi bukti politik uang tim lawan. Ia melaporkan temuan itu kepada Badan Pengawas Pemilu dan mengajak wartawan ke lokasi tempat penimbunan sembako.

Beberapa paket sembako yang diklaim ditemukan mereka dijejali kemeja kotak-kotak--seragam kampanye tim Basuki--dan buku profil Ahok. Elite-elite Partai Gerindra berlomba membuat pernyataan pers mengecam politik uang tim Basuki itu. "Kami manfaatkan momentum karena kelas menengah Jakarta tak suka dengan cara-cara seperti itu," tuturnya.

Berbagai temuan itu, kata Taufik, lalu dilaporkan ke Prabowo Subianto, Ketua Umum Gerindra. Kepada Prabowo, Taufik mengatakan bahwa Anies-Sandi akan menang jika tak ada kecurangan yang masif. Setelah menerima laporan itu, Prabowo berbicara kepada pers: "Hanya kecurangan besar yang bisa mengalahkan Anies-Sandi," ujarnya.

Cara itu lumayan efektif. Perbincangan publik di media massa dan media sosial segera menggelinding tentang bagi-bagi sembako yang segera dialamatkan kepada tim Basuki-Djarot. Bawaslu memberi pernyataan bahwa bagi sembako oleh tim Basuki mengarah ke politik uang. Juru bicara tim Basuki, Raja Juli Antoni, dan Sekretaris Tim Pemenang Ace Hasan Syadzily cepat-cepat menangkisnya. "Pembagian sembako di luar tanggung jawab kami," kata Ace.

Sempat pula ada serangan balik dengan peredaran video Anies Baswedan terlihat membagikan sembako yang disebarkan pendukung Basuki. Tim sukses Anies buru-buru merespons dan menjawab bahwa video tersebut terjadi tahun lalu dan bukan politik uang, melainkan pasar murah.

Hasilnya, perolehan suara untuk Anies-Sandi melonjak. Sementara di putaran pertama hanya unggul di Jakarta Selatan dan Timur, pada putaran kedua Anies memenangi semua wilayah di Ibu Kota. Selisih angkanya, menurut penghitungan suara riil oleh KPU, lumayan besar: 57,95 persen untuk Anies dan hanya 42,05 persen untuk Basuki dari 5,6 juta pemilih Jakarta.

Menurut survei Indomatrik, ada 25 persen pemilik suara yang mencoblos Anies-Sandi karena menganggap pembagian sembako oleh tim Basuki-Djarot tak terpuji. Dalam survei exit poll pada hari pemilihan setelah mencoblos itu, alasan sembako ini menjadi alasan kedua terbesar para pemilih Anies. "Benar-benar blunder politik yang membuat pemilih tak suka Basuki-Djarot," kata Husein.

Alasan utama para pemilih Anies adalah kesamaan agama. Jumlahnya mencapai 60 persen. Tempo mewawancarai sepuluh pemilih di empat TPS di Jakarta Selatan dan Timur. Sebagian besar mengatakan memilih Anies karena kesamaan agama. "Memilih pemimpin muslim itu wajib hukumnya," kata Eddy Wardana, pensiunan tentara, di Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Di TPS Eddy, Anies membukukan 60 persen suara. Padahal, di putaran pertama, suara pemilih Agus lumayan banyak. Sebagian besar memilih Anies-Sandi di putaran kedua. Umumnya mereka beralasan sama seperti Eddy, karena Anies beragama Islam sementara Basuki seorang Kristen.

Anies memang menjadikan kelompok Islam sebagai basis pemilihnya sejak awal. Anies dan Sandi intensif menemui ke tokoh-tokoh Islam. Direktur Eksekutif PolMark Research Center Eep Saefulloh Fatah, yang menjadi penasihat politik Anies, mengakui pasangan ini membidik kelompok Islam. Soalnya, dalam survei Polmark, pemilih muslim tak ingin Basuki jadi gubernur kembali.

Anies tidak membantah mendekati pemilih Islam. Tapi ia tidak setuju kemenangannya karena faktor agama semata. "Banyak faktor yang menentukan," ujarnya. Eep menambahkan, berdasarkan survei exit poll PolMark, pemilih Anies-Sandi yang mendasarkan pilihan karena kesamaan agama hanya 18,5 persen, meski 67,6 persen setuju dengan gubernur muslim.

Soal limpahan suara pemilih Agus yang mementingkan agama itu sudah terekam dalam survei Indomatrik pada 13-15 April 2017. Menurut Husein, ada 11 persen dari 17 persen pemilih Agus beralih ke Anies-Sandi di putaran kedua. Karena itu, dalam survei tersebut Anies mendapat 49,3 persen, 10 persen lebih banyak dari pemilih Basuki.

Di tempat-tempat pemungutan suara para pemilih mengkonfirmasi survei itu. Di TPS 06 RT 3/3, Jalan Cibeber I, Rawa Barat, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Anies-Sandi mendapatkan penambahan 56 suara pemilih Agus pada putaran pertama. Yang memilih Basuki hanya 24 suara.

Di TPS 46 Sukabumi Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, partisipasi pemilih naik 10 persen. Anies menyapu 100 suara tambahan, sementara suara untuk Basuki-Djarot tak berubah seperti putaran pertama.

Menurut Eep, peralihan elite partai juga tak menggoyahkan pemilih di bilik suara. Para pemilih Partai Kebangkitan Bangsa yang awalnya memilih Agus sebanyak 5,3 persen mendukung Anies dan hanya 1,7 persen memilih Basuki. Padahal, pada putaran kedua, PKB menyatakan mendukung Basuki. "Ada yang memilih karena suka pada program kandidat, tapi lebih banyak karena kesamaan agama," kata Nona Evita, Manajer Riset Populi Center.

l l l

MEMEGANG payung hitam, Anies Baswedan setengah berlari menembus halaman kantor Partai Gerindra di Ragunan, Jakarta Selatan, dalam siraman hujan lebat pada Rabu siang pekan lalu. Hitung cepat semua lembaga survei hampir rampung dan menempatkannya sebagai pemenang pemilihan gubernur.

Para pendukungnya melambai dan berteriak kepadanya. Tiba di ruang serbaguna, tim suksesnya menyambut dengan gegap-gempita. "Anies gubernur, Prabowo presiden," teriak mereka. Anies membalasnya dengan senyum.

Di atas panggung sudah menanti para petinggi Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera yang mendukungnya. Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia Hary Tanoesoedibjo dan pengusaha Aksa Mahmud tampak di deretan penyambut di atas panggung. Sandiaga Uno tiba lebih dulu.

Saat berpidato, Prabowo kian menegaskan bahwa mereka mendapat keuntungan karena isu agama mewarnai kampanye pilkada. Secara khusus ia berterima kasih kepada Rizieq Syihab, pemimpin Front Pembela Islam, yang tiga kali menggelar demo besar menuntut Basuki dihukum karena menistakan agama dalam pidato di Kepulauan Seribu pada September tahun lalu. "Tidak boleh kita lupakan, mereka tegas memberi dukungan," ujarnya disambut pekik takbir "Allahu Akbar" para pendukungnya.

Prabowo tampak begitu sumringah. Ia beberapa kali tergelak. Di akhir pidatonya, pendiri Partai Gerindra ini berseloroh. "Saya juga mau mengucapkan terima kasih kepada mereka yang menyumbang sembako," katanya. "Jangan bosan-bosan dan pembagiannya jangan hanya saat pilkada."

Taufik tak menyia-nyiakan euforia itu. Seusai perayaan kemenangan di markas Gerindra itu, ia meluncur ke rumah Prabowo. Ia mengatakan Prabowo berpeluang besar menjadi presiden dalam pemilihan 2019. "Saya bilang jalan terbuka lebar," ujarnya. "Beliau hanya mesem."

Anton Aprianto, Erwan Hermawan


Alasan utama para pemilih Anies adalah kesamaan agama. Jumlahnya mencapai 60 persen. Tempo mewawancarai sepuluh pemilih di empat TPS di Jakarta Selatan dan Timur. Sebagian besar mengatakan memilih Anies karena kesamaan agama. "Memilih pemimpin muslim itu wajib hukumnya," kata Eddy Wardana, pensiunan tentara, di Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus