SAMPAI saat ini, sekitar 200 orang buruh pabrik es lilin dan karyawan bar & restoran It King Wie di Jalan Jagalan, Surabaya, belum berketentuan nasibnya. Sebab, kedua tempat mereka bekerja itu, bulan lalu, berdasarkan fatwa ketua Mahkamah Agung, Ali Said, diratakan dengan tanah oleh petugas pengadilan dibantu aparat keamanan. Pemilik kedua perusahaan itu, Gunawan Kasnoyo, menolak permintaan karyawannya untuk merundingkan pesangon. "Saya sudah amblas begini kok mau rundingan pesangon," kata Gunawan, pekan lalu. Gunawan benar-benar amblas akibat fatwa Ali Said itu. Sebab, selain membongkar kedua tempat usaha Gunawan itu, petugas juga menyikat rumahnya yang ada di belakang tempat usaha itu. Padahal, rumah tempat tinggal itu, seluas 100 m2, tidak termasuk obyek sengketa tanah antara Gunawan dan PT Agung, pihak yang ditunjuk pemerintah daerah untuk membangun proyek pertokoan di atas tanah itu. Yang lebih mengagetkan Gunawan, fatwa Ali Said itu, selain mendahului keputusan kasasi, rupanya juga semacam menghidupkan kembali lembaga "keputusan sertamerta": keputusan hakim yang bisa dilaksanakan terlebih dahulu sebelum mempunyai kekuatan hukum yang tetap (uitvoerbaar bij voorraad). Padahal, lembaga itu sudah "dikuburkan" pendahulu Ali Said, Prof. Oemar Senoadji, pada 1975. Senoadji bahkan menegaskan lagi larangan untuk menjatuhkan putusan serta-merta ltu dalam surat edarannya, 1978, kecuali untuk hal yang sangat khusus dan dengan persyaratan yang ketat pula. Adakah sengketa Gunawan dan PT Agung termasuk khusus? Gunawan, berdasarkan hak waris, berusaha di atas tanah seluas 500 m2 dengan status penghuni (penggarap). Tanah itu merupakan bagian dari 5.000 m2 tanah hak guna bangunan (HGB) milik seorang tuan tanah, Mendiang Lim Tiaw Siang. Sesuai dengan ketentuan Kantor Agraria, HGB itu habis masa berlakunya, 1980, dan oleh karenanya tanah itu otomatis menjadi milik negara. Sebab itu, Gunawan memohon HGB atas namanya untuk bidang tanah yang ditempatinya. Alasannya, bangunan pabrik, restoran, dan bar yang ditempatinya dibangun ayahnya dan la sendlrn Tambahan lagi, di sertifikat HGB Lim Tiaw Siang tercantum persyaratan bahwa tanah itu hanya bisa dialihnamakan kepada penghuni. Pada tanah seluas 5.000 m2 itu tercatat 30 penggarap. Tapi. ternyata. tanpa diketahui penghuni, termasuk Gunawan, pada 1980 tanah itu sudah dijual Lim Tiaw Siang - yang meninggal 1982 - kepada Agung Winyonyoto dari PT Agung. Berdasarkan itu, Agung memohon pula sertifikat HGB baru kepada Kantor Agraria untuk keseluruhan tanah itu. Tapi pihak Agraria menangguhkan penerbitan sertifikat HGB baru, karena terdapat dua pemohon yang bertentangan. Agung kemudian menggugat Gunawan ke pengadilan. Mula-mula ia kalah. Pengadilan Negeri Surabaya menolak gugatan itu, karena kedua pihak bukanlah pemilik HGB atas tanah yang kini sudah menjadi milik negara itu. Agung mengajukan banding. Tapi, dalam pertarungan selanjutnya, Agung berada di atas angin. Pada 1983 ia mendapat surat persetujuan wali kota (SPW) untuk membangun proyek pertokoan, perkantoran, dan tempat hiburan di atas tanah bekas HGB Lim Tiaw Siang itu. Beserta itu pula wali kota Surabaya, Muhadji Widjaja, mencabut izin usaha Gunawan berikut segala izin yang dimiliki 30 keluarga yang mendiami tanah itu. Berdasarkan SPW itu, Agung membebaskan tanah dari para penghuni. Kebanyakan dari mereka menerima begitu saja pesangon dari Agung. Tapi enam kepala keluarga, termasuk Gunawan, mencoba bertahan. Agung tidak tinggal diam. SPW itu dipakai sebagai lampiran memori bandingnya ke Pengadilan Tinggi Jawa Timur. Majelis Hakim Tinggi, 1983, memutuskan Agung menang. Bahkan keputusan itu, menurut Majelis, bisa dilaksanakan terlebih dahulu tanpa menunggu keputusan kasasi. Gunawan bersama pengacaranya, Pamudji, segera memprotes sambil naik kasasi ke Mahkamah Agung. Sebab, menurut PamudJi, keputusan ltu melanggar surat edaran Mahkamah Agung sebelumnya, yang tegas-tegas melarang keputusan semacam itu kecuali untuk hal-hal yang sangat khusus. "Lha, ini 'kan perkara perdata biasa," begitu protes Pamudji. Pengadilan tinggi kemudian memang mengeluarkan penetapan susulan: keputusan udak bisa dilaksanakan, mengingat surat edaran Mahkamah Agung itu. Tapi Gunawan memang harus kalah. Bersama seorang pelatih tenis meja, Ahmad Jaya, konon Agung menghadap ketua Mahkamah Agung Ali Said, yang kebetulan pengurus PTMSI (Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia), Agustus lalu. Pulang ke Surabaya, Agung dan Ahmad mengantungi fatwa penting itu, sehingga mereka berani bersumbar, "Mahkamah Agung sudah di tangan saya. Jika kamu mau pesangon, masih ada jalan . . . ," ujar Gunawan, menirukan kata-kata Ahmad. Fatwa Ali Said, tertanggal 22 Agustus, itu memang tidak menyebut-nyebut nama Ahmad Jaya. Ketua Mahkamah Agung menyetujui putusan serta-merta itu dilaksanakan, setelah membaca surat ketua Pengadilan Negeri Surabaya, Suyudi Wiroatmodjo, dan surat pengacara Agung, Jusnita JosorahardJo. Salah satu pertimbangannya menyebut-nyebut surat keputusan wali kota Surabaya yang mencabut izin usaha Gunawan. Suyudi segera melaksanakan fatwa itu. Hakim itu membantah pelaksanaan keputusan itu bertentanan denan ketentuan hukum. "Kan saya sudah kulonuun, meminta izin Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung," kata Suyudi, yang mengaku mengirimkan surat untuk pelaksanaan keputusan itu ke atasannya atas desakan Agung. Ia pun membenarkan bahwa keputusan serta-merta itu hanya bisa dilaksanakan untuk hal yang khusus. "Tapi yang khusus itu bagaimana, tidak jelas perinciannya. Jadi, ya subyektif," kata Suyudi. Hakim itu hanya menyayangkan bahwa dalam eksekusi itu, ternyata, bangunan milik Gunawan dirobohkan. "Padahal, saya sudah bilang, tidak boleh sampai terjadi begitu," kata Suyudi, yang rupanya hanya imgin bangunan itu dikosongkan. Tapi Pengacara Jusnita membantah. "Eksekusi itu tanpa embel-embel larangan merobohkan bangunan. Saya dipanggil Ketua dan diberitahu bangunan harus tetap utuh setelah telanjur dirobohkan," kata Jusnita. Kacau. Gunawan benar-benar merasa kalah. Bahkan ia tidak berharap lagi akan menang di tingkat kasasi. "Saya sudah menjadi bangkai," katanya. Pengacaranya, Pamudji, pun sudah putus asa. "Apa lagi gunanya kasasi - eksekusi itu sudah dilakukan secara hantam kromo saja," kata Pamudji. Ketua Mahkamah Agung Ali Said menganggap bahwa keputusan serta-merta yang diizinkannya itu bukan soal baru. "Itu biasa," kata Ali Said.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini