Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Merosotnya nilai rupiah pekan lalu memang terlalu cepat. Begitu melewati batas psikologis 15 ribu per dolar Amerika Serikat, kurs rupiah langsung terbang mendekati 15.200 pada akhir pekan. Sehari sebelumnya, kurs rupiah di pasar spot berdasarkan data RTI bahkan sempat melewati 15.400. Banyak orang tentu bertanya, ada apa?
Faktor utama yang membuat nilai rupiah tersungkur sejak awal tahun ini memang masih ada, bahkan bertambah kuat. Setelah menaikkan bunga rujukan 0,25 persen pada 26 September lalu, The Fed sudah mengirim sinyal akan menaikkan bunga lagi di akhir tahun. Tapi pasar sebetulnya sudah mengantisipasi kebijakan The Fed. Jadi ini bukan satu-satunya alasan yang membuat nilai rupiah melorot lebih cepat daripada estimasi pasar.
Rupiah semestinya juga tidak terguncang oleh dahsyatnya gempa, tsunami, dan amblesnya tanah di Sulawesi Tengah yang mengiris hati. Luasnya kerusakan dan besarnya jumlah korban bencana itu sungguh menyedihkan, tapi memang tidak mempengaruhi perekonomian nasional secara signifikan.
Jadi apa daya dorong yang membuat nilai rupiah jatuh lebih cepat? Sepertinya ini tak lepas dari makin mencorongnya harga minyak bumi. Harga minyak Brent, patokan utama pasar minyak dunia, sudah melampaui US$ 85 per barel pekan lalu. Para analis bahkan sudah berbicara tentang kemungkinan kembali naiknya harga minyak ke atas US$ 100 per barel, seperti pada 2014.
Itu bergantung pada seberapa kuat pemerintah Amerika menekan Iran. Jika tekanan pada Iran benar-benar membuat ekspor minyak negara itu berhenti sama sekali, sudah pasti harga minyak akan terbang jauh di atas US$ 100 per barel. Anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), kalaupun mau, tak akan mampu menambah produksi yang cukup untuk menutup hilangnya pasokan minyak dari Iran.
Naiknya harga minyak memang ada manfaatnya, tapi jelas lebih besar mudaratnya bagi Indonesia. Pendapatan pemerintah dari bagi hasil minyak meningkat. Tapi impor bahan bakar minyak, yang masih sekitar 1 juta barel per hari, akan makin menggerus pemasukan dolar hasil ekspor. Term of trade Indonesia merosot. Ujungnya, defisit neraca transaksi berjalan berpotensi melonjak melebihi perkiraan US$ 25 miliar pada akhir tahun.
Kombinasi naiknya harga minyak dan bunga The Fed kian menipiskan harapan rupiah bisa pulih, atau setidaknya tak merosot lebih jauh. Berbagai kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia yang sudah terbit masih belum mempan mengatasi pelemahan rupiah. Terakhir, BI menaikkan lagi BI 7-Day Reverse Repo Rate menjadi 5,75 persen, bersamaan dengan naiknya bunga The Fed. Itu pun sia-sia.
Naiknya bunga justru akan melemahkan pertumbuhan. Dan, dalam keadaan begini, pemerintah justru agresif menerbitkan obligasi dengan bunga jauh lebih tinggi daripada bunga deposito. Pekan lalu, pemerintah mulai menawarkan obligasi retail seri ORI015 dengan kupon 8.25 persen per tahun. Bagi investor yang punya dana menganggur, ini tawaran menarik. Ada investasi bebas risiko dengan imbalan menggiurkan.
Masalahnya, perbankan akan sulit mencari tambahan simpanan masyarakat. Likuiditas bisa tersedot. Sebelum pemerintah menerbitkan obligasi berkupon tinggi itu pun pertumbuhan dana masyarakat di perbankan sudah lambat. Per Juli 2018, pertumbuhan hanya 6,9 persen dalam setahun. Indikator yang lebih luas, yakni likuiditas perekonomian, juga makin ketat. Per Agustus 2018, posisinya Rp 5.529 triliun atau hanya tumbuh 5,9 persen—lebih rendah dibanding pertumbuhan Juli 2018 yang sebesar 6,4 persen.
Situasi ini jauh dari ideal. Bisa muncul siklus jahat. Di tengah melemahnya rupiah, bunga naik tinggi, likuiditas mengetat, dan ekonomi melemah. Siklus ini terus berputar karena ekonomi yang melemah akan makin menurunkan rupiah dan demikian seterusnya. Entah siapa yang akan melangkah untuk mencegah siklus ini sebelum benar-benar terjadi.
Peringkat Kredit Indonesia
Standard & Poor's
Rating BBB-
Outlook Stable
Fitch Ratings
Rating BBB
Outlook Stable
Moody's Investor Service
Rating Baa2
Outlook Stable
Japan Credit Rating Agency Rating BBB
Outlook Stable
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo