Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Joko Widodo menunjuk Penny Kusumastuti Lukito sebagai Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada Rabu dua pekan lalu, di tengah mencuatnya kasus vaksin palsu. Penny mengatakan Presiden berpesan kepadanya untuk memperkuat kewenangan BPOM. "Beliau menugasi saya untuk betul-betul mengawal sampai Badan POM memiliki legal basis," kata Penny.
Penny mengungkapkan, dalam melaksanakan tugas pengawasan, selama ini BPOM hanya dibekali dengan keputusan presiden. "Kami memerlukan sekali undang-undang karena pelaksanaan tugas pengawasan obat dan makanan bersifat strategis," ujarnya.
Sehari setelah pelantikan, peraih gelar doktor bidang teknik lingkungan serta urban and regional planning dari Universitas Wisconsin-Madison, Amerika Serikat, ini menerima wartawan Tempo Abdul Manan, Martha Warta Silaban, Mitra Tarigan, dan fotografer M. Iqbal Ichsan untuk sebuah wawancara khusus di ruang kerjanya di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat, Kamis sore dua pekan lalu.
Dalam wawancara yang berlangsung sekitar satu jam itu, Penny menjelaskan sejumlah hal, dari tumpang-tindih kewenangan lembaganya dengan Kementerian Kesehatan, prioritasnya selama memimpin BPOM, hingga kasus vaksin palsu. "Kasus ini menjadi salah satu bukti bahwa Badan POM harus diberi kewenangan yang kuat. Presiden melihat kewenangan Badan POM ini prioritas," kata Penny, yang sore itu mengenakan atasan batik bercorak dominan warna kuning kunyit dipadu dengan rok hitam.
Selama wawancara, Penny didampingi anggota staf khusus Kepala BPOM, Budi Djanu Purwanto, yang membantunya menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan undang-undang dan hukum.
Apakah Anda ditunjuk sebagai Kepala BPOM pada saat yang tepat?
Kebetulan saja. Cuma, di balik kebetulan itu, membuka pemahaman banyak pihak terkait dengan tugas pokok dan fungsi Badan POM, yang operasionalnya banyak hambatan dan kendala untuk melaksanakan kewenangannya, karena kami masih tidak mempunyai legal basis. Legal basis kami cuma Keputusan Presiden tentang Lembaga Pemerintahan Non-Departemen. Kami belum memiliki undang-undang khusus. Jadi kami memerlukan sekali undang-undang karena pelaksanaan tugas pengawasan obat dan makanan bersifat strategis nasional.
Anda terkejut karena Presiden menunjuk Anda ketika vaksin palsu mencuat?
Saya merasa berterima kasih dipercaya. Surprise sih tidak ada. Saya selalu siap menerima penugasan. Saya sudah bertugas ke mana-mana selama 25 tahun di Bappenas. Saya siap mengemban tanggung jawab yang lebih besar. Tentu ada prosesnya, ada seleksinya segala. Dalam proses seleksi yang cukup lama itulah muncul kasus ini (vaksin palsu). Jadi Presiden melihat ternyata ada permasalahan, yang tidak bersifat substantif, tapi ada di tingkat manajerial. Untuk itu dibutuhkan seseorang yang mungkin bisa melihat dengan luas, karena orang-orang yang berkompeten sudah ada di sini (BPOM). Mungkin orang dari luar bisa melihat persoalan dengan lebih besar. Dan itu dibuktikan dengan adanya vaksin palsu ini, yang isunya terus dibicarakan dan akhirnya orang menyadari masih ada kelemahan dalam pengawasan. Jadi, masih perlu diperkuat. Ada tumpang-tindih dalam sistem pengawasan.
Kapan Anda dikabari ditunjuk sebagai Kepala BPOM?
Kira-kira tiga hari sebelum pelantikan. Kemudian saya dipanggil Bapak Presiden dan diberi tugas khusus. Saya dipercaya melakukan penguatan aspek legalitas Badan POM. Presiden cukup paham dan mengerti dialog yang terjadi dengan Kementerian Kesehatan.
Ada pesan khusus dari Presiden?
Pesan khususnya untuk memperkuat, membenahi sesuai dengan reformasi birokrasi. Terutama di instansi-instansi yang ada pelayanan publik dan bersifat strategis nasional seperti Badan POM, yang mengawasi obat dan makanan. Kalau kasus pidana, kami serahkan ke kepolisian. Tapi kami sebaiknya juga bisa diberi kewenangan untuk melakukan sanksi administrasi.
Presiden menyebut khusus soal vaksin palsu?
Iya. Vaksin ini menyangkut hal yang sensitif karena orang tua menyerahkan kepercayaan kepada pelayan kesehatan. Kasus ini menjadi salah satu bukti bahwa Badan POM harus diberikan kewenangan yang kuat. Presiden melihat kewenangan Badan POM ini prioritas. Beliau betul-betul mendukung dan menugasi saya mengawal sampai ada legal basis. Badan POM diperkuat dengan Undang-Undang tentang Pengawas Obat dan Makanan, tentunya dengan dukungan DPR.
Penguatan spesifiknya seperti apa?
Yang spesifik akan kami bahas. Yang penting, kami akan mendetailkan, mengurai bahwa memang ada tumpang-tindih dengan Kementerian Kesehatan. Kami mengadakan rapat dengan Sekretariat Kabinet dan Kementerian Kesehatan. Setkab saat itu sangat setuju dengan instruksi pimpinan negara. Jadi instruksi itu menjadi komitmen Setkab juga.
Anda sempat berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan?
Iya, terutama dengan Menteri Kesehatan. Karena semua regulasi kami masih dari Kementerian Kesehatan dan Undang-Undang Kesehatan.
Dari pertemuan itu, sudah ada kesepakatan awal?
Sudah. Kesepakatan awalnya, akan ada peraturan presiden untuk pengawasan obat dan makanan. Dan dalam waktu secepatnya, minta masukan dari Kementerian Kesehatan karena itu menyangkut peraturan-peraturan yang ada di lembaga tersebut. Tapi, dalam jangka waktu yang singkat, Bapak Presiden dalam arahan empat mata kepada saya mengatakan untuk mengeluarkan keputusan presiden atau peraturan presiden dan minta untuk didampingi terus Setneg dan Setkab.
Kewenangan dalam hal pengawasan dengan Kementerian Kesehatan itu jadi salah satu prioritas?
Ya, itu jangka menengah. Untuk jangka yang lebih cepat, dan itu yang diinisiasi DPR dalam dengar pendapat, ya, peraturan Kementerian Kesehatan dan undang-undang itu. Saya sendiri belum terlibat dalam rapat dengar pendapat.
Arahnya akan mengembalikan kewenangan pengawasan kepada BPOM?
(Penny mempersilakan Budi Djanu Purwanto menjelaskan.)
Budi: Pembahasan revisi Peraturan Menteri Kesehatan ini tidak mengambil atau mengembalikan kewenangan. Hanya, Badan POM minta mendapat akses masuk melakukan pengawasan.
Kewenangan seperti apa yang seharusnya dimiliki BPOM agar kasus seperti vaksi palsu itu tidak terjadi lagi?
Kami tidak mengawasi barang ilegal.
Budi: Manakala obat atau vaksin ini diproduksi oleh badan yang belum mempunyai izin, itu kami definisikan sebagai ilegal. Dan berdasarkan Pasal 386 KUHP, obat palsu itu masuk tindak pidana umum dan menjadi kewenangan kepolisian.
Begitu kasus ini marak, banyak yang mempertanyakan peran BPOM, padahal BPOM kan punya penyidik pegawai negeri sipil (PPNS)?
Ke mana saja selama ini? Gitu, ya? Padahal kan sebetulnya kewenangannya di polisi.
Pengawasan BPOM selama ini berimpitan dengan Kementerian Kesehatan?
Nah, karena itu UU Pengawasan Obat dan Makanan yang akan bisa memperkuat para PPNS.
Penguatan seperti apa yang diharapkan dari BPOM?
Badan POM ingin bermitra dalam hal apa pun, pemerintahan dan dalam bisnis. Semua punya kewenangan. Masing-masing juga punya sumber daya manusia yang terbatas. Sekarang bagaimana dengan kewenangan masing-masing itu kami bisa bermitra, bekerja sama. Artinya, kewenangan kami pun diakui dan dimasukkan ke undang-undang dan kami bisa bergerak untuk memberikan efek jera, seperti sanksi administratif.
Anda yakin kesepakatan dengan Kementerian Kesehatan dan Setkab itu akan dipenuhi?
Harus dipenuhi karena itu sudah instruksi dari Presiden (tertawa).
Artinya, tidak perlu ada isu Kementerian Kesehatan keberatan kewenangannya dikurangi?
Kami meminta kewenangan kami dimunculkan dalam aturan yang ada dan kemudian legal basis kami dikuatkan. Goal-nya adalah Undang-Undang Pengawasan Obat dan Makanan, karena kami tidak mau terjadi lagi kasus seperti vaksin palsu atau obat palsu.
Apakah secara kelembagaan BPOM cukup memadai untuk menangani kasus-kasus tersebut?
Dalam hal teknis, Badan POM tempat berkumpulnya para ahli yang kompeten, ada ahli farmasi, teknologi pangan, mikrobiologi. Kedua, dalam masalah administratif, ada empat faktor yang harus dipenuhi oleh negara agar pengawasan terlaksana secara efektif. Empat faktor itu adalah kelembagaan. Indonesia terdiri atas 34 provinsi. Daerah juga melakukan pengawasan. Ini kendala karena Badan POM hanya ada di ibu kota provinsi. Kedua, faktor SDM. Saya baru tahu ada 197 ribu sarana peredaran obat di Indonesia. Dan untuk obat dasar, Badan POM memiliki 3.881 pegawai administrasi, lab, dan penyidik. Di DKI Jakarta, sarana peredaran obat ada 8.000-an. Penyidiknya hanya 27 orang. Saya 20 tahun bekerja di Badan POM Bekasi. Ditarik ke Jakarta pada 2000. Pada tahun 2000 itu, satu apotek belum tentu setahun sekali bisa diaudit. Ketiga, faktor anggaran. Dan keempat legal basis-nya, kewenangannya ditambah.
Bagaimana kalau legal basis-nya ada tapi anggarannya tidak ditambah?
Kami harus melangkah walau implikasinya beban pasti bertambah dan nantinya akan ada kebutuhan sumber daya manusia. Akan kami lihat lagi bagaimana data anggarannya. Kalau kewenangannya ke kami, ya, tentunya ditambah sumber dayanya.
Kapan Anda ke DPR?
Kalau dalam hal RUU Pengawasan Obat Tradisional, masuk Prolegnas 2014-2019. Dan RUU Pengawasan Obat dan Makanan belum masuk Prolegnas 2016. Kalau masuk, kemungkinan undang-undangnya akan keluar pada 2017. Bisa saja, karena urgensinya, di tengah tahun bisa dimasukkan.
Apakah ada inisiatif dari BPOM agar DPR segera membahas RUU itu?
Dengan sendirinya, karena inisiasinya pun dari DPR.
Sudah ada upaya melobi DPR?
Inisiasinya pun akan dari DPR. Sekarang kan ditambah lagi karena ada kasus vaksin palsu.
Akan seperti apa restrukturisasi BPOM?
Dengan adanya legal basis, tentunya kami akan berdiskusi dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi terkait dengan SDM.
Apakah memungkinkan meminta kewenangan pengawasan peredaran obat ke fasilitas kesehatan sampai ke tingkat kabupaten?
Kami bekerja sama dengan dinas kesehatan daerah.
Artinya, tidak harus mempunyai kantor sampai ke kabupaten?
Kami bangun kantor juga, melihat aktivitas dan prioritasnya, seperti tempat yang ada aktivitas yang meningkatkan risiko penyelewengan. Bisa seperti itu. Tinggal diperbanyak saja di tempat yang memang urgen dan SDM ditambah.
Kebijakan apa yang sudah Anda buat sehubungan dengan kasus vaksin palsu? Ada kesepakatan tertentu dengan Polri?
Budi: Polri yang menangkap dan kami memeriksa barang bukti. Lalu nanti orang dari Badan POM bisa jadi saksi ahli. Kerja sama antara Badan POM dan Polri ini sudah ada dalam nota kesepahaman. Sejak Kapolrinya Pak Badrodin Haiti.
Jadi Anda meneruskan kerja sama ini saja?
Apa yang bagus dan sudah dilakukan akan kami lanjutkan. Kami juga enggak harus masuk seperti menjadi penyidik, hanya mengintensifkan kerja sama yang sudah ada.
Beberapa kalangan menganggap Kementerian Kesehatan dan BPOM masih bersitegang dan seperti berkompetisi.
Ke depan tidak akan terjadi itu. Lagi pula sudah ada sinyal dari Presiden tentang penguatan Badan POM. Jadi intinya kami berkoordinasi. Dan itu bukan subordinat. Kami bermitra dan berkoordinasi. Nanti, kalau ada Instruksi Presiden, kami akan duduk bersama mengurai apa yang tumpang-tindih. Yang utama buat kami saat ini adalah kemandirian. Hal itu harus dikuatkan dengan legal basis dan dimulai dengan keputusan presiden.
Kapan keputusan itu keluar?
Targetnya dalam waktu secepatnya. Setkab sudah berkomitmen. Target bulan ini merevisi peraturan Menteri Kesehatan.
Bagaimana sikap BPOM terhadap kasus vaksin palsu ini?
Kalau ada yang ilegal, ya, diberantas.
Selama ini orang beranggapan tugas BPOM itu mengawasi banyak hal.
Mungkin perlu ada sosialisasi dan edukasi dari kami. Dengan adanya Undang-Undang tentang Pengawasan Obat dan Makanan, nanti bisa kami perdalam penjelasan pengawasan kami.
Apa itu tidak memberatkan BPOM?
Demi kepentingan bangsa dan negara, tidak masalah. Tugas Badan POM menjamin keamanan, manfaat, dan kualitas makanan.
Menurut Anda, lembaga BPOM ini idealnya seperti apa?
Idealnya kami bisa melakukan pengawasan dari hulu ke hilir sampai pada tahap kami bisa melakukan tindak lanjut hasil pengawasan dan tindak lanjut sanksi administratif.
Dengan adanya undang-undang nanti, Anda bisa menjamin kasus seperti vaksin palsu ini tidak terulang lagi?
Kalau yang ilegal, sudah ada polisi yang memiliki kewenangan.
Dalam kasus vaksin palsu, masyarakat menyorot BPOM.
Karena kebanyakan tidak tahu fungsi Badan POM. Kan, vaksin palsu itu sudah ranah pidana. Tapi kami membantu dalam uji laboratorium.
Anda berlatar belakang teknik lingkungan, bagaimana proses belajar Anda sehingga cepat mengatasi persoalan obat dan makanan?
Presiden menyebutkan tugas saya manajerial. Presiden pun memilih saya karena melihat dari konsep manajerialnya dan Presiden percaya saya akan didukung oleh para ahli di dalam Badan POM. Saya tidak berkecil hati dengan hal itu, karena pengalaman saya di Bappenas itu akan berguna.
Presiden sudah tahu akan ada pertanyaan seperti itu?
Tentunya (tertawa).
Anda mendaftar sebagai Kepala BPOM setelah penawaran terbukanya sudah ditutup dan oleh Kementerian Kesehatan kemudian dibuka lagi. Apakah benar?
Tidak perlu lagi melihat ke belakang. Sebaiknya jangan dibahas. Presiden memilih saya dan Presiden punya hak prerogatif. Saya juga punya background di pengawasan. Jadi Presiden tidak begitu saja mencomot saya seperti isu yang beredar itu. Saya di Bappenas juga banyak terkait dengan kebijakan publik, evaluasi, dan ada riwayat kinerja saya pernah menjadi pengawas, inspektur, dan evaluasi kinerja pembangunan.
Begitu Presiden menunjuk Anda sebagai Kepala BPOM, apa janji Anda?
"Siap, Pak, saya laksanakan tanpa ragu." Dan Pak Presiden tidak kasih kesempatan saya untuk menolak (tertawa). "Bereskan, saya dukung dari belakang, tidak usah takut." (Penny menirukan Presiden.)
PENNY KUSUMASTUTI LUKITO
Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 9 November 1963 | Pendidikan: S-1 Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (1988), S-2 Master in City Planning Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat (1994), S-3 Teknik Lingkungan (Major) dan Urban and Regional Planning (Minor) University of Wisconsin-Madison, Amerika Serikat (2000) | Karier: Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (Juli 2016-sekarang), Pejabat Fungsional Perencana Utama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (2013), Anggota Komisi Nasional Perumusan Agenda Pembangunan Pasca MDG-2015 (2012-2014), Direktur Sistem dan Pelaporan Evaluasi Kinerja Pembangunan, Deputi Evaluasi Kinerja Pembangunan Bappenas (2008-2011), Direktur Lingkungan Hidup, Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Bappenas (2007-2008), Inspektur Bidang Kinerja Kelembagaan, Inspektorat Utama Bappenas (2005-2007), Direktur Perkotaan dan Pedesaan, Deputi Bidang Regional dan Otonomi Daerah Bappenas (2002-2005) | Karya buku: Membumikan Transparansi dan Akuntabilitas Kinerja Sektor Publik: Tantangan Berdemokrasi ke Depan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo