Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gandjar Laksmana B.*
Sama halnya dengan alasan Polri bahwa penarikan penyidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi tak berhubungan dengan kasus simulator, tulisan ini pun bukan dipicu perkara yang sama. Artikel ini didasari sebagai sumbang saran untuk peningkatan peran lembaga itu dalam memberantas korupsi.
Sekadar meluruskan, istilah ”penyidik independen” bukanlah istilah yang tepat. Sebab, setiap penyidik adalah independen, yang bekerja hanya demi hukum dan untuk itu ia harus dapat mendudukkan persoalan secara proporsional dengan berlandaskan pada aturan hukum. Mengikuti konstruksi undang-undang, lebih tepat bila kita gunakan istilah ”penyidik KPK”.
Diskusi mengenai ”penyidik independen” muncul karena kebutuhan KPK agar dapat memiliki sumber daya manusia sendiri, tidak lagi berasal dari kepolisian ataupun kejaksaan. Wacana ini menimbulkan perdebatan yang bertumpu pada pertanyaan sederhana: apakah undang-undang memungkinkan adanya penyidik independen bagi KPK?
Untuk menjawab pertanyaan sederhana yang jawabannya pun sederhana, mari kita lihat beberapa hal yang bisa dijadikan dasar adanya penyidik KPK. Pertama, alasan historis lahirnya KPK. Kedua, latar belakang pemikiran dibentuknya KPK. Ketiga, landasan hukum dalam perundang-undangan.
Alasan pertama: historis. Reformasi 1998 mengamanatkan lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi. Reformasi bertujuan meletakkan kembali dasar-dasar kehidupan berbangsa dan bernegara dalam tatanan demokrasi, tempat penegakan hukum menjadi salah satu pilarnya. Orde Baru yang penuh kesewenangan dan korupsi ditumbangkan dengan semangat membangun kembali negara berdasarkan atas hukum, dan bukan kekuasaan. Semangat itu kemudian tercantum antara lain dalam bagian konsiderans Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang menyatakan ”bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas korupsi”.
Kenyataan bahwa lembaga negara yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi efektif dan efisien mendorong pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada penjelasan umum undang-undang itu disebutkan, penegakan hukum yang dilakukan secara konvensional terbukti mengalami berbagai hambatan.
Atas dasar hal-hal itu, gagasan pembentukan KPK beranjak dari perlunya dibentuk badan khusus yang independen dan bebas dari kekuasaan mana pun. Kebutuhan akan independensi itu bahkan ditegaskan setidaknya hingga dua kali pada bagian penjelasan umum.
Definisi penyidik dapat kita temukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa kita sebut KUHAP. Pasal 1 angka 1 KUHAP menjelaskan, penyidik adalah ”pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”.
Selanjutnya KUHAP mengatur definisi penyidikan, penyelidik, penyelidikan, termasuk juga definisi jaksa, penuntut umum, penuntutan, dan lain-lain. Pasal 6 ayat 1 KUHAP menyebutkan bahwa penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
KUHAP merupakan sumber hukum pidana formal Indonesia tapi bukan satu-satunya. Sebab, ada sumber hukum pidana formal yang lain, yakni sekurangnya 40 undang-undang. Di dalamnya diatur ketentuan hukum pidana formal yang berbeda dengan pengaturan KUHAP. Berdasarkan prinsip lex specialis derogat legi generali, ketentuan hukum pidana formal itu selanjutnya berlaku dan menyampingkan ketentuan KUHAP.
Berbagai contoh pengaturan hukum pidana formal yang terdapat di luar KUHAP itu antara lain pengaturan mengenai penangkapan di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme, pengaturan mengenai sistem pembuktian terbalik terbatas atau berimbang dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pengaturan mengenai tata cara sidang anak dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, dan lain-lain. Termasuk juga pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sebagai sebuah undang-undang yang di dalamnya juga mengandung ketentuan hukum pidana formal, Undang-Undang KPK itu antara lain mengatur secara khusus adanya penyidik yang berbeda dengan pengertian yang diatur Pasal 1 angka 1 KUHAP ataupun Pasal 6 ayat 1 KUHAP. Dengan prinsip lex specialis derogat legi generali, ketentuan yang diatur di dalam UU KPK dengan sendirinya menjadi ketentuan yang berlaku dan berdiri sendiri.
Pemahaman ini diperkuat dengan ketentuan Pasal 38 ayat 1 UU KPK yang menyatakan, ”Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi.” Berdasarkan ketentuan ini, dapat kita artikan bahwa (khususnya dalam hal ini) penyidik KPK mempunyai kewenangan yang sama dengan kewenangan penyidik yang diatur dalam KUHAP. Bila penyidik KPK harus berasal dari kepolisian, ketentuan semacam ini tidak perlu ada karena dengan sendirinya akan berlaku.
Selanjutnya, mari kita lihat ketentuan Pasal 39 ayat 3 Undang-Undang KPK yang berbunyi, ”Penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai KPK, diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.” Ketentuan ini kerap diartikan sebagai dasar bahwa penyelidik, penyidik, dan penuntut umum KPK harus berasal dari kepolisian dan kejaksaan. Apakah terdapat pemaknaan bahasa seperti itu dari pasal 39 ayat 1? Jawabnya: tidak!
Ketentuan pasal 39 ayat 1 lahir dari kebutuhan KPK untuk bergerak cepat dalam memberantas korupsi. Sebagai badan khusus yang baru didirikan, tentu membutuhkan waktu tidak sebentar untuk mempunyai penyelidik, penyidik, dan penuntut umum sendiri. Karena itu, dimungkinkan diambil tenaga penyelidik, penyidik, dan penuntut umum dari kepolisian dan kejaksaan.
Terakhir, peraturan khusus bagi penyidik dalam Pasal 45 Undang-Undang KPK. Pasal ini secara tegas menyatakan, ”Penyidik adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.” Ketentuan ini harus ditafsirkan tidak lain bahwa KPK dapat mengangkat dan memberhentikan sendiri penyidik.
Dengan mengacu pada berbagai landasan dan tinjauan hukum, dapat disimpulkan: tidak satu pun ketentuan Undang-Undang KPK menyatakan secara tegas bahwa penyidik KPK harus berasal dari kepolisian dan kejaksaan. Penyidik KPK punya kewenangan yang sama dengan penyidik yang diatur dalam KUHAP. Undang-Undang KPK mengatur secara tersendiri adanya penyidik yang diangkat dan diberhentikan oleh lembaga ini.
Kita juga dapat menggunakan metode perbandingan dengan negara lain untuk melihat apakah lembaga pemberantasan korupsi mereka mempunyai penyidik sendiri. Hong Kong, Malaysia, Singapura, dan Brunei merupakan contoh tempat lembaga antikorupsi memiliki penyidik sendiri atau juga dapat mengambil dari kepolisian.
Dengan melihat kedudukan yang independen, sudah sepantasnya KPK memiliki penyidik sendiri. Keliru menganggap KPK adalah lembaga ad hoc, karena undang-undang tidak menyatakan demikian. Bahkan secara tegas pada bagian penjelasan umum disebutkan bahwa pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh badan khusus ini harus berkesinambungan.
*) Pengajar Hukum Pidana dan AntiKorupsi FHUI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo