Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Penjaga Gunung Marmer Suku Mollo

Memimpin perlawanan kaum perempuan terhadap perusahaan tambang, Aleta Kornelia Baun meneruskan perjuangannya di dunia politik. Berkampanye dengan membagikan bibit pohon.

9 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aleta Kornelia Baun/TEMPO/Muhammad Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aleta Kornelia Baun

Suatu malam pertengahan 1996, Aleta Kornelia Baun terjaga dari tidurnya. Ia mendapat kabar bahwa satu perusahaan marmer menawarkan hadiah bagi siapa saja yang bisa membunuh Aleta pada malam itu. Dalam gelap Aleta meraih bayinya, lalu lari ke dalam hutan. Bersembunyi selama berhari-hari, ia selamat dari percobaan pembunuhan.

Aleta, kini 52 tahun, diteror karena memimpin perlawanan terhadap penambangan marmer di kawasan Gunung Mutis, Nusa Tenggara Timur. Ia memberontak lantaran penambangan marmer yang berlangsung sejak 1980-an itu telah merusak ekosistem Gunung Mutis, yang dianggap keramat oleh suku Mollo. “Saya menangis menyaksikan bebatuan diiris dan pohon dipotong, lalu dibawa ke luar desa,” kata Aleta di Desa Hoi, Timor Tengah Selatan, Kamis pekan lalu.

Awalnya Aleta mengajak dua perempuan lain mengorganisasi perlawanan. Ketiganya berjalan kaki dari rumah ke rumah, yang kadang berjarak enam jam perjalanan, untuk menjelaskan bahaya penambangan marmer. Kepada para perempuan suku Mollo yang ditemui, Aleta mengatakan sumber air, pangan, dan zat pewarna alami untuk tenun dari Gunung Mutis bisa lenyap akibat penambangan marmer.

Alasan Aleta melawan sebenarnya bukan hanya ancaman krisis air atau pangan. Suku Mollo percaya punya hubungan batin dengan alam. Mereka memperlakukan lingkungan seperti tubuh sendiri. Ketika pohon dibabat dan bukit dicacah, hal itu sama saja dengan memutilasi badan manusia. Nausus, salah satu puncak Gunung Mutis, diyakini sebagai tempat asal suku Mollo.

Ikhtiar Aleta akhirnya didukung para perempuan Mollo. Bermula dari tiga orang, demonstrasi yang digalang Aleta berhasil mengumpulkan 150 perempuan pada 2006. Mereka memblokade akses masuk ke situs tambang sembari menenun di tengah jalan. Aksi itu bertahan selama setahun. “Menenun adalah ekspresi protes penambangan karena semua bahan tenun diperoleh dari alam,” ujar politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu.

Setahun setelah mereka rutin menenun di tengah jalan, aktivitas penambangan marmer di Gunung Mutis berhenti. Tapi, menurut Aleta, perusahaan baru menarik alat beratnya dari area tambang pada 2010. Perjuangan Aleta diganjar sejumlah penghargaan di bidang pelestarian lingkungan, antara lain Goldman Environmental Prize 2013.

Salah satu yang mendorong perempuan berada di garis depan demonstrasi tersebut adalah kepercayaan suku Mollo bahwa kaum Hawa adalah pemilik tanah yang sah. Tapi bukan berarti aksi Aleta dan ratusan perempuan Mollo tak didukung para pria. Ketika para ibu berdemonstrasi, para bapak bertugas memasak dan mengasuh anak di rumah. “Menggerakkan perempuan di garis depan juga strategi menekan potensi kericuhan dengan petugas keamanan tambang,” ucap Aleta.

Aleta Kornelia Baun menemui warga Desa Hoi, Nikiniki, Nusa Tenggara Timur, Kamis pekan lalu./TEMPO/Muhammad Hidayat

Setelah penambang pergi, Aleta membentuk sejumlah kelompok untuk mereboisasi kawasan pegunungan yang vegetasinya habis dikupas perusahaan. Mereka memilih menanam pohon alpukat, jeruk, dan sengon karena buah dan kayunya punya nilai ekonomi. Aleta juga mendirikan komunitas tani, ternak, dan tenun yang jumlahnya kini mencapai 2.300 kelompok. Bersama komunitas tersebut, Aleta memetakan area hutan adat untuk melindungi lingkungan dari ancaman kerusakan.

Tak sekadar mendirikan komunitas, Aleta juga melatih anggotanya. Kepada kelompok tani, misalnya, ia mengajarkan penggunaan pupuk organik dan penanaman produk hortikultura seperti jagung. Komunitas tani itu berkembang hingga mampu mendirikan tiga lumbung pangan dengan omzet sedikitnya Rp 30 juta per tahun.

Pada 2017, Aleta, yang juga anggota Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, mendirikan Mama Aleta Fund, organisasi nonprofit untuk perempuan pelestari alam. Aleta menyumbangkan hampir semua hadiah Goldman Environmental Prize sebesar US$ 150 ribu atau sekitar Rp 2 miliar ke yayasan tersebut. “Visi yayasan ini mendorong lebih banyak perempuan peduli pada lingkungan hidup,” ujarnya.

Kiprah Aleta menjaga pegunungan Mollo menginspirasi masyarakat lokal di daerah lain. Dia pernah pulang-pergi Kupang-Malang selama dua tahun pada 2013 untuk membantu penduduk Malang, Jawa Timur, menolak pembangunan hotel di area sumber air yang diandalkan lebih dari 500 keluarga.

Mantan Direktur Wahana Lingkungan Hidup Jawa Timur, Ony Mahardika, mengatakan ia mengajak Aleta membantu perjuangan warga Batu setelah melihat keberhasilannya melawan tambang marmer. Aleta berbagi pengalaman memperkuat akar rumput kepada warga di sekitar mata air Umbul Gemulo. “Kami terapkan strategi Mama Aleta di Mollo untuk menolak pembangunan hotel di Malang,” ujar Ony.

Ia juga sempat menyambangi warga Pegunungan Kendeng di Rembang, Jawa Tengah, yang melawan pembangunan pabrik semen. Menurut Aleta, PKB memintanya berbagi pengalaman karena suku Mollo dan petani Kendeng sama-sama menganggap alam sebagai sumber kehidupan. “Dia datang ke rumah saya dan bertukar pikiran,” kata koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng, Gunretno.

Aleta merasa kontribusinya untuk melestarikan alam bisa lebih besar apabila menjadi pembuat regulasi. Pada 2013, ia memutuskan bergabung dengan PKB dan maju sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nusa Tenggara Timur dalam Pemilihan Umum 2014. Ia terpilih setelah mendapatkan 3.997 suara. Sempat mewakili PKB di Komisi V, yang membidangi isu kesejahteraan, ia digeser ke Komisi III, yang mengurusi keuangan.

Selama bertugas di Komisi Kesejahteraan, Aleta mengungkapkan, ia mengawal terbitnya sejumlah peraturan daerah pro-lingkungan dan masyarakat adat. “Nurani saya tetap tak bisa lepas dari isu lingkungan,” tutur Aleta.

Peraih penghargaan Yap Thiam Hien pada 2016 tersebut kini berlaga sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur II. Cara kampanye Aleta tak jauh-jauh dari topik pelestarian alam dan pemberdayaan masyarakat adat.

Setiap kali bertemu dengan konstituennya, Aleta membagikan bibit tanaman alih-alih amplop berisi duit. Ia menyiapkan 600 ribu bibit sengon, alpukat, nangka, dan beringin untuk disebarkan selama masa kampanye kepada calon pemilihnya yang berada di sebelas kabupaten dan kota.

Meski demikian, Aleta menambahkan, isu lingkungan tak begitu diminati konstituennya. Calon pemilih lebih tertarik pada topik kesejahteraan seperti lapangan kerja dan harga kebutuhan pokok yang murah. Aleta tak ambil pusing. Penanaman bibit pohon pemberiannya oleh masyarakat selama kampanye sudah cukup membuatnya senang. “Tanpa alam yang hijau dan lestari, keberlangsungan hidup kita pasti terancam,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus