Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAMERA seorang warga menangkap Komisaris Polisi Rudi Asriman mondar-mandir di depan rumah Novel Baswedan, penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi, di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Sekitar dua pekan lalu itu, Rudi juga menemui ketua rukun tetangga tempat tinggal Novel untuk memastikan rumah yang tengah dipugar tersebut milik sang penyidik.
Di dalam foto yang dilihat Tempo, sepasang mata Rudi tampak mengawasi keadaan sekitar. Ia berdiri di belakang seorang lelaki, yang wajahnya terpotong tepi bidang foto. Dihubungi Senin pekan lalu, Rudi membantah telah memata-matai rumah Novel. ”Bukan saya. Salah lihat mungkin,” katanya.
Sejumlah sumber memastikan pria itu Rudi. Dia personel Pusat Pengamanan Internal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Ia ditugasi mengawasi Novel. Setelah kasus simulator kemudi meledak, Mabes Polri disebut-sebut memerintahkan personelnya memata-matai sejumlah penyidik KPK. Operasi ini, menurut seorang perwira tinggi, dipimpin seorang brigadir jenderal.
Tak cuma mengawasi, polisi juga mencari-cari kesalahan penyidik. Rudi, misalnya, mendatangi toko material penyuplai bahan bangunan buat rumah Novel. Pemilik toko ditanyai macam-macam, antara lain siapa yang membayari bahan-bahan bangunan yang dibeli sang penyidik. ”Siapa tahu dibayari cukong,” ujar sumber itu.
Gagal mencari kesalahan Novel di Jakarta, polisi membongkar-bongkar file lamanya. Sekitar dua pekan lalu, polisi dari Jakarta mendatangi Kepolisian Resor Bengkulu, tempat Novel pernah berdinas sejak 2003. Di sana, polisi menanyai bagian Profesi dan Pengamanan untuk menelisik: barangkali si penyidik pernah melakukan kesalahan.
Kepala Polres Bengkulu Ajun Komisaris Besar Joko Suprayitno membenarkan ada anggota Pengaman Internal Mabes Polri yang datang ke Bengkulu. Tapi, kata dia, ”Mereka langsung ke markas Polda.” Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan Kepolisian Daerah Bengkulu Ajun Komisaris Besar Hendrik Marpaung juga membenarkan kunjungan itu, tapi ia menyatakan tak bertemu dengan mereka. ”Saya tak tahu kepentingannya apa.”
Kepada Tempo, Novel menyatakan tak khawatir terhadap masa lalunya. Ia mengaku tak macam-macam sepanjang berkarier di kepolisian. Yang ia cemaskan: kesalahannya dibuat-buat. ”Tiba-tiba muncul kasus,” ujarnya. Benar saja, kasus penembakan pada 2004 di Bengkulu ketika Novel menjadi Kepala Satuan Reserse Polres Bengkulu tiba-tiba digulirkan.
Pada Jumat malam pekan lalu, setelah berjam-jam memeriksa Inspektur Jenderal Djoko Susilo sebagai tersangka perkara korupsi proyek simulator, Novel hendak dijemput polisi. Para polisi itu membawa surat penangkapan dengan tuduhan aneh: menembak seorang pencuri walet hingga mati. ”Itu rekayasa,” ujar Novel, yang pada waktu itu berpangkat inspektur pembantu satu.
Sejak Jumat petang, situasi di sekitar gedung KPK mencekam. Polisi makin lama makin banyak. Berdasarkan pantauan Tempo, ada sekitar 200 polisi ”mengepung” gedung. Mereka ada yang terang-benderang mengenakan baju dinas provos, ada yang berkemeja batik. Sebagian meriung di warung-warung dekat kantor komisi antikorupsi itu. Menenteng surat penangkapan dan penggeledahan yang tak dilengkapi penetapan pengadilan—menurut Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, surat itu bahkan belum diberi nomor—beberapa polisi yang mengenakan batik masuk ke lobi KPK.
Rombongan dipimpin Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Bengkulu Komisaris Besar Dedy Irianto. Ada sejumlah petinggi Polda Metropolitan Jakarta Raya berpangkat ajun komisaris besar. Mereka di antaranya Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Nico Afinta, Kepala Subdirektorat Kejahatan dan Kekerasan Ajun Helmy Santika, serta Kepala Satuan Reserse Mobil Herry Heryawan.
Novel sebenarnya berniat turun dari ruangannya di lantai 8. Tapi pemimpin KPK, yang menolak menerima surat penangkapan Novel, mencegahnya. Sumber lain di kepolisian mengatakan Novel terdesak. Sejumlah polisi yang terlibat dalam kasus penembakan 2004 dipaksa mengikuti skenario Mabes Polri. ”Fitnah itu semuanya,” kata polisi tersebut. Adapun Novel menyatakan, ”Saya siap menghadapi.”
Dedy dan kawan-kawan akhirnya bubar jalan menjelang tengah malam. Tekanan lebih dari seratus aktivis antikorupsi yang membentuk rantai manusia di luar gedung KPK agaknya membuat nyali keder. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto memerintahkan Kepala Polri Jenderal Timur Pradopo menarik polisi dari KPK. ”Menurut Kapolri, tak ada instruksi menurunkan anggota polisi ke KPK.”
Di Mabes Polri, Dedy Irianto tak membantah bermaksud menangkap Novel. ”Kami memang akan menangkap tersangka,” ujarnya. Yang janggal dari keterangan Dedy: kasus terjadi pada 2004 dan baru diusut dalam pekan-pekan ini. Dedy menyampaikan alasan yang menggelikan, ”Polisi baru dilapori oleh keluarga korban.”
Fakta lain, Novel sudah diperiksa Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Bengkulu dan dinyatakan tak bersalah. ”Perbuatan itu dilakukan oleh anak buah Novel,” kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Kepada Tempo, Novel menyatakan tak ada di lokasi ketika penembakan terjadi.
Teror sesungguhnya tak cuma menimpa Novel. Seorang penyidik perkara suap Bupati Buol Amran Batalipu juga terancam dikriminalisasi. Dalam operasi meringkus Amran, penyidik itu berbekal surat resmi KPK meminjam peralatan dari Brimob setempat. Kini peminjaman alat-alat itu dipersoalkan. Polisi menyebut peminjaman itu ilegal.
Ada juga penyidik yang rumahnya didatangi berulang-ulang oleh orang tak dikenal. Untuk meneror si penyidik, pagar rumahnya diterabas. Gembok yang menggerendel pagar dijebol hingga rusak. Si penyidik yakin perbuatan itu tak dilakukan orang iseng. Apalagi peristiwa itu terjadi setelah kasus simulator diusut KPK. Indikasi lain, pada saat bersamaan, namanya dibusukkan dengan peristiwa-peristiwa kecil saat menjalani pendidikan di Akademi Kepolisian.
Bambang Widjojanto mengatakan teror makin hebat setelah KPK melayangkan surat pemberitahuan pengangkatan 28 penyidik pada Rabu pekan lalu. Malam itu juga ada seorang penyidik yang rumahnya didatangi pria tak dikenal. Penyidik yang lain dibuntuti dari gedung KPK hingga ke rumahnya. Adapun Novel, kata Bambang, didatangi dua orang berinisial AA dan AD, yang mengaku sebagai utusan Kapolri, pada Kamis malam pekan lalu.
Kedua orang tersebut, ujar Bambang, meminta Novel menemui Koordinator Sekretaris Pribadi Pimpinan Kapolri Komisaris Besar Yazid Fanani. Tujuannya: mengklarifikasi teror terhadap Novel. Menurut Bambang, saat itu Novel mengatakan bersedia menemui Yazid bila diizinkan Busyro Muqoddas—pemimpin KPK yang kebetulan ada di kantor. Busyro tak mengizinkan.
Mabes Polri membantah ada operasi meneror penyidik, termasuk mencari-cari kesalahan mereka. ”Buat apa? Tidak pernah ada usaha seperti itu,” kata Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Komisaris Besar Agus Rianto. Masih menurut Agus, ”Kami sudah punya data itu di Mabes Polri kalau mau digunakan.”
Setelah penanganan kasus simulator, hubungan KPK-Polri makin ruwet terutama sesudah polisi menolak memperpanjang masa dinas 16 personelnya yang habis bulan lalu. Penolakan menyebabkan jumlah penyidik KPK menyusut. Sebelumnya, ada 88 personel Polri yang bertugas sebagai penyidik di sana.
Penarikan besar-besaran diperkirakan terjadi lagi bulan-bulan mendatang. Ada 12 penyidik yang masa dinasnya habis pada November. Berikutnya, 9 penyidik pada Desember, dan pada Februari-Maret tahun depan masing-masing 21 dan 1 penyidik. Bila tak ada penyidik pengganti, pada Maret nanti komisi antikorupsi diperkirakan lumpuh.
Khawatir pengusutan kasus terganggu, pemimpin KPK memutuskan mempertahankan mereka yang ingin tinggal. Senin dua pekan lalu, Sekretaris Jenderal KPK Bambang Prapto Sunu mengirimkan surat permohonan baru agar ke-16 penyidik tadi tetap bisa bekerja di KPK. Pada hari yang sama, 11 dari 16 penyidik tersebut tiba-tiba memutuskan kembali ke Mabes Polri.
Mabes Polri menyatakan penarikan penyidik tersebut untuk rotasi personel. Polisi bermaksud menyiapkan penyidik pengganti. Sepintas ini menyelesaikan masalah. Namun, untuk merekrut penyidik pengganti, KPK membutuhkan waktu 2-3 bulan, mulai pendaftaran hingga seleksi. Plus masa pengenalan, para penyidik baru efektif bekerja 4 bulan kemudian. Itu pun bila pendaftar mulus melewati seleksi. Bila tak lolos, penyaringan dimulai lagi dari awal.
Menyiasati kekurangan penyidik, KPK membuka lowongan. Selain pegawai Kejaksaan Agung serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, personel Polri yang ada di KPK pun ditawari. KPK bertukar pikiran dengan Mahkamah Agung serta Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi soal perekrutan penyidik internal ini.
Tak dipermasalahkan kedua lembaga itu, pada Rabu pekan lalu, KPK akhirnya melayangkan surat ke Mabes Polri. KPK memberitahukan telah mengangkat 28 personel penyidik sebagai pegawai tetap KPK. Lima di antaranya penyidik yang ditarik Polri pada September lalu. ”Semua sudah mendapat surat pengangkatan,” kata Busyro Muqoddas, juga Wakil Ketua KPK.
Menurut Busyro, pengangkatan personel Polri itu menjadi penyidik tetap KPK sudah sesuai dengan Undang-Undang KPK dan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK. Setelah diangkat menjadi pegawai negeri di KPK, ujar Busyro, para penyidik tersebut semestinya diberhentikan dengan hormat oleh Polri sebagaimana aturan yang berlaku di lembaga itu.
Polisi beranggapan sebaliknya. Juru bicara Mabes Polri, Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar, mengatakan 28 penyidik tersebut berpotensi melanggar aturan karena pindah tanpa bilang-bilang. Sebelum pindah, mereka semestinya mengajukan surat pengunduran diri dari kepolisian dan disetujui Kepala Polri. ”Pindah tanpa prosedur bisa diberhentikan secara tidak hormat,” kata Boy.
Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Nanan Soekarna memberi isyarat bahwa para penyidik yang tak kembali ke Mabes Polri setelah penugasannya di KPK selesai akan ditangkap provos. ”Sesegera mungkin ditahan,” katanya.
Anton Septian, Francisco Rosarians, Rusman Paraqbueq, Sundari, Isma Savitri (Jakarta), Phesi Ester Julikawati (Bengkulu)
Penyidik yang Lurus Hati
TAUFIK Baswedan menggambarkan adiknya, Novel Baswedan, 36 tahun, sebagai penyidik yang menyayangi ibu. Ketika pada Jumat pekan lalu sejumlah polisi mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi hendak menangkapnya, Novel mengabari sang abang lewat telepon. ”Dia bilang, 'Tolong jaga Ibu,'” kata Taufik, Jumat pekan lalu.
Novel pertama kali menyampaikan niat mundur dari kepolisian dan beralih status menjadi pegawai tetap KPK kepada ibundanya. Keputusan berat bagi keluarga itu. Menimang-nimang bermacam cara, lulusan Akademi Kepolisian 1998 ini memilih ”lobi pijitan”: pada suatu malam, ia mendekati ibunda dengan membawa minyak gosok. ”Saya mau pijat kaki Ibu dulu, baru ngomong mau mundur,” Novel menuturkan.
Seolah-olah bisa menebak isi hati putranya, sang ibu bertanya, ”Vel, kamu tak tertarik menjadi pegawai tetap KPK?” Mendengar perkataan itu, keputusan Novel pindah ke KPK makin bulat. Pada Rabu pekan lalu, namanya masuk daftar 28 penyidik yang diangkat menjadi pegawai KPK.
Novel masuk KPK pada Januari 2007, ketika lembaga ini dipimpin Taufiequrachman Ruki. Ia tidak termasuk lima penyidik yang dipaksa melapor ke Markas Besar Kepolisian RI paling telat Selasa pekan ini. Dalam surat penugasan yang dibuat Markas Besar Polri, masa dinasnya berakhir pada Desember. Bila masa dinasnya tak diperpanjang, ia semestinya balik kandang akhir tahun ini.
Nyaris enam tahun berkantor di KPK, perwira berpangkat komisaris ini sudah menangani rupa-rupa kasus. Ia anggota tim penjemput Muhammad Nazaruddin, yang lari ke Kolombia, dan menjadi penyidik sejumlah perkara yang membelit bekas Bendahara Umum Partai Demokrat itu. Novel juga ikut membawa tersangka kasus cek pelawat, Nunun Nurbaetie, dari Thailand pulang ke Tanah Air.
Belakangan, ia menjadi anggota satuan tugas kasus mafia anggaran yang menjerat anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Wa Ode Nurhayati. Sejumlah kasus yang melibatkan beberapa politikus Senayan pun ia telisik. Tak jarang Novel juga ikut menangkap tersangka korupsi, antara lain Bupati Buol Amran Batalipu dan tiga tersangka kasus suap anggaran Pekan Olahraga Nasional di Riau.
Lebih dari itu, Novel juga motor pengusutan kasus simulator kemudi yang menyeret sejumlah petinggi Polri. Ia memeriksa para perwira polisi yang jadi saksi perkara itu. Pada Jumat siang pekan lalu, ia menginterogasi tersangka utama: bekas Kepala Korps Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo.
Seorang petinggi KPK menyebut Novel sebagai salah satu penyidik terbaik di sana. Independensinya sebagai penyidik komisi antikorupsi membuat ia tak disukai di kepolisian. Di sebuah mailing list internal kepolisian, namanya dijelek-jelekkan setelah memimpin penggeledahan di Korps Lalu Lintas pada Juli lalu. Novel dicap sebagai ”pengkhianat” yang ”hendak menghancurkan korps”.
Meski diteror dan diintimidasi, Novel tak pernah bercerita kepada kolega dan keluarganya. Sepupunya, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, tak pernah mendengar Novel berkeluh kesah. Seorang koleganya di KPK berkata, ”Orang seperti Novel tak akan menceritakan kesulitan sendiri.”
Anton Septian, Rusman Paraqbueq
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo