IMAN KRISTEN DAN PANCASILA Oleh: T.B. Simatupang Penerbit: BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1984, 204 balaman SEBELAS karya tulis T.B. Simatupang dalam buku ini mungkin merupakan tahap paling definitif dari pergulatan spiritualnya selaku pemikir Kristen. Sebab, dalam kumpulan tulisan ini tercapai puncak simtesa yang hampir sempurna dari pertemuannya dengan tema-tema tentang perang, revolusi, dan pembangunan bangsa. Bermula dari Masa Jepang, ketika Simatupang menekuni gagasan tentang perang dan revolusi, sampai ke puncak kariernya sebagai KSAP RI (Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia), 1951-1954, Simatupang pada masa berikutnya tetap bergulat dengan teori sosial, sejarah, ideologi, bahkan teologi. Perjalanan batiniahnya itu bermuara pada dua jalur pemikiran yang merupakan benang merah buku ini, yaitu iman Kristen dan Pancasila. Dilahirkan di tengah keluarga saleh dari tradisi Gereja Lutheran, dan tetap taat pada adat Tapanuli yang kuat, Simatupang mengawali perjalanan mentalnya dari Sidikalang, sebuah kampung tenang di Tapanuli Utara. Ayahnya tokoh pergerakan di wilayahnya dan pendiri Perserikatan Christen Indonesia (Perchi) - organisasi yang populer di kalangan Kristen-Batak sebelum Perang Dunia I. Lingkungan Kristen-Batak homogen ini, yang amat ketat menjaga moral pribadi, hampir puritan malah, sangat mempengaruhi Simatupang. Masa-masa formatif Simatupang sebagai pemikir sering digambarkannya lewat tiga "kawan seperjalanan"-nya dari Tapanuli. Mereka adalah Amir Sjarifuddin Gelar Sutan Gunung Soaloon, Oloan Hutapea, dan L. Sitorus (halaman 50-51). Ketiganya merupakan tokoh pembanding yang baik kesamaan maupun perbedaannya membuat Simatupang memilih jalan sendiri, khususnya di saat krisis pada Masa Revolusi. Hutapea menjadi teoretikus PKI (Partai Komunis Indonesia), Sitorus menjabat sekretaris umum PSI (Partai Sosialis Indonesia), sedangkan Amir Sjarifuddin menjadi korban dari sintesa "ketidaksabaran" antara iman Kristen dan cita-cita sosialisme dalam "revolusi kekanak-kanakan" PKI-Muso, 1948. Simatupang memilih Angkatan Perang Republik Indonesia, dan berjuang bersebelahan dengan Panglima Besar Soedirman. Tahun 1949, Simatupang menjadi penjabat KSAP RI. Tentang perannya di pucuk pimpinan Tentara Nasional Indonesia, Simatupang, antara lain, menulis: "Saya diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia setelah perang berakhir. Anda akan mempunyai gambaran mengenai bagaimana kepemimpinan kami. di waktu itu, bila saya mengatakan bahwa umur saya pada waktu itu adalah 29 tahun. Saya amat takut . . . pemerintahan yang dikuasai oleh militer akan gagal untuk mengarahkan revolusi. . . . Setelah tahun 1965 tiba-tiba peranan yang lebih luas dari militer menjadi satusatunya pilihan terhadap kekacauan atau bahkan perpecahan. Namun saya sudah tak lagi aktif di bidang militer pada aktu itu. Pada tahun 1959 saya pensiun oleh karena tidak dapat lagi bekerja sama dengan almarhum Presiden Sukarno." (Halaman 13--14). Sejak pensiun dari dinas tentara, Simatupang memasuki kehidupan reflektif di DGI (Dewan Gereja-Gereja di Indonesia) - sekarang: PGI (Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia). Awal 1960-an Simatupang merumuskan dasar pijakan dan sikap politiknya: ". .. bukan konservatif, maupun revolusioner, ataupun revolusioner, melainkan membetulkan (transformasi) dan karena itu mengubah ." Dengan demikian, dibanding ketiga "kawan seperjalanan"-nya, Simatupang memilih "jalan tengah" - jalan transformasi, pembaharuan permanen. Mengenai keterlibatannya di DGI, Simatupang menulis: ". . . di DGI . . ., mungkin saya akan bisa memberikan sumbangan yang kecil dalam pengembangan landasan-landasan etik dan teologi bagi tanggung jaab Kristen disuatu masa revolusi. . . dengan cara demikian saya akan dapat memberikan sekadar bantuan kepada orang-orang muda yang dengan kesetiaannya kepada Injil mencari jalan menuju keterlibatan yang bermakna dalam kehidupan negara ini .... Pemahaman seperti ini tidak tersedia bagi banyak orang di antara generasi saya selama tahun-tahun permulaan hidup kami." (Halaman 51-52). Niat Simatupang adalah "Tujuan yang Benar". Sumbangan bagi landasan etik dan teologi Simatupang terutama mengambil bentuk dalam keberhasilannya mengaitkan Gereja dengan sejarah bangsanya. Dan pergumulan spiritual Gereja memperoleh konteks yang kongkret dalam realitas budaya, ekonomi, sosialdan politik bangsa. Simatupang adalah teoretikus oikumenis pertama yang lahir dari lingkungan gereja-gereja di Indonesia setelah kemerdekaan. Ia memacu Gereja (bahkan agama pada umumnya) untuk memikirkan kembali pelayanan keagamaan dalam konteks dunia modern. Aktualitas pemikiran Simatupang berjalan seiring dengan kepekaannya pada berbagai isu nasional. Pendekatannya terhadap setiap persoalan yang timbul di tingkat nasional, serta segala jenis sistem pikiran, selalu secara konsekuen berpegang pada empat kata: positif, kritis, kreatif, dan realistis. Dalam peran di bidang politik, sesudah pensiun dari dinas tentara, dibanding dengan "tiga sahabat seperjalanan"-nya, Simatupang lebih suka menyebut dirinya sebagai nasionalis demokrat. "Nasionalis" mungkin karena makna yang terkandung dalam ajektif pertama dan keempat (positif, realistis), dan "demokrat" lantaran ia tetap mempertahankan jarak kritis demi sumbangan kreatif. Sikap dasar Simatupang itu telah memuarakan seluruh keprihatinan politiknya pada soal Pancasila. Kekhawatiran Simatupang sewaktu masih menjabat KSAP RI, sehubungan dengan kemungkinan gagalnya militer mengarahkan revolusi, telah semakin membawanya pada keyakinan yang teguh terhadap Pancasila. Bahaya kuomintangisme, Amerika Latinisme, fasisme Jerman dan Jepang, bahaya perpecahan di anak benua India, dan bahaya Iran (halaman 136-137) selalu diulang-ulang Simatupang pada berbagai kesempatan. Dan hal itu, sekali lagi, membawanya pada keyakinan bahwa pengamalan Pancasila bisa memberikan jaminan bagi kelestarian kesatuan bangsa dan sekaligus menjaga keberhasilan pembangunan. Sebagai pemikir Kristen, Simatupang akhirnya kembali juga pada suatu pusat teologis yang merupakan basis imannya untuk mencari makna. Pusat teologis ini menempatkan dirinya di tengah rentangan dua kutub yang saling tarik-menarik. Gereja dan masyarakat, iman dan idcologi, futurologi dan eskatologi, tradisi dan modernisasi berada dalam ketegangan kreatif. Ketegangan antara civitas Dei (kota Tuhan) dan civitas terrena (kota dunia), sambil menanti pemenuhan harapan definitif yang masih akan terjadi di masa depan. Pendek kata, suatu ketegangan abadi antara kategori teologis dan politis, di sana ada pengharapan, tapi juga ada agonies dan stigmata (tanda-tanda penderitaan). Inilah dialektif dari theologia crucis yang memberi risiko para "pemikul salib" sebagai ikonoklas yang melawan kecenderungan mengilahkan yang bukan Allah, serta menolak menyembah hal yang tak patut disembah. Dalam Iman Kristen dan Pancasila, Simatupang mewakili pikiran serta keprihatinan sekelompok umat beragama di Indonesia untuk turut membangun bangsanya. Th. Sumartana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini