Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentang referendum di Turki yang berlangsung pada Ahad awal bulan ini, banyak hal yang bisa dikatakan. Di Turki sendiri, pemungutan suara yang disodorkan Presiden Recep Tayyip Erdogan untuk mengubah sistem parlementer jadi presidensial itu cepat menjelma menjadi masalah demokrasi lawan kecenderungan otoritarianisme.
Para pendukung demokrasi di kota-kota besar seperti Ankara, Istanbul, dan Izmir memilih ¡±hayir" atau "tidak". Sedangkan mereka yang memberikan wewenang nyaris tak terbatas kepada presiden banyak berasal dari daerah perdesaan, seperti Anatolia.
Dengan selisih perolehan suara di antara keduanya yang sangat tipis--cuma 1,53 persen--Turki terbelah dua, dan konflik horizontal di antara pendukung "hayir" dan "evet" (menerima) seperti bisul yang menunggu pecah. Sejauh ini kalangan oposisi telah memprotes dan melaporkan kecurangan yang berlangsung di tempat-tempat pemilihan suara.
Dalam pidatonya setelah hitung cepat suara yang masuk, Presiden Erdogan memang berusaha mendinginkan suasana politik yang telanjur panas. Namun protes dan pesta kemenangan di jalan-jalan sewaktu-waktu dapat menjelma menjadi kekerasan yang bakal menimbulkan luka dan amarah panjang.
Referendum Turki bukan cuma cerita di sebuah negeri yang terletak di antara Laut Hitam, Laut Aegea, Yunani, dan Suriah itu. Di Eropa, komunitas Turki tidak semata-mata memandang persoalan referendum sebagai pertarungan demokrasi lawan `ritarianisme, atau sekuler lawan Islam. Mereka yang hidup beranak-pinak, mencari nafkah dan ilmu di Belanda, Jerman, Prancis, Belgia, dan lain-lain, menyandang kewarganegaraan Turki seraya mengidentikkan diri sebagai orang Turki ketimbang Eropa. Menurut perkembangan terakhir--ini yang terpenting--sumbangan mereka terhadap kemenangan "evet" cukup besar.
Di Belanda, menurut pemberitaan media pemerintah Turki, Anadolu, 70,94 persen orang Turki memilih "ya" dan 29 persen menolak. Dukungan lebih besar terhadap Erdogan muncul di antara masyarakat Turki di Austria (73,23 persen), Belgia (64,98 persen), dan Prancis (64,85 persen).
Volkskrant, sebuah lembaga penelitian, menyimpulkan generasi muda keturunan Turki di Belanda cenderung memilih untuk Erdogan. "Kaki mereka berpijak di Belanda, tapi kepala mereka di Turki," kata antropolog Belanda, Ibrahim Yerden. Mengalami diskriminasi dan pengucilan, anak-anak muda berdarah Turki itu tetap bertahan di kota-kota Belanda sebagai mahasiswa atau profesional.
Tak seperti para imigran dari negara-negara Afrika, Arab, India, atau Pakistan di Inggris dan Prancis yang kerap kehilangan identitas diri di antara derasnya pengaruh di sekeliling, orang-orang Turki yang bermukim di Eropa tetap memelihara jati diri sebagai orang Turki. Ini terjadi karena pemerintah Turki di Ankara senantiasa mempertahankan hubungan dengan mereka dengan membiayai pusat-pusat kebudayaan Turki di negara-negara itu, mengirim imam masjid dan ulama Turki, terkadang memberikan beasiswa kepada masyarakat Turki di perantauan. Di Jerman, tempat bermukimnya 3 juta orang Turki, terdapat 900 perkumpulan orang Turki.
Ramazan Güveli berniat memberikan suara pada saat referendum Turki dimulai sejak akhir Maret lalu. Niat ini akhirnya tak terlaksana hingga jadwal pemberian suara berakhir pada 9 April lalu.
"Menjelang pemilihan, kantor konsulat dikelilingi bodyguard berjas hitam ala mafia yang jelas bukan polisi keamanan Brussels. Setelah itu, terjadi keributan yang entah dimulai oleh siapa. Hanya dalam hitungan menit, tiba-tiba empat orang kena tikam," kata Güveli.
Akhirnya, ia dan istrinya memutuskan untuk tidak memberikan suara di Konsulat Turki, yang terletak di Rue Montoyer, pusat perkantoran di Brussels, Belgia. Selain karena alasan keamanan, dia tidak percaya pada kemandirian panitia pemilu. Güveli, warga Turki yang sudah bermukim di Brussels selama lima tahun, yang menjabat direktur organisasi Intercultural Dialogue Platform, menuturkan bahwa ia mencatat banyak hal janggal terjadi menjelang dan selama pemilihan berlangsung.
"Pada menit terakhir, panitia mengumumkan bahwa surat suara yang tidak ada stempel sah akan tetap masuk hitungan," kata Güveli. Padahal, menurut aturan awalnya, semua surat suara yang masuk baru akan dianggap sah jika ada cap resmi, yang artinya si pemilih dan surat suaranya sudah melalui prosedur verifikasi, termasuk status kewarganegaraan yang bersangkutan.
"Hasilnya seperti sudah diumumkan bahwa lebih dari 60 persen memilih 'yes' untuk referendum, dengan 2,5 juta surat suara tak bercap," kata Güveli, yang mengikuti setiap detik perkembangan proses pemilihan, baik di Turki maupun di luar negeri. Dan ia tidak terlalu kaget dengan hasil akhir pemilihan di Belgia yang menurut data menunjukkan 75 persen memilih "ya" untuk Erdogan.
"AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan yang berkuasa) aktif menganjurkan warga Turki di Belgia untuk memilih. Mereka menyediakan bus dan menjemput orang-orang tersebut di titik-titik komunitas warga Turki," kata Güveli, yang mengaku banyak keluarganya di Turki juga ikut setuju memilih referendum. "Semuanya dibiayai pemerintah," ujar Güveli.
Selain itu, menurut dia, profil pemilih di Brussels berbeda dengan profil pemilih di London, misalnya. Warga Turki di Brussels kebanyakan berasal dari Turki pusat, sentral kekuatan AKP. "Karena itu, tidak mengejutkan kalau warga Turki di Belgia banyak memilih mendukung referendum," tutur Güveli.
Banjir air mata dan isak tangis mewarnai public viewing restoran, kneipe, dan kafe di kawasan permukiman Turki di Kreuzberg, Berlin, Jerman, Minggu malam lalu. "Evet" yang dikampanyekan Presiden Recep Tayyip Erdogan untuk mendukung referendum mengenai perubahan konstitusi sejak Januari itu beroleh suara mayoritas.
"Inilah akhir demokrasi di Turki. Turki akan menjadi negara diktator; tidak ada lagi demokrasi di sana," kata Sabiya, 32 tahun, anggota partai oposisi, Partai Rakyat Demokratik atau HDP, dengan mata sembap kepada Tempo. "Saya tidak berani merancang masa depan lagi di Turki," ujar Sureya, 24 tahun, mahasiswi Filsafat Universitas Humbolt, Berlin, sambil terisak. Tadinya Sureya, yang lahir di Jerman, bercita-cita bekerja di Turki selulus kuliah nanti. Sekarang rencana itu padam.
Partai oposisi HDP dan Partai Rakyat Republikan atau CHP mencium adanya kecurangan di balik kemenangan Erdogan. Disinyalir penipuan suara berkisar 2-3 persen. Bukti-buktinya masih dalam penyelidikan Organisasi Keamanan dan Kerja Sama Eropa (OSCE) urusan pemilihan umum.
Para pengamat OSCE yang bekerja sejak 17 Maret menemukan banyak keanehan. Misalnya banyaknya polisi yang berjaga di seputar lokasi pemilihan, yang streng memeriksa identitas. "Ini mempengaruhi kenyamanan suasana dalam pemilihan," kata Ketua Komisi OSCE Tana de Zulueta kepada wartawan. Belum lagi tekanan yang implisit dilakukan Erdogan dan para pendukungnya untuk memenangkan "hayir". Hasil penyelidikan OSCE akan diumumkan dalam delapan minggu ini.
Namun Kanselir Angela Merkel dan wakilnya, Sigmar Gabriel, tetap menghargai kemenangan kubu "ya", jika memang itu yang diinginkan rakyat Turki. Hanya, jika Turki benar-benar memberlakukan hukuman mati seperti diucapkan Erdogan dalam pidato kemenangannya, "Keinginannya menjadi anggota Uni Eropa tertutup, karena itu bertentangan dengan konstitusi Uni Eropa," kata politikus Volker Beck kepada Tempo.
Konsekuensi lainnya adalah penghentian rencana bantuan finansial miliaran euro untuk menanggulangi pengungsi. Juga penghentian pengiriman senjata Uni Eropa ke Turki sebagai anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO. Konsekuensi itu juga bakal berdampak pada sektor investasi dan perdagangan. "Bagaimana negara demokrasi Jerman bernegosiasi dengan negara yang tidak demokrat, tidak akan ketemu solusinya," ujar Gabriel.
Erdogan tampaknya tak peduli terhadap konsekuensi itu. "Kita sudah menunggu 54 tahun untuk masuk ke Uni Eropa, tapi terus ditolak. Sekarang saya tegaskan, Turki juga bisa besar dan berjaya tanpa Uni Eropa. Bahkan tanpa Amerika Serikat. Jerman tidak ada apa-apanya buat Turki. Hubungan dengan Eropa malah berbahaya buat Turki," katanya di depan rakyat yang mengelu-elukannya, seperti ditayangkan stasiun televisi milik pemerintah, Arti.
Idrus F. Shahab, Asmayani Kusrini (Brussels), dan Sri Pudyastuti Baumeister (Berlin)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo