Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada anggrek-anggrek liar, Yoshi Mardoni Adisufana menyerahkan cintanya. Jantungnya seperti kena godam ketika suatu saat muncul kabar di koran. Polisi menangkap basah komplotan penyelundup anggrek di San Jose, California, Amerika Serikat. Gerombolan ini memasukkan secara ilegal 1.500 batang anggrek alam asli. Lebih mengejutkan lagi, bunga itu dijarah dari hutan perawan Indonesia.
Kejadian sebelas tahun lampau itu membuat Yoshi tersulut oleh gelisah. Roda kepunahan 500 jenis anggrek asli, the living jewel, di Indonesia menggelinding dalam kecepatan mengerikan. Hutan kita babak-belur dihajar kebakaran, disulap jadi perkebunan, dan isinya dijarah perompak.
Langkah harus diayun. Yoshi yakin betul, tanpa program konservasi yang drastis dan konsisten, keanekaragaman spesies hutan Indonesia—yang cuma kalah dari Brazil—akan tandas dalam hitungan tahun.
Teringat Yoshi akan gurunya, Profesor Sjamsoe’oed Sadjad, pakar ilmu benih di Institut Pertani-an Bogor. Pada 1980-an, Soe’oed pernah mengumpulkan benih pangan asli Indonesia, untuk dibawa calon astronaut Pratiwi Sudarmono ke angkasa luar. Rencana itu batal, tapi gagasan sang guru membekas. ”Saya bermimpi Indonesia punya bank genetik penyimpan benih semua tanaman yang pernah tumbuh di negeri ini,” katanya. Dengan begitu, jika beratus tahun dari sekarang hutan kita sudah musnah, tak akan ada satu spesies pun yang punah.
Teknologi untuk mewujudkan mimpi itu sudah lama tersedia: kultur jaringan. ”Prinsipnya sama dengan kloning,” Yoshi menjelaskan. Sel tunas tanaman diambil, dengan teknis khusus, lalu diperbanyak. Ayah dua anak ini menyebut teknologi yang dipakainya tak canggih-canggih amat. Tapi amat membutuhkan kesungguhan.
Pada September 2004 Yoshi mulai membangun laboratorium kultur jaringan idaman di perbukitan tandus di Jimbaran, pinggiran Denpasar, Bali. Lokasinya di pojok bengkel bus milik seorang kawan. ”Ada bangunan kecil tak terpakai, saya minta dan dikasih,” kata petani jagung ini.
Di laboratorium itulah, 300-an benih anggrek galur murni hasil kloningnya disimpan. Berjajar rapi dalam botol kaca dan tabung reaksi, memenuhi dua lantai laboratorium. Nilai komersial ratusan benih itu bisa membuat orang menahan napas. Sebatang anggrek Phalaenopsis violacea selundupan dari hutan Sumatera, misalnya, pernah dijual senilai Rp 300 juta di pasar gelap Amerika.
Tapi Yoshi belum hendak menuai untung. Dia bertekad baru akan menjual benih anggrek asli bila komunitas kolektor yang bertanggung jawab telah terbentuk. Selama pasar ideal belum ada, Yoshi membiayai kecintaannya pada anggrek dengan hasil berkebun jagung dan sayur-mayur. Untuk laboratorium, sedikitnya telah Rp 500 juta dia habiskan.
”Saya berutang budi pada banyak orang,” katanya merendah. Berbagai pihak memang dia rangkul. Di antaranya komunitas penggemar anggrek di dunia maya. Kolektor yang merelakan spesies langkanya diperbanyak akan mendapat sebagian hasil pembibitan secara cuma-cuma.
Yoshi juga bekerja sama dengan lembaga konservasi pemerintah, Kebun Raya Bedugul di Bali. Walhasil, setiap kali Kebun Raya menerima spesies anggrek langka, Yoshi mendapat akses mengabadikan benih dan materi genetiknya.
Berkat Yoshi, sebagian anggrek hutan kita kini aman tersimpan dalam botol-botol kaca. Dan harta karun lain, umpama tanaman berkhasiat obat yang jauh di jantung rimba juga menantikan sentuhan serupa. Sebelum segalanya menjadi dongeng.
Yoshi Mardoni Adisufana Tempat dan tanggal lahir: Jombang, Jawa Timur, 1 Desember 1968 Pendidikan: Sarjana Pertanian Jurusan Teknologi Benih Institut Pertanian Bogor, lulus 1993 Pekerjaan: Petani sayur-mayur dan peneliti kultur jaringan di laboratorium yang dia dirikan, Laboratorium Bali Planty Planet di Denpasar, Bali Karya:
Penghargaan: Finalis Penghargaan Cipta Lestari Kehati dari Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) Verifikasi: Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo