Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Air ’Bacem’ Tiga Negeri

Motif dan isian batik Lasem merupakan gabungan budaya Cina dan Jawa. Ciri khasnya terletak pada ramuan pewarnaan.

5 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
penjemuran kain batik Kidang Mas di Desa Babagan, Lasem, Rembang,

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasa selembar kain putih yang pinggirannya bercorak malam atau lilin itu, Renny Priscilla menempelkan kertas kecil berisi keterangan motif dan isian. Generasi kelima produsen batik Lasem, Maranatha Ong’s Art, ini turun tangan langsung menentukan motif yang akan dikerjakan para pegawainya di Desa Karangturi, Lasem, Rembang, Jawa Tengah. ”Dari motif, warna, semua saya yang bermain. Jadi batik saya ini tidak ada yang punya,” kata perempuan 34 tahun ini, pertengahan September lalu.

Seniman batik halus Lasem ini meneruskan usaha keluarganya setelah sang ibu, generasi Ong keempat, meninggal pada 2010. Renny merepro batik-batik pakem Lasem seperti yang dilakukan ibunya. Salah satu pakem yang ia produksi ulang adalah batik tiga negeri dengan motif kilin menari. Batik tiga negeri merupakan batik tiga warna yang motifnya ditentukan tiap perajin.

Motif Kilin Menari koleksi Maranatha Ong’s Art.

Pada Jumat malam pertengahan September lalu, Renny menunjukkan salah satu karya repronya yang bermotif kilin menari. Dalam selembar kain dengan dasar biru, terdapat beberapa kilin besar yang bercorak merah-putih dominan seperti sedang menari. Di sekitarnya, ada motif burung hong, naga, titik-titik pasir, dan latoh (ganggang laut) yang berwarna kuning kehijauan.

Selembar kain itu menyuguhkan akulturasi budaya Cina dan Jawa. Kilin dalam tradisi Cina dipercayai sebagai binatang pelindung. Sedangkan burung hong dan naga melambangkan keindahan dan keabadian. Titik-titik pasir dan latoh diadaptasi dari Lasem sebagai wilayah pesisir. Dengan pelbagai filosofi tersebut, menurut Renny, orang yang memakai kain batik kilin menari diharapkan selalu terlindungi dan rezekinya seperti pasir di pantai. Untuk pengerjaan satu kain ini, Renny membutuhkan waktu empat-lima bulan. Selembar karya yang ditorehkan di atas kain primisima Kereta Kencana itu dibanderol Rp 21 juta. ”Yang susah itu menerapkan warna batiknya supaya hidup,” -ujarnya.

Selain motif dan corak, warna klasik menjadi ciri khas batik Ong. Mereka mempunyai ramuan turun-temurun. Untuk menghasilkan warna yang kuat dan khas, keluarga Ong mempunyai air ”bacem” yang ditadah dari air hujan. Untuk mempertahankan orisinalitas, produksi batik Ong dalam sebulan tidak banyak. ”Yang wajib itu tiga negeri, paling tidak 80 lembar,” ucap Renny. Dia mempunyai sekitar 30 pembatik tetap dan 30-an pekerja lepas.

Motif lain batik Lasem adalah tulis krecak. Motif ini ditengarai berhubungan dengan pembuatan Jalan Daendels era Gubernur Hindia Belanda Herman Willem Daendels pada 1808-1811. Jalan Daendels merentang di sepanjang jalur pantai utara Pulau Jawa atau sekitar 1.000 kilometer dari Anyer, Jawa Barat, hingga Panarukan, Jawa Timur. Kisah nelangsa masyarakat Lasem yang dieksploitasi menata batu untuk pembuatan jalan itu ditorehkan dalam selembar kain dengan motif krecak (jejeran batu kecil).

Renny Priscilla

Di Lasem juga ada batik sekar jagad. Sekar berarti taman bunga dan jagad bermakna dunia. Motif ini berkembang sejak abad ke-18. Sekar jagad berisi ragam bunga dengan berbagai warna untuk menonjolkan keindahan. Karena pembuatannya di Lasem, tentu mereka akan memakai warna dominan, yakni warna merah darah ayam atau abang getih. Warna merah dalam tradisi Cina dianggap sebagai simbol kebahagiaan dan kemakmuran.

Di Kota Pusaka ini juga ada batik gunung ringgit Lasem. Filosofi motif ini adalah keinginan memiliki harta yang melimpah atau menggunung. Batik Nyah Kiok di Desa Karangturi hanya memproduksi motif gunung ringgit pring. Ada enam perempuan berumur 50-70 tahun yang membatik di halaman belakang rumah tua yang dibangun awal 1900-an itu. Dalam tiga bulan, keenam perempuan itu bisa menghasilkan 100 kain batik. ”Dari dulu batiknya ya cuma motif ini,” kata Mbah Suti, yang bekerja di Nyah Kiok sekitar 40 tahun.

Kini Batik Nyah Kiok diteruskan generasi kelima yang tinggal di Surabaya. Menurut Mbah Suti, pemilik Batik Nyah Kiok datang ke Lasem hanya saat pewarnaan. ”Hanya mereka yang tahu rumus warnanya,” ujarnya. Setelah produk jadi, kain-kain itu dikirim ke Surabaya.

Para pengusaha batik keturunan di kota pelabuhan era Majapahit bernama Lao Sam itu saat ini memang dipegang generasi kelima. Rudi Iswanto, 36 tahun, bersama istrinya, Devina Dwi Atmaja, meneruskan usaha Batik Kidang Mas di Desa Babagan milik keluarga. Leluhur Rudi berasal dari Cina, yang diduga tiba di Lasem pada abad ke-17. Generasi kedua Rudi-lah yang memulai usaha batik ini.

Batik Kidang Mas mempunyai produk andalan berupa batik tiga negeri dan kendoro kendiri. Menurut Devina, yang membedakan batik tiga negeri keluarganya dengan batik Lasem lain adalah komposisi warna. ”Setiap pengusaha batik mempunyai ramuan warna rahasia yang diwariskan turun-temurun,” kata Devina. Adapun batik kendoro kendiri yang diproduksi keluarganya sebenarnya motif sekar jagad yang pewarnaannya dominan cokelat tanpa merah, yang biasanya menjadi ciri khas batik Lasem.

Tenaga Ahli Cagar Budaya Rembang, Edi Winarno, mengatakan batik Lasem mendapat pengaruh beberapa kebudayaan sejak zaman Majapahit, Campa, Cina, sampai Jawa. Saat era Kerajaan Majapahit pada abad ke-15, Bre Lasem atau Dewi Purnama Wulan sudah memakai batik. Jejaknya bisa ditelusuri di Candi Ngrimbi, Lamongan. Pada abad ke-14, pengaruh dari Campa atau Vietnam Tengah masuk bersamaan dengan kedatangan rombongan Laksamana Zheng He atau dikenal sebagai Cheng Ho, utusan Dinasti Ming. Salah seorang anak buah Cheng Ho, Binang Un, meminta izin tinggal di Lasem. Binang Un bersama istrinya, Na Li Ni, dan keluarga besarnya diterima di Lasem dengan syarat membawa budaya serta tanaman yang tak ada di daerah pesisir Jawa itu. Rombongan tersebut kemudian membawa ayam cempo, delima, bunga, kerajinan kuningan, dan batik, yang diajarkan kepada masyarakat Lasem.

Keluarga Binang Un diberi tempat tinggal yang kini bernama Desa Karangturi. Sayangnya, jejak batik Na Li Ni tak ditemukan hingga saat ini. ”Konon ada namanya batik widyorini, motif flora-fauna, akulturasi antara pribumi dan Campa,” ujar Edi. Info mengenai widyorini ditelusuri dari dokumen mengenai sejarah Lasem dan Rembang.

Selepas itu, batik Lasem mendapat pengaruh dari tradisi Cina. Orang Cina yang berpaham Konfusianisme datang dari Negeri Tirai Bambu, kemudian menjadi pengusaha batik pada abad ke-17. Menurut Edi, masa-masa inilah yang ditengarai sebagai awal generasi pertama dari para pengusaha batik yang ada di Lasem saat ini.

Kala itu, kata Edi, warga Cina membuat batik berciri keagamaan, seperti batik lokcan untuk upacara kematian. Sejak era penjajahan Belanda, yang menelurkan undang-undang partikelir, para pengusaha Cina tersebut makin berkembang dan kaya raya. Dia mencontohkan keluarga Sigit Wi-tjaksono, yang mempunyai usaha batik Lasem, Sekar Kencana. Usaha ayah Sigit berjaya pada 1920-an. Sekar Kencana mempunyai sekitar 500 karyawan. Produknya diekspor ke sejumlah negara, di antaranya Malaysia, Taiwan, dan Suriname.

Sigit, yang kini berusia 89 tahun, mempertahankan batik sekar jagad dengan ciri khas warna biru tua dan merah tua. Mereka juga mempertahankan kawung baga-nan. Motif kawung ada sejak era Majapahit. Kawung merupakan buah kolang-kaling yang dipotong tengah dan mempunyai empat lubang. Isiannya menggunakan isenan Tionghoa.

Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Rembang, Budi Darmawan, mengatakan kejayaan batik Lasem sempat surut pada 1970-an. Namun Pemerintah Kabupaten Rembang mulai menjaring pengusaha untuk menekuni bisnis ini sejak badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNESCO, menetapkan batik sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan non-bendawi pada 2009. ”Ciri khas batik Lasem itu batik tulis. Jadi kami juga membantu menyediakan sumber daya manusianya atau para pembatik,” kata Budi.

Salah satu pengusaha yang ikut program tersebut adalah Santoso Hartono. Pemilik usaha batik Pusaka Beruang itu kini mempunyai lima rumah batik. Karyawannya mencapai 200-an. ”Kami juga membuat inovasi batik Lasem, tapi tetap batik tulis,” ucap Santoso. Menurut Budi, saat ini ada sekitar 60 pengusaha batik di Lasem.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus