Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Simulasi kedatangan Eddy Sindoro di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, digelar Kamis pekan lalu oleh tim gabungan Direktorat Jenderal Imigrasi dan manajemen Angkasa Pura I. ”Kami mencari tahu bagaimana ia bisa terbang lagi tanpa tercatat di perlintasan imigrasi,” kata Agung Sampurno, juru bicara Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Simulasi digelar untuk membantu Komisi Pemberantasan Korupsi mengusut pelarian Eddy. Presiden Komisaris PT Artha Pratama Anugerah (Lippo Group) dan Chairman Paramount Enterprise International ini menjadi tersangka KPK dalam kasus suap kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution. Suap itu dilakukan untuk ”mengamankan” sejumlah perkara perusahaan Grup Lippo di pengadilan hingga Mahkamah Agung. Edy Nasution sudah divonis bersalah dalam kasus ini.
Komisi antikorupsi sesungguhnya sudah meminta Direktorat Jenderal Imigrasi mencegah Eddy Sindoro bepergian ke luar negeri pada Mei 2016. Tapi, sebelum perintah cegah itu berlaku, dia meninggalkan Indonesia lebih dulu. KPK juga sudah meminta Markas Besar Kepolisian RI memasukkan nama Eddy Sindoro ke daftar pencarian orang. Sejak itu, KPK mengklaim mengetahui keberadaan Eddy di luar negeri dan terus akan memantau pergerakannya. ”Kami sudah meminta dia menyerahkan diri,” ujar Febri Diansyah, juru bicara Komisi.
Menurut informasi yang diterima Imigrasi, Rabu siang, 29 Agustus lalu, Eddy Sindoro tiba di Terminal 2E Bandara Soekarno-Hatta, yang khusus melayani penerbangan internasional. Dia terbang dari Bandara Internasional Kuala Lumpur menggunakan maskapai penerbangan AirAsia karena dideportasi petugas imigrasi Malaysia. Eddy diduga tertangkap di sana karena melanggar dokumen keimigrasian.
Duta Besar Indonesia di Kuala Lumpur, Rusdi Kirana, enggan bicara soal ini. ”Mohon maaf, saya tidak bisa memberi komentar,” kata Rusdi, Rabu pekan lalu. Konsuler Kedutaan Yusron B. Ambary juga tutup mulut.
Menurut seorang petugas Imigrasi Soekarno-Hatta, setelah tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Eddy terbang kembali ke luar negeri pada hari yang sama. Menggunakan maskapai berbeda, dia dikabarkan bertolak ke Kamboja. Kepergian Eddy ini lagi-lagi tak diketahui petugas Imigrasi. ”Sama sekali tak ada catatan bahwa yang bersangkutan masuk dan ke luar Indonesia saat itu,” ujar Agung Sampurno.
Namun, setelah menggelar simulasi, tim gabungan Imigrasi dan Angkasa Pura memperoleh titik terang. Menurut Agung, Eddy diduga tidak melintasi perlintasan imigrasi di lantai satu Terminal 2E saat tiba dari Kuala Lumpur. Diduga kuat ia berpindah ke ruang keberangkatan penumpang internasional di lantai dua Terminal 2E melalui tangga darurat. Posisi tangga darurat persis sebelum petugas bagian pengecek-an paspor.
Meski mulus berpindah ke ruang kebe-rangkatan, menurut Agung, Eddy seharusnya tidak bisa begitu saja terbang ke luar negeri. Sebab, ia lebih dulu harus melakukan check-in untuk mendapatkan boarding pass—proses yang membutuhkan paspor Eddy. Di sini, ada kecurigaan Eddy dibantu orang dalam.
Berbagai kejanggalan ini menjadi bagian yang ikut dilacak oleh tim gabungan tersebut. Tim sudah memeriksa sejumlah saksi dan mengecek kamera pengawas (CCTV) bandara. Tim juga berencana meminta keterangan Andi Sofyar, anggota staf kantor Imigrasi Soekarno-Hatta, yang diperiksa KPK pada Kamis pekan lalu. ”Hasil kerja tim akan diberikan ke KPK,” kata Agung.
KPK sendiri baru mendapat informasi bahwa Eddy Sindoro dideportasi dari Malaysia kembali ke Indonesia dari kedutaan di sana pada awal September. Tim langsung dibentuk untuk menelusuri peristiwa tersebut. Pada pertengahan September, mereka menemukan jejak orang-orang yang membantu pelarian Eddy. Dua orang tersebut langsung dicegah bepergian ke luar negeri pada 18 September lalu. Keduanya adalah Lucas, pengacara yang menangani perkara perusahaan Eddy Sindoro dan Lippo Group, serta Dina Soraya, pegawai swasta.
Sempat mangkir dari panggilan pemeriksaan, Lucas mendatangi kantor KPK pada Senin pekan lalu. Setelah diperiksa hampir sepuluh jam, pengacara yang lebih banyak menangani urusan kepailitan ini ditetapkan sebagai tersangka karena diduga merintangi penyidikan Eddy Sindoro. Ia dituduh membantu pelarian Eddy. ”Lucas diduga berperan tidak memasukkan tersangka Eddy Sindoro ke wilayah yuridis Indonesia, melainkan dikeluarkan kembali ke luar negeri,” ucap Wakil Ketua KPK Saut Situmorang. Lucas langsung diinapkan di Rumah Tahanan KPK.
Pada hari yang sama, KPK menggeledah mobil Lucas dan menemukan duit Sin$ 40 ribu. Penyidik langsung menyita duit tersebut karena diduga berkaitan dengan perkara. Pada -Jumat pekan lalu, penyidik juga menggeledah kantor Lucas di Sahid Sudirman Center lantai 55, Jakarta Pusat. Tempat tinggal Lucas di Apartemen Kempinski pun turut digeledah. ”Kami amankan sejumlah bukti elektronik dan catatan-catatan yang bersangkutan,” ujar Febri Diansyah.
Penyidik kini tengah berupaya mencocokkan suara Lucas dengan bukti elektronik yang dimiliki KPK. Rekaman itu berupa suara dalam percakapan telepon yang diduga suara Lucas kepada seseorang terkait dengan urusan Eddy Sindoro ke luar negeri. Febri mengatakan Lucas menolak pengambilan sampel suara dan menolak menandatangani berita acara penolakan. ”KPK tidak terpengaruh oleh penolakan itu karena penyidikan ini sudah didasarkan bukti yang kuat,” katanya.
Setelah diperiksa penyidik, Lucas menampik jika dia disebut membantu Eddy Sindoro kabur ke luar negeri. ”Sampai saat ini kepada saya tidak pernah ditunjukkan bukti bahwa saya melakukan hal seperti itu,” ujar Ketua Dewan Penasihat Ikatan Kurator dan Pengurus Indonesia itu sesaat sebelum masuk ke mobil tahanan.
HUBUNGAN Eddy Sindoro dan Lucas terungkap dari sejumlah saksi di persidangan terdakwa kasus ini. Doddy Aryanto Supeno, pegawai PT Artha Pratama Anugerah, anak usaha Grup Lippo, yang juga anak buah Eddy Sindoro, sudah divonis 4 tahun penjara karena terbukti menyuap Edy Nasution sebesar Rp 150 juta untuk mengatur dua perkara anak perusahaan Grup Lippo di pengadilan negeri sampai Mahkamah Agung. Edy sudah divonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan hukuman 5 tahun 6 bulan.
Saksi yang membeberkan keterlibatan Eddy Sindoro di antaranya Wresti Kristian Hesti dan Wawan Sulistiawan, keduanya pegawai bagian legal PT Artha Pratama Anugerah. Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, mereka mengaku mendapat arahan dari Eddy dalam mengurus perkara-perkara Lippo Group.
Selain menugasi Doddy Aryanto Supeno, Eddy turun langsung ”mengamankan” perkara Grup Lippo. Ia tercatat beberapa kali menemui Nurhadi Abdurrachman, Sekretaris Mahkamah Agung saat itu. Misalnya dalam dokumen tertulis ”perkara-perkara yang di-handle End (panggilan lain Nurhadi)” yang disita Komisi Pemberantasan Korupsi disebutkan ada 14 perkara Grup Lippo yang selesai ditangani Nurhadi dan sembilan perkara yang sedang ditanganinya. Salah satunya perkara perdata PT Kymco, yang menang di tingkat peninjauan kembali.
Dalam lembar memo setiap perkara yang dikirim tercantum kalimat bantuan yang diperlukan, seperti ”tolak PK lawan” atau ”mohon tunjuk majelis hakim yang friendly”. Sesuai dengan memo tersebut, Nurhadi disebut promotor. Saat bersaksi di persidangan, Wresti Kristian Hesti mengakui soal memo-memo tersebut. Tapi ia menolak menjelaskan detailnya. Sedangkan Nurhadi geram disebut promotor kasus Grup Lippo. “Itu tidak benar sama sekali,” katanya.
Selain perkara yang ditangani Nurhadi, anak buah Eddy mencatat sekitar 20 perkara ditangani atau diurus Lucas. Dalam dokumen itu, Lucas selaku pengacara kasus-kasus tersebut. Menurut sopir Doddy Aryanto, Darmaji, bosnya kerap mengantar barang yang ia duga uang kepada Lucas di lantai dasar Gedung Matahari, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta.
Adapun Lucas mengaku tidak pernah mengenal dan berurusan dengan Eddy Sindoro ataupun anak buahnya. Ia juga mengaku tak pernah menerima barang dari Doddy. ”Lucas yang lain, kali,” ujarnya.
Head of Corporate Communication PT Lippo Karawaci Tbk Danang Kemayan Jati mengatakan Eddy sudah tidak bergabung dengan Lippo Group. ”Lippo tidak punya kaitan sama sekali dalam hal apa pun,” kata Danang.
Hubungan antara Eddy Sindoro dan Nurhadi juga dipertegas lewat percakapan BlackBerry Messenger antara Wresti Kristian dan Eddy pada 1 September-20 Oktober 2015. Ketika diperiksa penyidik KPK, Wresti mengatakan menyampaikan permintaan duit Rp 2 miliar dari Edy Nasution kepada Eddy Sindoro. Duit itu untuk memenangkan kasus sengketa lahan PT Paramount Land di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kepada Wresti, Edy Nasution mengatakan angka itu sudah disetujui dan setahu Pak Wu. Wresti menyebutkan Pak Wu adalah nama sandi untuk Nurhadi. Setelah ditawar, menurut dia, disepakati angkanya menjadi Rp 1,5 miliar dalam bentuk dolar Singapura. Sepekan kemudian, uang itu diserahkan Doddy Aryanto kepada Edy di tempat parkir lantai dasar Hotel Acacia, Jakarta Pusat.
Dalam kesaksiannya di pengadilan, Wresti mengakui mengirimkan memo eksekusi Paramount Land kepada Nurhadi. Ia juga mengakui Pak Wu adalah panggilan lain Nurhadi. Tapi ia sama sekali tidak menyinggung soal permintaan dana Rp 1,5 miliar.
Nurhadi, yang pernah dimintai konfirmasi, membantah menerima suap dari Grup Lippo. ”Saya merasa sudah dikondisikan dan difitnah luar biasa. Terlalu sering nama saya dicatut dan dijual,” ujar Nurhadi, yang mundur dari Sekretaris MA pada 1 Agustus 2016. Menurut KPK, Eddy Sindoro termasuk saksi kunci yang bisa mengungkap dugaan keterlibatan orang seperti Nurhadi dan Lucas.
RUSMAN PARAQBUEQ, AJI NUGROHO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo