Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Lenyapnya Pengelola Penerbit Gosip

Pengelola penerbitan yang membidik pasar buku terlarang lenyap secara misterius. Sinyal menurunnya kemerdekaan berekspresi di Hong Kong.

11 Januari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebungkus rokok dan beberapa kotak berisi obat yang telah dibagi untuk dosis harian masih berada di meja, tempat Gui Minhai menulis buku-buku gosip politik tentang para pemimpin Cina. Selusin telur yang dibeli dua bulan lalu kini membusuk di dalam lemari pendingin. Apartemen pria 51 tahun di lantai 17 di Pattaya yang tepat menghadap ke arah Teluk Thailand itu kosong. Ranjangnya belum dirapikan sejak ia menghilang pada November lalu.

Sebagai pengusaha sukses di Hong Kong, Gui, yang memiliki kewarganegaraan Swedia, adalah orang keempat dari penerbitan Mighty Current yang hilang tanpa jejak. Tiga koleganya, Lui Bo, Cheung Jiping, dan Lam Wing-kei, lebih dulu "menghilang" setelah mengunjungi Shenzhen, Cina tenggara, secara terpisah pada Oktober lalu. Gui menghilang saat sedang berlibur di Thailand.

Kekhawatiran aktivis dan warga Hong Kong menjadi-jadi ketika Lee Bo, partner utama Gui di penerbitan tersebut, juga menghilang secara misterius pada 30 Desember 2015. Pria 65 tahun ini menjadi orang kelima dari penerbit sensasional yang mempublikasikan buku-buku terlarang di daratan Cina itu yang "menghilang".

Albert Ho, anggota parlemen Hong Kong yang menjadi pelanggan Toko Buku Rakyat milik penerbitan itu, yakin mereka diculik aparat keamanan Cina. Keyakinan Ho dipicu rumor bahwa pengelola penerbitan berencana meluncurkan buku tentang kisah cinta Presiden Xi Jinping.

"Setahu saya, mereka akan menerbitkan buku tentang kekasih Xi di masa lalu. Buku itu memang belum terbit. Tapi sejumlah peringatan telah disampaikan kepada para pengelola. Saya menduga hilangnya mereka terkait dengan masalah ini," kata Ho dalam jumpa pers pada Ahad dua pekan lalu, seperti dilansir Yahoo News.

Kecurigaan keterlibatan aparat Cina di balik hilangnya kelima pengelola Mighty Current diungkap dalam reportase harian Inggris, The Guardian. Pada awal Desember lalu, harian ini menurunkan sebuah artikel yang menelusuri hari-hari terakhir Gui di Thailand. Kepada koran ini, manajer apartemen mengaku menerima telepon dari seorang pria yang tak fasih berbahasa Thailand saat Gui tengah membeli kebutuhan sehari-hari.

"Dia menunggu di gerbang apartemen dan saya mendengar ia berbicara dalam bahasa Cina," ujar perempuan yang menolak menyebutkan namanya itu.

Saat kembali, Gui memarkir mobil dan kemudian berbincang dengan pria tersebut. Sang manajer mengatakan, Gui lantas meminta satpam apartemen membawakan barang belanjaan ke kamarnya. Berdasarkan rekaman kamera pengawas apartemen yang disaksikan The Guardian, pria tak dikenal itu masuk ke mobil dan mereka pergi.

Beberapa jam kemudian masuk serangkaian telepon aneh. Sang manajer menyebut Gui, atau pria yang membawanya, meminta buah yang tadi dibeli segera dimasukkan ke lemari pendingin. Suara di telepon juga meminta semua jendela apartemennya dikunci.

Telepon selanjutnya terjadi dua pekan kemudian. Suara yang mengaku sebagai Gui mengatakan kepada sang manajer bahwa sejumlah teman akan mengambil komputernya. Sehari kemudian kamera pengawas merekam empat pria berpakaian santai, seorang di antaranya menggunakan topi dan kaca mata hitam, tiba di apartemen itu.

"Hanya dua orang yang dapat berbahasa Thai," ucap sang manajer. Mereka menulis nama dengan identitas Cina dalam buku tamu dan menunjukkan surat yang katanya ditulis Gui sebagai izin untuk mengambil komputer.

Rekaman kamera pengawas menunjukkan mereka di dalam apartemen Gui selama 26 menit, tapi meninggalkan komputer milik Gui di meja. Mereka kemudian menelepon sang manajer karena lupa mematikan penyejuk udara yang sempat mereka nyalakan di ruangan Gui.

Beberapa hari kemudian sang manajer baru tahu Gui menghilang. Ia langsung mengontak nomor telepon yang digunakan para pria yang pernah ke apartemen Gui. "Seorang sopir taksi yang mengangkat telepon. Ia mengatakan telepon genggam itu ditinggalkan empat pria di taksinya." Sopir taksi ini menuturkan keempat pria itu berusaha menawar biaya untuk mengantar mereka ke Poipet, kota di Kamboja yang terkenal karena petugas imigrasinya mudah disuap.

Sang manajer kembali menerima telepon yang mengaku dari Gui, tapi sambungan terputus saat perempuan itu menanyakan apakah Gui baik-baik saja.

Wartawan The Guardian mencoba menghubungi tiga nomor yang digunakan Gui untuk menelepon manajer apartemen. Nomor pertama adalah nomor dari Kroasia, nomor kedua berasal dari Polandia, sedangkan nomor terakhir ternyata berasal dari Togo. Ketiga nomor itu sudah tak aktif. Begitu pula dengan nomor para pria yang mendatangi apartemen Gui. Nomor asal Thailand itu sudah mati.

Anggota parlemen pro-Beijing, Regina Ip, mendesak pemerintah Hong Kong segera mengusut kasus ini karena otoritas keamanan Cina daratan tak berhak bertugas di kota itu. Sejak kembali ke pangkuan Cina pada 1997, bekas koloni Inggris ini memperoleh konsesi besar dengan prinsip "satu negara dua sistem". Berdasarkan konsesi ini, Hong Kong berhak atas sistem hukum, politik, dan ekonomi yang berbeda dari Cina daratan.

Termasuk dalam keistimewaan itu adalah hak menerbitkan buku yang memuat topik terlarang menurut Beijing. Paul Tang Tsz-keung, pengelola toko buku milik penerbit Mighty Current, mengakui 50 persen buku yang dijual dilarang Beijing karena mengandung topik politik, agama, dan seks. "Semua itu sangat sensasional dan menggiurkan," ujar Tang kepada CNN, Rabu lalu, sambil tertawa.

Penerbitan buku dengan gaya tabloid dan diduga banyak dilebih-lebihkan itu terutama membidik kehidupan pribadi para pemimpin senior partai komunis. Salah satu buku yang laris terjual adalah kisah tentang skandal seks Bo Xilai, bekas Wali Kota Chongqing. Bo terlibat dalam pusaran kasus ketika istrinya, Gu Kailai, ditangkap atas tuduhan membunuh pengusaha asal Inggris, Neil Heywood. Mereka juga menulis kisah hidup Zhou Yongkang, salah satu bekas petinggi Cina yang sangat ditakuti pada zamannya.

Dengan koleksi serupa itu, toko ini menjadi incaran wisatawan asal Cina daratan yang haus informasi berbeda dengan yang ditawarkan Beijing. Sejumlah pembeli nekat membawa kembali buku-buku itu ke Cina. Tang menuturkan ada yang memasukkannya ke sampul buku kesehatan hingga buku romansa.

Salah satu pengunjung toko buku itu pada Senin lalu adalah seorang pensiunan asal Guiyang, kota di bagian selatan Cina. Pria yang menolak disebutkan namanya ini mengaku tengah mencari buku tentang sejarah yang dilarang di Cina. "Saya dapat belajar tentang sejarah di sini," katanya kepada CNN.

David Bandurski, editor untuk China Media Project di University of Hong Kong, menyebut Mighty Current menerbitkan fakta sensitif dan spekulasi tentang eselon tinggi Partai Komunis Cina. "Maka hilangnya para pengelola penerbitan menimbulkan kekhawatiran kebebasan berekspresi yang sangat dihargai di Hong Kong mungkin mulai terancam," ujarnya kepada The Telegraph.

Lee Po, partner Gui di Hong Kong, mengatakan temannya telah menerbitkan sekitar 200 buku selama sembilan tahun terakhir. Lee menegaskan Gui tak memiliki misi politik untuk menjatuhkan penguasa. "Dia hanya pebisnis yang sekadar mencari untung. Dalam bukunya lebih banyak gosip yang ditulis ketimbang fakta," katanya.

Selama hampir satu dekade berbisnis penerbitan, Gui meraup untung besar. Ia memiliki rumah di Hong Kong dan Jerman. Pada akhir 2014 ia membeli sebuah apartemen sebagai tempat beristirahat di Pattaya.

Sejumlah teori tentang hilangnya kelima orang itu pun beredar. Teori pertama menyebutkan mereka diculik karena sedang menyiapkan materi sensasional yang akan menyinggung orang nomor satu di Cina. Lee mengaku Gui menyimpan rapat-rapat materi terakhir. "Tak ada yang tahu isinya atau siapa yang akan ditulis."

Sedangkan seorang penerbit yang menolak disebutkan namanya kepada The Guardian mengaku curiga kelimanya hilang karena aksi pembalasan dari tokoh-tokoh yang pernah mereka singgung. "Para petinggi Cina menganggap masalah ini sangat personal," katanya.

Beijing mengawasi dengan ketat penerbit buku sejak 2014. Penulis asal Hong Kong dan Taiwan diwajibkan melalui sensor. Perintah ini disampaikan kepada semua penerbit di Cina. Banyak kasus penangkapan terhadap pengelola penerbitan terjadi di Cina karena mereka meloloskan buku yang memuat topik sensitif tentang petinggi di Beijing.

Pada 2014, Yao Wentian, warga Hong Kong dan pemimpin redaksi Morning Bell Press, ditahan setelah dibujuk ke Shenzhen. Menurut istri Yao, sebelum ditangkap, suaminya dijanjikan akan bertemu seorang kawan lama yang sudah lama tak berjumpa.

Bei Ling, aktivis Cina yang membelot ke Amerika Serikat, berteman dengan Gui sejak 1984, saat mereka kuliah di Peking University. Kunci dari kasus menghilangnya Gui, menurut Bei Ling, adalah taksi menuju Poipet. "Para pelaku ingin membawanya ke Kamboja supaya lebih mudah diekstradisi ke Cina," ujarnya.

Hanya beberapa hari setelah empat orang memasuki apartemen Gui, Kamboja mendeportasi 168 warga Cina yang disebut terlibat penipuan via telepon dan Internet. Mereka dipulangkan ke Cina dengan dua pesawat yang dikirim langsung dari Beijing. "Orang-orang itu kemungkinan mengambil paspor dan bukan komputer," kata Bei Ling. "Mereka kemudian mengirim Gui melalui Kamboja bersama para kriminal."

Namun masih ada kemungkinan mereka menghilang dengan sukarela. Istri Lee Bo, Choi Ka-ping, yang sempat melaporkan hilangnya sang suami kepada polisi Hong Kong pada 1 Januari lalu, mencabut laporannya pada Senin pekan lalu. "Setelah melihat tulisan tangannya, saya percaya dia menghilang atas keinginan sendiri," ucap Choi, seperti dikutip South China Morning Post, pada Selasa petang.

Sebelumnya, Choi menyatakan suaminya menelepon dan mengatakan pergi ke Cina karena sedang melakukan "penyelidikan". Tapi dia curiga dan memutuskan melapor ke polisi karena paspor Lee masih di rumah.

Anggota parlemen pro-pemerintah, Ng Leung-sing, menuding kelima pria itu menghilang karena ditangkap aparat saat sedang berasyik masyuk dengan pelacur. "Teman saya mengatakan polisi memiliki rekaman kegiatan cabul mereka. Istri Lee mencabut laporan karena sudah menyaksikan video itu," kata Ng.

Pengakuan lain diungkapkan anak perempuan Gui. Sang anak yang tak bersedia menyebutkan namanya mengaku menerima pesan ayahnya via Skype. Sang ayah mengatakan akan mengirim sejumlah uang ke rekening anaknya. "Saya tidak meminta uang dan dia tidak menjawab pertanyaan saya ke mana ia pergi," kata sang anak kepada The Guardian.

Dia tegas-tegas membantah ayahnya melarikan diri. "Jika memang berencana lari, dia pasti akan mengatakan kepada saya."

Sita Planasari Aquadini (CNN, The Guardian, Yahoo News, South China Morning Post)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus