Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pengobat Rindu Istri Pelaut

Rona dan corak batik Tanjung Bumi mencolok mata. Sudah ada sejak lebih dari 150 tahun lalu.

5 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bukannya melipat dua carik batik jemurannya yang telah kering, Maisun malah mencelupkannya lagi ke sebuah gentong berisi cairan berwarna hijau. Batik yang telah dilukis itu lalu dibiarkan terendam semalaman. Keesokan paginya, ia membentangkannya lagi di jemuran di kediamannya di Desa Paseseh, Bangkalan, Jawa -Timur.

Perempuan 45 tahun itu belum puas dengan warna hijau pada batiknya. Ia ingin mendapatkan warna yang likat. Sampai sesuai dengan warna yang diinginkan, proses ”rendam-jemur” bisa diulang-ulang hingga berbulan-bulan. ”Semuanya dilakukan sendiri, dilukis, direndam. Hanya pewarnaan beberapa warna memakai bahan kimia,” ujar Maisun, Kamis tiga pekan lalu.

Bahan kimia itu hanya untuk warna kuning dan merah. Awalnya dua warna tersebut didapatkan dari tumbuhan yang hidup di desa yang terletak di Kecamatan Tanjung Bumi itu. Rona kuning, misalnya, berasal dari buah mengkudu, sedangkan warna merah dari akar mengkudu. Lantaran semakin sulit mendapatkan buah dan akar mengkudu, Maisun, yang sudah bertahun-tahun membatik, beralih ke bahan kimia.

Untuk warna lain, seperti biru dan hijau, Maisun menggunakan bahan alami. Warna biru dari daun pohon tarum (Indigofera tinctoria). Hijau diperoleh dari kulit pohon mundu (Garcinia dulcis) dicampur tawas. Untuk membuatnya, mula-mula daun atau akar direndam dalam ember berisi air selama dua malam.

Motif gentongan Bangkalan.

Pada malam pertama, tumpukan daun di dalam ember ditindih dengan batu. Malam berikutnya, tumpukan daun dibalik dan kembali diimpit batu. Air hasil rendaman kemudian dicampur kapur dan gula aren. ”Kapur untuk mengikat warna dalam air, sedangkan gula aren supaya cairannya kental,” ucap Maisun.

Cairan kemudian dituangkan ke dalam gentong. Beberapa bahan alami lalu dicampurkan lagi, misalnya air kelapa. Barulah proses pewarnaan batik dimulai.

Menurut Sofia, salah seorang pembatik di Tanjung Bumi, perendaman di dalam gentong menentukan ketajaman warna. ”Warna muda direndamnya sebentar, rona tua direndamnya lama,” ujar Sofia. ”Makin lama direndam, makin tua warnanya, makin mahal harganya.” Karena direndam di dalam gentong, batik ini disebut sebagai batik gentongan.

Warna yang mencolok menjadi ciri batik Tanjung Bumi. Peneliti batik Mien Achmad Rifai menuturkan, warna batik Tanjung Bumi yang cerah tak bisa dilepaskan dari karakter orang Madura yang dinilainya keras. Perajin tak takut menyentuh warna-warna kontras sebagai aksen batiknya. ”Contohnya corak udang biru dan bintang laut merah api berenang dalam laut berwarna cokelat kekuningan,” kata Mien, yang juga guru besar Institut Pertanian Bogor.

Batik Tanjung Bumi diperkirakan ada sejak 150 tahun lalu. Menurut Mien, yang merujuk pada buku Batik Belanda 1840-1940 yang ditulis Harmen C. Veldhuisen, keberadaan batik tersebut terekam dari karya Carolina Josephina von Franquemont. Carolina adalah pembatik pertama Indonesia-Belanda. ”Ada foto selembar batik Tanjung Bumi buatan 1850,” ujar Mien.

Seperti Maisun dan Sofia, para pembuat batik Tanjung Bumi adalah perempuan. Menurut Ketua Komunitas Batik Jawa Timur Lintu Tulistyantoro, dulu perempuan di Bangkalan melukis batik untuk mendapatkan penghasilan tambahan sambil menunggu suami mereka melaut selama berbulan-bulan.

Ketika itu Pelabuhan Telaga Biru, yang terletak di Tanjung Bumi, adalah pusat perdagangan serta tempat hilir-mudik kapal pembawa hasil ternak dan kayu olahan. Kapal berlayar ke Kalimantan hingga ke Bangka Belitung.

Saat para suami berlayar, Lintu bercerita, para istri berdoa supaya mereka selamat. Doa itu kemudian dituangkan menjadi motif di secarik batik. Ini asal-usul motif tase melaya atau tase’ malajhe, yang berarti melaut. Mien Achmad Rifai menambahkan, tase melaya bisa juga berarti ”laut di Mlajah”, kampung di pesisir Bangkalan. Seperti yang diucapkan Lintu, Mien mengatakan motif itu muncul dari romantisisme pelaut dan istrinya.

Motif ini terlihat dari garis yang bergulung menyerupai ombak kecil di laut yang tenang. ”Mereka membayangkan suami mereka berlayar dengan ombak yang bersahabat,” kata Lintu. ”Ini seperti pengobat rindu.”

Di antara ombak itu, para istri membubuhkan motif berbau laut. Misalnya motif lorjuk yang mengadaptasi binatang laut seperti kerang dan motif lemar berupa gambar kapal. Ada juga bunga-bungaan seperti bunga pacar cina.

Islam juga berperan penting dalam berkembangnya batik Tanjung Bumi, terutama untuk menampilkan gambar binatang. Tapi, menurut Lintu, corak hewan tidak ditiru secara persis—sebagian muslim ada yang mengharamkan gambar makhluk hidup. Pembatik, misalnya, menggambarkan gajah berkaki enam dalam motif gajah saserang. Juga seekor burung yang kepalanya digambarkan penuh bunga.

Dalam melukis batik, para perajin menggunakan teknik duri, sebuah teknik kuno dalam membuat motif batik. Dalam teknik duri, warna dioleskan ke atas kain dengan pelan, halus, serta tipis dan dikerjakan pada malam hari. Teknik ini muncul sebelum pembatik menggunakan canting. ”Teknik duri lebih sulit ketimbang canting,” ucap Lintu. Teknik duri juga masih diterapkan di Tuban dan Cirebon.

Meski laut menjadi sumber inspirasi batik Tanjung Bumi, para pembatik menyerap pengaruh pendatang. Menurut Lintu, pedagang dari Belanda dan Jepang turut mempengaruhi corak batik Tanjung Bumi. Misalnya gambar vas bunga dan kipas. ”Kini motif batik Tanjung Bumi bisa ribuan karena selalu mengikuti perkembangan zaman,” ujarnya.

Lamanya proses pembuatan batik Tanjung Bumi menyebabkan harganya membubung. Maisun, pembatik dari Desa Paseseh, misalnya, mematok harga Rp 1-2 juta per lembar batik. ”Kalau di tangan pemilik butik, harganya naik dua-tiga kali lipat lebih,” kata Lintu.

Batik Tanjung Bumi kini menyebar ke penjuru dunia. Ada yang dijual ke Malaysia, Singapura, dan Arab Saudi. Menurut Badrun, 61 tahun, yang pernah menjadi penyuluh lapangan pembatik pada 1980-an, batik Tanjung Bumi disukai karena kainnya terkenal halus dan corak batiknya rapi.

Perajin batik bisa meningkatkan produksinya karena menggunakan pewarna zat kimia. Menurut Badrun, penggunaan bahan kimia didorong oleh pemerintah pada 1970-an. ”Pembuatan batik dengan pewarna kimia lebih mudah karena hanya perlu dicelupkan, bukan direndam dalam gentong,” ucapnya.

Namun harga batik dengan pewarna kimia di bawah batik gentongan asli. Meski sudah robek, harga batik gentongan tetap mahal. Perajin batik gentongan Tanjung Bumi masih banyak yang menyimpan karya leluhurnya. ”Saya simpan karena batik gentongan ada kolektornya dan harganya mahal,” ujar Sofia, pembuat batik -gentongan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus