Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Penyimpan musik yang punya sejarah

Pita rekaman basf, perekam musik bermutu yang pertama di dunia. musikus kenamaan, mulai dari sir thomas beecham sampai ebid g. ade direkam kaset basf, menurut survei, basf banyak dipilih konsumen. (sup)

8 Desember 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGAPA makin banyak perusahaan rekaman menggunakan pita magnetik BASF? "Untuk meningkatkan mutu," kata Jackson Arief pemilik PT Jackson Record - yang menempati "papan atas" produsen rekaman lagu-lagu Indonesia. Sebuah jawaban yang sederhana, memang. Tetapi, juga, yang bukan tanpa perhitungan. Jackson, tentu tidak bermaksud membual. Paling tidak, kesimpulannya didukung oleh survei sebuah lembaga yang menanyai 60 peminat pita rekaman musik berselera tinggi di Jakarta. Hasilnya: 63,3% responden menjatuhkan pilihan atas pita magnetik BASF, dan hanya 36,7% memilih dua produk lain. Para peminat itu juga bukan sembarang pilih. Mereka mempunyai alasan pribadi. Lebih dari 42% memilih BASF karena pita magnetik ini mempersembahkan "mutu rekaman yang bagus, dan tahan lama". Sekitar 36% memberi alasan untuk "suara yang jelas dan bersih". Sekitar 36% tertarik karena merk dagang BASF "banyak dikenal orang". Dan lebih dari 10% menyimpulkan pita magnetik BASF "tidak mudah kusut". Hanya sekitar 5% yang memilih BASF dengan "alasan-alasan lain". Memakai pita kaset bermutu. harus diakui, memang meningkatkan biaya produksi. Namun, perusahaan-perusahaan rekaman yang mapan dan ditunjang oleh jaringan pemasaran yang kuat tidak ragu-ragu melakukannya. Di sini memang terlibat masalah kredibilitas dan harga diri. Tetapi, juga perasaan bertanggung jawab dalam melayani konsumen. Lho! Bukankah bertambahnya biaya produksi mengangkat harga penjualan, dan pada gilirannya merogoh kocek para pecandu kaset lebih dalam? Betul! Para produsen yang menggunakan pita magnetik BASF memang tidak bisa memberikan harga "seribu tiga" pada kasetnya. Bahkan tidak bisa memberikan harga Rp 1.000/kaset. Tetapi, bila berbicara mengenai kepuasaan dan kenikmatan, para penggemar rekaman musik juga tidak semata-mata memandang harga. "Apa artinyasuara top Michael Jackson bila pitanya pleyat-pleyot dan 'keriting' hanya dalam beberapa hari," ujar seorang anak muda yang sedang memacu rekaman suara biduan pujaan itu di salah satu pusat penjualan kaset di Jakarta Pusat. Iwan, anak muda tadi, juga tidak sudi tape-deck-nya "mrotoli". Ia percaya, mutu pita magnetik mempengaruhi daya tahan tape recorder. "Tidak hanya head, mekanisme pesawat yang lain juga bisa terganggu," katanya. Karena itu ia tidak keberatan membeli kaset yang sedikit lebih mahal, ketimbang harus bolak-balik ke bengkel. Sikap yang sama tampak pula pada Asyikin, 45 tahun. Direktur perusahaan kecil swasta ini adalah penggemar musik Barat klasik, yang termasuk beruntung karena berhasil memperoleh tiket pertunjukan mahadirigen Zubin Mehta dan Orkes Filharmonik New York di Balai Sidang Jakarta, September silam. Sampai di dalam mobil pun Asyikin ditemani rekaman musik. "Dua bulan lalu," katanya, "Saya terpaksa membuang sejumlah koleksi." Beberapa pita yang kurang bermutu ternyata merusakkan tape recorder mobilnya. "Padahal," ayah dua anak itu menambahkan, "Di dalam pita itu terdapat banyak lagu kesayangan saya." Pilihan terhadap mutu memang merupakan kecenderungan yang makin berkembang di kalangan penggemar kaset musik di Indonesia, terutama dalam sepuluh tahun belakangan ini. Sebuah survei menunjukkan, hampir 50% pembeli kaset mengutamakan "mutu dan merk". Tetapi, apa yang bisa menjamin mutu? "Siapa yang bisa memastikan bahwa kaset yang kita beli betul-betul bermutu tinggi?" tanya Maringan, yang sedang berbelanja di salah satu pusat pertokoan di Jakarta. Memang, di situlah soalnya. Mutu memang bisa menjadi sangat nisbi, kecuali bila ia didukung oleh sejarah dan standar yang, paling tidak, diakui berlaku universal untuk jenis produk tertentu. Dan BASF, agaknya dengan sedikit kebanggaan, terpaksa mengakui memiliki kedua mata takaran itu. Yang pertama adalah sejarah. Syahdan pada 1888, seorang yang bernama Oberlin Smith menulis tentang kemungkinan merekam suara secara elektrik murni dengan memanfaatkan sifat magneffsasi. Artikel yang muncul dalam majalah The Electrical World terbitan Amerika itu baru menjadi kenyataan sepuluh tahun kemudian. Ketika itulah Valdemar Poulsen dari Denmark memperkenalkan Telegrafon. Ia menggunakan "spiral" kawat baja yang digulung di dalam tabung kayu secara tidak bersentuhan. Di atas kawat baja itu dipasang head yang bisa bergeser di sepanjang permukaan tabung. Bila tabung diputar, head ini "membaca" isi magnet kawat baja dari ujung ke ujung. Suatu penemuan yang dianggap sangat fantastis dan menakjubkan di zaman itu! Pada 1928, Fritz Pfleumer memperkenalkan sistem rekaman baru yang tidak lagi menggunakan kawat atau pita baja. Sebagai gantinya, Pfleumer menggunakan media pita kertas yang ditaburi serbuk besi. Penemuan ini menjanjikan banyak kemudahan. Tentulah lebih praktis menggunakan kertas bila dibandingkan dengan kawat atau pita baja yang sulit digulung, apalagi disambung. Tetapi, gagasan "revolusioner" di bidang pita magnetik baru muncul pada 1932. Ketika itu, di atas konsepsi Fritz Pfleumer, perusahaan elektrik Jerman AEG membuat mesin rekaman pertama didunia. Adapun bagian pengolahan pitanya dipercayakan kepada perusahaan kimia Jerman, Badische Anilin und Soda Fabrik - itulah BASF. Perusahaan ini berdiri sejak 1865. BASF menyarankan agar pita kertas Fritz Pfleumer diganti dengan plastik, yang lebih kuat dan tahan lama. Dan AEG setuju. Dalam dua tahun berikutnya, 1934, BASF menyerahkan 50.000 meter pertama pita rekaman yang baru dikembangkannya kepada AEG. Pita itu dipasang pada pesawat perekam Magnetofon, yang sangat menarik perhatian ketika dipajang untuk pertama kalinya di Pameran Berlin (Berlin Exhibition), 1935. Sejarah sebuah penemuan memang kerap kali mengandung segi yang unik dan faktor kebetulan. Arkian pada 19 November 1936, Dirigen Sir Thomas Beecham dan Orkes Filharmonik London yang sedang mengadakan pertunjukan lawatan ke Jerman singgah di Ludwigshafen - "home base" BASF sampai sekarang. Perusahaan ini tidak melewatkan kesempatan tersebut: Sir Thomas Beecham adalah dirigen legendaris pada zamannya. BASF mengundang dirigen dan orkes raksasa itu main di Feierabendhaus, khusus untuk keluarga karyawan perusahaan. Pertunjukan itu tidak selancar yang diharapkan. Di tengah pengunjung yang melimpah ruah, Sir Thomas Beecham - seperti kebanyakan para maestro - menunjukkan sifat rewel dan penaik darahnya. Pertunjukan tertunda setengah jam karena Beecham tidak puas pada suasana dan akustik gedung yang dianggapnya tidak memenuhi syarat. Wali kota Ludwigshafen terpaksa naik ke panggung untuk membujuk sang dirigen. Sementara itu, seorang teknisi membisikkan bahwa pagelaran ini akan direkam dengan menggunakan pita magnetik. Sir Thomas Beecham, yang selalu tertarik pada penemuan baru, tiba-tiba bersemangat. Itulah rekaman musik yang pertama di dunia! Itulah sejarah, dan sejarah itu memahatkan nama BASF. Dengan tanggapan frekuensi hanya 50Hz-5KHz, dengan dinamika kurang dari 40dB, mendengarkan rekaman itu sekarang ini bagaikan membaca prasasti purba. Nada tengah sangat dominan, sementara suara bass dan treble nyaris tak terdengar. Di atas pita kuna itu, Sir Thomas Beecham dan Orkes Filharmonik London memainkan sejumlah karya abadi, di antaranya Simfoni No. 39 dalam E Flat mayor Mozart, dan Introduksi dan Cortege dari Le Coq d'Or Rimsky-Korsakov. Pada sekitar 1948, LGH, pita domesffk pertama BASF, dimainkan dengan kecepatan 19 cm/deffk dalam dua track (jalur). Pita long-play pertama dihasilkan BASF pada 1953, dan BASF jugalah yang menampilkan pita permainan ganda (1958), serta pita permainan triple (1961). Dua tahun sebelumnya, BASF menciptakan pita sistem empat track. Sejak penemuan sistem kaset, 1963, BASF menciptakan kaset dengan sistem SM - suatu mekanisme khusus pencegah kemacetan pita akibat pelilitan yang tidak merata. Kini, produk BASF menjangkau daerah yang luas: aneka ragam pita untuk keperluan profesional dan amaffr, radio dan tape recorder, serta berbagai hi-fi. Tetapi, sejarah saja mungkin tidak cukup kuat untuk dijadikan sebagai satu-satunya takaran. Maka orang pun mulai berpaling kepada standar - semacam kesepakatan bersama untuk mengakui mutu barang berdasarkan pengujian terhadap pelbagai aspek. BASF ikut gembira, karena lagu-lagu Indonesia dengan mutu prima kini sudah bisa dinikmati pendengar di atas pita BASF Ferro Extra, yang dijadikan acuan mutu jenis pita kelas Ferro (I) oleh Intemational Electrotechnical Commission (IEC). Berkedudukan di Jenewa, Swiss, lembaga resmi penentu standar internasional mutu kaset ini beranggotakan sejumlah produsen pita kaset kaliber dunia. Di antaranya terdapat AGFA, DENON, FUJI, HITACHI, MAXELL, MEMOREX, PIONEER, SANYO, SCOTH, SONY, TDK, PD Magneffcs, dan BASF sendiri. Sebagai pencipta pita magnetik, BASF juga tercatat sebagai yang pertama di dunia yang memenuhi standar DIN Jerman Barat, dan diakui oleh The Intemational Organization of Standardization. Mutu, tentu saja, lahir dari usaha penelitian dan pengembangan yang tiada mengenal henti. Di pabrik BASF Indonesia di Jalan Daan Mogot, Cengkareng, Jakarta, debu pun tidak boleh masuk demi mempertahankan keandalan mutu. "Kalau debu sampai masuk ke pabrik, proses pembuatan pita kaset bisa terganggu," ujar T:D. Oentoro, manajer produksi BASF Indonesia. Insinyur teknik elektro lulusan Universitas Stuttgart, Jerman Barat, itu mengakui, "Proses produksi di sini rumit dan ketat." Kaset yang lolos ke pasaran dituntut "bebas dari cacat". Sejak dari bahan baku sampai menjadi rakitan kaset, produk pita rekaman BASF harus melalui sebelas kali peneliffan mutu. Sebelas kali! Peneliffan itu dilakukan dengan menggunakan teknologi komputer, tetapi juga sebagian oleh tenaga manusia. Sepuluh tahap penelitian dan pengujian disebut "quality assurance" (QA) - jaminan mutu. Pemeriksaan kesebelas dinamakan "quality control" (QC) - pengawasan mutu. "Itu pun belum cukup," kata Oentoro, seraya membetulkan letak kaca matanya yang plus dua. Sampel kaset itu masih harus dites di laboratorium BASF di Jerman Barat. Baru setelah itu diserahkan ke IEC di Jenewa, Swiss, untuk mendapat pengakuan. "Pokoknya berat," kata Oentoro menambahkan. "Soalnya, di Jenewa itu bercokol para ahli yang diakui punya bobot dunia." Nah, kaset yang lolos dari pengujian berbagai tahap itulah yang kini berada di tangan Anda! Tetapi, mengapa sampai demikian ketat? Teknologi tinggi memang hanya mungkin dicapai melalui penelitian dan pengembangan terus-menerus. BASF mengerahkan lebih dari 10.000 tenaga ahli riset, serta melibatkan biaya dan investasi sekitar DM 1,335 milyar setiap tahun untuk sektor penelitian dan pengembangan itu. Dan hasilnya, mudah-mudahan, tidak mengecewakan. Pita rekaman BASF Ferro Super IEC 1, misalnya, diakui melampaui standar IEC. Di Indonesia, pita ini paling banyak dipilih untuk merekam lagu dan musik Barat. Dan pita BASF Ferro Extra, yang dijadikan standar mutu pita kelas Ferro (I) oleh IEC, mulai makin luas penggunaannya untuk rekaman lagu dan musik Indonesia. Di samping itu, pita BASF Chromdioxid 11 juga dipilih oleh IEC sebagai acuan (referensi) mutu jenis pita kelas Chromdioxid (11). Di Indonesia, dengan perkiraan total produksi kaset buatan dalam negeri sekitar 100 juta/tahun dan permintaan pasar 70 juta/tahun, BASF baru menempati porsi pasar lokal 20%. Padahal, pabrik pita kaset di Cengkareng itu rata-rata memproduksikan 35 juta kaset/tahun. Dari produksi 35 juta kaset itu, hanya sekitar 60% yang beredar di Indonesia. "Sisa"-nya diekspor ke Australia, Selandia Baru, Eropa Timur, dan - jangan kaget Jerman Barat! Tidak kurang dari 60% total ekspor BASF Indonesia justru memenuhi permintaan dan kebutuhan negeri induknya, meskipun pabrik BASF di Ludwigshafen menjual produk yang sama. Sebagian besar kaset yang Anda lihat di etalase toko elektronik di Hamburg, Frankfurt, atau Hannover itu, justru dibikin di Cengkareng. Di antara pabrik pita rekaman kelompok BASF di dunia, pabrik Cengkareng menempati urutan terbesar ke lima. Berapa banyak tenaga kerja yang diserap pabrik Cengkareng itu? Tidak kurang dari 1.000 karyawan 900 bekerja di pabrik, sisanya menjalankan roda administrasi di kantornya di Kuningan. Dari seluruh alokasi tenaga itu, hanya dua tenaga asing, termasuk Winfried J. Werwie, presiden direktur perusahaan. "Bekerja di sini menyenangkan," kata Werwie, "Iklim berusaha di Indonesia cukup baik." Werwie tidak berbicara banyak mengenai "alih teknologi". Yang jelas, setiap tahun ia mengirim paling sedikit tiga tenaga Indonesia untuk belajar ke Jerman Barat. Dari sana, ia mendatangkan tenaga pelatih untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan karyawan di sini. Tidak selamanya tenaga pelatih itu datang dari Ludwigshafen. Bisa saja Werwie meminta tenaga pengajar dari pabrik BASF di Amenka, misalnya. "Iklim berusaha yang cukup baik dan ditunjang dengan letak geografis yang strategis," seperti dikatakan Werwie, mendorong BASF Indonesia mengajukan permohonan perluasan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Pabrik ini merencanakan perluasan dengan tambahan investasi US$ 15 juta, atau sekitar Rp 15 milyar. "Tidak besar, memang," kata Werwie, "Tetapi cukup untuk dapat melipatgandakan produksi pita kaset audio serta zat warna yang sekarang berjalan bersamaan di Cengkareng, serta mulai membuat kaset video dan beberapa produk lain, seperti: demulsifier, flocculation agents atau zat-zat kimia dasar". Rencana perluasan tersebut sesungguhnya telah diajukan kepada BKPM pada bulan Februari lalu dan ia berharap dapat segera terealisir. Karena itu Werwie menyambut dengan gembira ucapan Ir. Suhartoyo di depan para pengusaha dan unsur pemerintah daerah dari sembilan provinsi di Indonesia, 21 November lalu. Dalam kesempatan itu, Ketua BKPM tersebut mengatakan antara lain, "BKPM akan mendorong pengusaha agar melakukan perluasan, sebagai upaya menggiatkan kembali aktivitas ekonomi Indonesia yang saat ini lesu." Di bagian lain, pada acara temu usaha yang juga dihadiri Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Ketua Bappenas Prof. Dr. Sumarlin dan Menteri Dalam Negeri Soepardjo Roestam itu, Ir. Suhartoyo meyakinkan, "Prosedur penanaman modal juga akan terus disederhanakan untuk lebih merangsang pengusaha berinvestasi." Pada saat ini, kapasitas terpasang pabrik BASF Indonesia yang diizinkan Departemen Perindustrian baru 35 juta kaset audio tiap tahun. Dari kenyataan bahwa 40% produk BASF Indonesia dipasarkan di dalam negeri, dapat diketahui, kaset BASF mulai banyak digunakan untuk merekam lagu-lagu Indonesia bermutu. "Rekaman untuk penyanyi tenar seperti Ebiet G. Ade, misalnya, lebih baik dilakukan di atas pita BASF," kata Berry Berlian, manajer produksi PT Jackson Record. "Lagu, lirik, dan musik yang baik perlu direkam di atas pita bermutu, supaya konsumen puas." Jackson Arief menambahkan: "Penggunaan pita BASF adalah jaminan bukan kaset bajakan." Danny Jozal, direktur pemasaran PT Basf Indonesia, justru melihat aspek ini dalam hubungan dengan perluasan usaha. Sekarang, katanya, "Sekitar 50% pasaran dalam negeri untuk kaset bermutu tinggi sudah kami peroleh." Karena itu, "Jika izin perluasan nanti keluar, produksi kaset audio BASF akan dilipatgandakan." Proyeksi pertumbuhan pasar pita kaset di Indonesia, 1984-1988, diperkirakan mencapai 40%. Memang lebih kecil bila dibandingkan dengan periode 1976-1980 yang 300%, atau 1980-1984 yang 60%. Soalnya, menurut Danny, "Pasar 1984-1988 masih dipengaruhi suasana resesi." Di samping itu, Danny tidak menutup mata terhadap kenyataan persaingan yang semakin tajam dengan perusahaan sejenis. Mungkin ada alasan lain. Keragaman produk yang mengisi pasar juga bertambah, misalnya kaset video. Sepintas kilat, minat masyarakat saat ini sedang menggalak di sektor kaset video tersebut. Dampaknya dapat saja mengurangi porsi pembelanjaan untuk kaset audio. Namun, Danny yakin, "Peningkatan selera konsumen akan mutu kaset audio tetap memberi peluang pasar yang cerah." BASF percaya, era persaingan kini sudah memasuki "pasar mutu". Perusahaan ini menaruh kepercayaan yang sangat besar terhadap konsumen, dan perekam yang tuntutannya terhadap mutu senantiasa meningkat. "Masyarakat senantiasa mencari barang dengan nilai lebih pada mutunya," kata Danny Jozal, "Apalagi kalau ditunjang oleh daya beli yang terus meningkat." BASF juga meninjau proyeksi pasar dari struktur kependudukan. Dari hasil sensus 1980, perusahaan ini melihat konsumen potensial dari bertambahnya penduduk Indonesia yang memiliki daya beli mandiri. Apalagi, kini makin banyak lembaga pendidikan kejuruan, yang membukakan pintu ke pasar kerja bila seseorang selesai menuntut ilmu. "Memang, ini baru perkiraan," kata Danny. Dalam persaingan dengan perusahaan lain yang sejenis, BASF tampil sebagai kompetitor yang sadar. "Posisi atas," kata salah seorang eksekufff perusahaan ini, "Biasanya selalu menjadi sasaran 'tembakan' yang pertama pula." Berada di atas berarti menyediakan diri untuk 'ditembak' lebih dulu, sebelum nomor dua, tiga, dan empat. Itulah risiko. Dan BASF memandang kompetisi sebagai sesuatu yang sehat, semacam tantangan untuk terus maju, "agresif dan inovatif". BASF memang seolah-olah sudah menjadi satu dengan dunia rekaman. Di Indonesia, seperti halnya di banyak negeri lain, ingatan terhadap BASF selalu dikaitkan dengan dendang yang terdengar merdu dari kotak perekam. Padahal, pita rekaman hanyalah salah satu dari produk BASF yang mencapai ratusan. Bacalah kembali nama lengkap perusahaan ini: Badische Anilin und Soda Fabrik. Ketika didirikan di Ludwigshafen, 1865, BASF tampil sebagai perusahaan industri kimia - kini salah satu yang terbesar di Eropa. Pabrik ini memproduksikan bahan baku dan energi, bahan kimia pertanian, plastik, zat kimia, zat pewarna, dan barang-barang konsumsi berupa cat, bahan pelapis, bahkan obat-obatan. BASF Grup melipuff 276 perusahaan di 62 negara, dengan omset penjualan dunia DM 37,850 milyar pada tahun 1983. Di perusahaan ini bernaung 114.128 karyawan 1.000 di antaranya di Indonesia. Jumiah pabrik BASF di seluruh dunia tidak kurang dari 117 buah. Di Ludwigshafen sendiri, BASF menempati areal seluas 14,5 km2. Sebagai perusahaan perintis industri kimia terkemuka, BASF kini pemegang 30.000 hak paten di seluruh dunia. Melihat iklim berusaha dan prospek pasaran kaset yang cerah di Indonesia, BASF akhimya juga tertarik untuk membangun pabrik di sini. Keinginan itu menjadi kenyataan pada 1976, ketika PT BASF Indonesia Magneffes didirikan secara resmi. Menggunakan fasilitas proyek penanaman modal asing (PMA), nilai investasinya saat itu mencapai US$ 6,8 juta. Produksi komersial baru dimulai 1977. "Toh kami sudah merupakan perusahaan pita magnetik terbesar di Asia, dan ingin berbicara di pasaran Asia Pasifik," kata Winfried J. Werwie. Harapan itu, agaknya, tidak berlebihan. Paling tidak, BASF kini satu-satunya produsen pita kaset di Indonesia yang melakukan ekspor ke luar negeri. Pita buatan Indonesia itu dipasarkan sampai ke Kanada, Inggris, Jepang, Australia, Selandia Baru, Singapura, Muangthai, Filipina, Taiwan, Hong Kong, Sri Lanka, Pakistan, dan Uni Soviet. Di Indonesia, sebagian besar perusahaan perekam kenamaan telah menggunakan pita kaset BASF. Bukan hanya untuk lagu dan musik Barat, melainkan juga makin banyak digunakan untuk merekam lagu dan musik Indonesia sendiri. Di pasar internasional, pita kaset BASF digunakan antara lain oleh perusahaan-perusahaan perekam Intercord, RCA, A&M, Abbey, Albion, CBC, CRD, Decca, Island, London, MCA, Phonogram, Polydor, Rough, Trade, Stiff, Telydisc, Virgin, WEA, dan Deutsche Grammophon. "Kami bersyukur, bahwa kepercayaan yang begitu besar diberikan kepada BASF," kata Winfried J. Werwie. Tetapi, di Indonesia sendiri BASF tidak hanya memasarkan pita kaset. Perusahaan ini juga menjual zat pewarna tekstil, antara lain Basilen dan Palanil dipasarkan oleh PT Tira Wahari Lestari. Tidak banyak yang tahu, agaknya, kalau BASF juga memasarkan di sini produk yang terdengar agak jauh dari dunia lagu dan musik. Misalnya, produk yang menunjang sektor pertanian. Tetapi, demikianlah kenyataannya. Di sini tersedia produk BASF seperti pupuk NPK Nitrophoska, pupuk daun Nitrophoska, Formic Acid, juga pestisida yang ampuh untuk melindungi tanaman, misalnya Polyram, Calixin, Cobox, Perfekthion, Basagran, Basfapon, U 46, dan Pix (oleh PT Krikras/BASF Dept.). Untuk dunia peternakan, BASF menawarkan pelbagai vitamin dan makanan additives. BASF juga memasarkan obat jerawat (Eudyna), tonikum (Aktivinad), dan obat liver (Reducdyn). Obat-obatan itu diproduksi PT Tunggal, di bawah pengawasan Nordmark-Werke GMBH. Di kalangan pemakai komputer, disc BASF sudah bukan lagi barang asing. Tidak heran, kalau total angka penjualan perusahaan ini tahun lalu saja mencapai DM 37,850 milyar. Pelbagai kenyataan itulah, antara lain, yang menempatkan BASF sebagai perusahaan kimia raksasa terbesar nomor satu di Eropa, dan nomor dua di seluruh dunia. "Logo kami adalah jaminan dan tanggung jawab kami, yang senantiasa menjaga secara kontinyu kebersihan dan akurasi di divisi produksi," ujar salah seorang pemimpin perusahaan. Ternyata, bukan hanya kebersihan dan akurasi yang menjadi perhatian perusahaan ini. "Kami terutama selalu berusaha menyatakan tanggung jawab perusahaan di negeri tempat kami beroperasi," ujar Warsito Sunotoredjo, direktur keuangan PT BASF Indonesia Magnetics. Tahun lalu, perusahaan ini menyetorkan berbagai macam pajak kepada pemerintah dalam jumlah hampir Rp 3 milyar. "Itu bukan sumbangan, tetapi kewajiban," kata Warsito, yang pernah dua tahun mengikuti latihan kerja di pusat BASF, Jerman Barat. Mengenai peraturan perpajakan yang baru, BASF tampaknya tidak cerewet." Kami patuhi, toh untuk pembangunan," Warsito menambahkan. Namun ia menyayangkan dihapuskannya tax holiday sejak awal tahun ini. Pajak memang bukan satu-satunya yang menuntut tanggung jawab. Sebagai proyek industri, misalnya, BASF tidak menutupi kenyataan bahwa pabriknya juga "menghasilkan" limbah yang bisa mengakibatkan pencemaran lingkungan. Sebagai perusahaan industri kimia raksasa yang sudah beroperasi 119 tahun, BASF sadar betul akan segala aspek polusi. "Ketakutan terhadap polusi itu bersifat universal, jadi kami sangat memperhaffkannya," ujar Sumaryono Widoyoko, direktur personalia dan umum PT BASF Indonesia Magnetics. Apalagi, sebagian besar karyawan BASF Indonesia bertempat tinggal di sekitar pabrik. Karena itu, jauh-jauh hari BASF menginvestasikan lebih dari Rp 500 juta untuk peralatan pengendalian polusi. Sumaryono menjamin. sistem pengendalian polusi BASF bekerja efektif. Lebih dari itu, sistem ini juga berfungsi mendaur ulang limbah produksi. Yang terakhir, dan ini mungkin bisa dipandang unik, proses daur ulang terakhir, yang tidak bisa dimanfaatkan di sini, dikapalkan dan dikirim ke Jerman Barat. Di pabrik induk di sana, teknologi canggih memanfaatkan "ampas" buangan Cengkareng itu. Bukan hanya itu yang dilakukan BASF untuk lingkungannya. " Kami juga mendiri kan musala, poliklinik lengkap, dan jalan-jalan kampung yang menuju ke rumah-rumah karyawan," kata Sumaryono. Bahkan, BASF memikirkan distribusi air bersih untuk masyarakat yang bermukim di sekitar pabrik. Kegiatan rekreasi di luar acara dan jam kerja mendapat porsi perhatian yang tidak kecil. "Fasilitas untuk hampir semua cabang olah raga tersedia di sini," kata Sumaryono. Dengan sedikit rasa bangga, ditahan lamarektur yang berkulit hitam manis ini minta dicatat bahwa BASF juga mempunyai kesebelasan sepak bola. " Belum sekuat Bayern Muenchen," katanya, "Tetapi sudah masuk Galakarya. Sebentar lagi, band BASF Indonesia sudah pula bisa manggung. Kabarnya, untuk kepentingan kesejahteraan seperti ini, BASF menyisihkan dana yang cukup besar. Profil sebuah perusahaan, apalagi perusahaan yang telanjur memilikinama dan sejarah panjang, memang bisa dituliskan berkepanjangan. Aspeknya demikian banyak, lika-liku sejarahnya demikian kaya, dan produknya menjangkau pasar dunia. Tetapi, BASF ingin menyimpulkan profil itu dalam kalimat sederhana, yang tidak terlalu sukar diingat, dan juga tidak terlalu jumawa. Dan itulah filosofi BASF di sini: "Menyuguhkan yang terbaik di antara yang baik kepada masyarakat konsumen, khususnya konsumen Indonesia." BOKS SIAPA Dl BELAKANG BASF INDONESIA? WAJAH dan nama ini mungkin merupakan sesuatu yang baru untuk Anda. Mereka-lah, dengan dukungan sekitar 1.000 karyawan, yang tidak pernah berhenti berpikir untuk meningkatkan mutu pita kaset yang kini berputar di kotak rekaman Anda. Mungkin Anda belum puas terhadap hasil teknologi tinggi yang mengolah pita kaset itu sebelum sampai ke tangan Anda. Mungkin juga Anda agak risau pada harganya yang sedikit lebih mahal bila dibandingkan dengan pita yang menyandang logo lain. Mereka pun memikirkan faktor itu. Tetapi, paling tidak, mereka bisa meyakinkan Anda bahwa pita kaset itu lahir dari sejarah produksi yang memakan hampir setengah abad, dan sudah diuji oleh para penentu standar intemasional yang diakui. Mereka sanggup berjanji, bahwa pita kaset dengan Iogo BASF tidak bakal mengecewakan. Dan sudah banyak orang yang sangat mempercayai janji itu. WINFRIED J. WERWIE Chief Executiue BASF Indonesia dilahirkan di Trier, Jerman Barat, 43 tahun lalu. la lulusan University of Cologne & Frankfort, yang kemudian menambah pengetahuan business and administration di Fountainablaue, Prancis. Pada 1967, Werwie memulai kariemya di divisi pigment BASF Barcelona. Setahun kemudian, hingga 1971, ia ditempatkan di BASF Isopor-lsonor di Sao Paulo. Pada 1972-1977, Werwie dipindahkan ke divisi glasurit, BASF F + F,AG di Hiltrup. Setelah itu, untuk dua tahun, 1978-1980, ia ditempatkan di BASF Madrid, Spanyol. Werwie ditarik ke "markas besar" BASF di Ludwigshafen, 1981, dan tetap di sana hingga awal 1984. Barulah pada pertengahan tahun ini ia dipercayakan menduduki jabatan Presiden Direktur PT BASFIndonesia. SUMARYONO WIDOYOKO Ayah dua putri ini pernah mengecap pendidikan di Fakultas-Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1955-1957. Ia kemudian mengikuti berbagai pendidikan profesional: sales training Sarinah di Tokyo, management training di Shell Indonesia serta Dunlop Singapura dan Kuala Lumpur, dan training di BASF Ludwigshafen. Pada 1958-1963, Sumaryono menjadi sales inspector di Shell Indonesia. Setelah itu, hingga 1971, ia bekerja sebagai manajer senior di Department Store Sarinah, Jakarta. Untuk dua tahun berikutnya, Sumaryono menjabat manajer pemasaran Dunlop Indonesia. Sejak 1974, tokoh yang dilahirkan di Surabaya, 23 Desember 1934 ini menggabungkan diri dengan BASF Indonesia. WARSITO SUNOTOREDJO Insinyur kimia teknik lulusan Aachen, Jemman Barat, ini lahir di Bandung, 22 Februari 1950. Selama dua tahun ia mengikuti training di BASF Ludwigshafen, 1982-1984. Sejak Juni lalu, Warsito dipercayakan sebagai direktur keuangan BASF Indonesia. H. MOTZ Direktur Teknik PT BASF Indonesia ini dilahirkan di Wina, Austria, 43 tahun lalu. Di kota kebudayaan yang tua itu juga ia menempuh pendidikan dasar dan menengah, sebelum menyelesaikan pendidikan teknik di perguruan tinggi, 1967, dan meraih gelar doktor, 1970. Segera setelah itu, Motz bergabung dengan BASF di Ludwigshafen, Jerman Barat. Ia dipercayakan memperkuat laboratorium riset pusat perusahaan tersebut khusus di bidang damar dan getah sintetis, sesuai dengan jurusan rekayasa kimia yang ditekuninya di bangku kuliah. Setahun kemudian, ia pindah ke divisi riset dan pengembangan media magnetik. Di divisi itu, Motz tujuh tahun bergelut dalam pengembangan semua jenis media magnetik untuk aplikasi EDP, audia, dan video. Pada 1978, ia ditugaskan menjadi manajer produksi pabrik media magnetik BASF. "Saya tiba di Indonesia pada pertengahan 1980," kata Motz. Ia bangga bahwa BASF Indonesia kini tidak hanya memproduksikan pita kaset, tetapi juga pelbagai pigmen. DANNY JOZAL Direktur pemasaran BASF Indonesia ini datang dari latar belakang pendidikan yang agak "lain": ia dari fakultas kedokteran (1969-1975). Tetapi, setelah itu, Danny menempuh pendidikan profesional manajemen dan pemasaran di Jakarta, Singapura, dan Kuala Lumpur, serta audio uisual sound training di Tokyo. "Sejak kuliah, saya sudah nyambi bekerja di beberapa perusahaan," katanya. Karena itu, tidak terlalu keliru bila dikatakan Danny mengeduk sebagian besar pengetahuan marketing-nya dari otodidak dan pengalaman. Ia masuk BASF pada 1976, mulai sebagai sales promotor, lalu sales manager, kemudian asisten marketing manager, dan akhimya: marketing manager. Pada 1980-1981, Danny "digodok" di pusat latihan BASF di Ludwigshafen, Jerman Barat. Dilahirkan di Surabaya, 12 Februari 1947, jabatan direktur pemasaran dipegangnya sejak akhir 1983.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus