Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Politik Dagang Ikan

25 Mei 2009 | 00.00 WIB

Politik Dagang Ikan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Qaris Tajudin
*)Wartawan

MENJELANG pemilih presiden, sejumlah partai politik menggalang koalisi. Maklum, suara yang mereka peroleh dalam pemilihan legislatif tidak cukup untuk mengajukan calon presiden sendiri. Kalaupun cukup, seperti halnya Partai Demokrat, tanpa koalisi mereka akan menjadi minoritas di parlemen. Ujung-ujungnya, kerja pemerintah akan selalu diganjal oleh oposisi.

Koalisi sah-sah saja, tapi para pengamat dan pemerhati politik menyayangkan proses pembentukan koalisi. Mereka menganggap kesepakatan yang diambil oleh partai-partai itu sebagai politik dagang sapi.

Kenapa proses politik itu diibaratkan seperti dagang sapi? Kalau ingin menggambarkan terjadinya tawar-menawar oportunistis dalam proses koalisi itu, kenapa tidak memakai istilah ”dagang kambing”, yang juga memakai tawar-menawar?

Di sejumlah daerah, cara jual-beli sapi memang agak berbeda dengan dagang ternak lainnya. Para pembeli dan penjual sapi melakukan transaksi tanpa kata-kata. Mereka bersalaman, lalu kedua tangan ditutup oleh kain putih. Di dalam kain putih—biasanya adalah sapu tangan—itulah transaksi terjadi. Sentuhan jari tangan dipakai sebagai isyarat tawar-menawar.

Tak ada yang tahu proses tawar-menawar itu kecuali penjual dan pembelinya. Tertutup, dirahasiakan. Itulah mengapa kesepakatan politik yang dilakukan dengan cara yang tidak transparan disebut sebagai politik dagang sapi.

Politik dagang sapi adalah idiom yang kerap dipakai, bahkan begitu seringnya hingga kita jadi bosan mendengarnya. Ini karena idiom di atas panggung politik Indonesia tidak berkembang. Terlalu sedikit untuk bisa menampung perkembangan demokratisasi belakangan ini. Dan—seperti biasanya—kita bisa menunjuk Orde Baru sebagai biang keladi. Mau menyalahkan siapa lagi, selain Soeharto yang selama lebih dari tiga dasawarsa membuat kita buta politik.

Tapi sepuluh tahun sebenarnya sudah cukup bagi kita untuk memunculkan istilah baru, jika kita memang mau kreatif dan tidak membebek dengan istilah yang sudah ada. Alih-alih istilah baru, panggung politik bahkan penuh sesak oleh akronim dan singkatan: caleg, capres, cawapres, pilgub, pilkada, pilpres, balon (bakal calon). Bahkan nama para kandidat disingkat menjadi JK-Win, Karsa.

Tidak berkembangnya bahasa politik juga terlihat dari artikulasi para politikus. Pada saat mengkampanyekan dirinya, mereka memakai kata dan kalimat yang itu-itu saja. Itu kalau bisa berpidato, yang gagap di atas panggung cukup mengirim penyanyi dangdut montok.

Padahal, kalau mau kreatif, ada banyak idiom yang bisa tercipta di atas panggung politik. Misalnya, sementara tawar-menawar tertutup ada ”politik dagang sapi”, untuk proses politik yang terbuka dan transparan kita mengambil perumpamaan transaksi dari pasar hewan juga: politik dagang ikan. Ini karena, di pasar ikan—lebih dikenal dengan singkatan TPI (tempat pelelangan ikan)—yang terjadi bukan tawar-menawar secara rahasia, tapi lelang terbuka. Semua bisa melihat proses terbuka itu. Yang menang, tentu saja, yang menawar lebih tinggi.

Selain politik adu domba yang sejak saya duduk di sekolah dasar dipakai untuk menerjemahkan divide et impera, kita mengenal politik belah bambu. Yang satu diangkat, yang lain diinjak. Tapi bagaimana dengan mengadu dua kelompok untuk melihat mana yang lebih kuat? Mungkin kita bisa memunculkan istilah baru: politik pecah telur. Untuk memecahkan dua telur, kita kerap mengadu keduanya, dan ajaibnya, hanya satu yang pecah.

Tapi, tampaknya, ini bukan soal sepuluh tahun atau lebih. Sejak sebelum Soeharto kita memang miskin kata di panggung politik. Hampir semua kata yang dipakai adalah serapan dari bahasa asing. Partai, politik, parlemen, legislatif, eksekutif, yudikatif, demokrasi. Maklum, politik memang barang asing bagi kita.

Selain dari bahasa Inggris, ada juga serapan dari bahasa Arab, misalnya dewan per-wakil-an rakyat, majelis per-musyawarat-an rakyat. Meski dari bahasa Arab, ada ”kreativitas” yang dilakukan orang Indonesia untuk pemakaian kata rakyat. Dalam bahasa Arab, rakyat sebenarnya diwakili oleh kata sya’b.

Sedangkan ra’yat aslinya berarti gembalaan. Kata ini diambil dari sebuah perkataan Rasul Muhammad: ”Kullukum ra’ wa kullukum masul an ra’yatihi.” Kamu semua adalah gembala (pemimpin) dan akan dimintai pertanggungjawaban akan ra’yat-nya (gembalaannya).”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus