"Waktu John meninggal, saya pikir itulah nestapa yang paling gawat. Ternyata, itu baru sebuah awal," tulis Yoko Ono dalam catatannya, musim panas 1983. Sesudah John meninggal, yang muncul ternyata daftar panjang "pengkhianatan" dari bekas orang-orang dekatnya sendiri. Para pegawai, malahan juga pemuja, ramai-ramai merampok atau berusaha menggaet keuntungan dari nama komersialnya yang besar. Tulisan David dan Victoria Sheff ini, di majalah Playboy mempertunjukkan sisi lain arti seorang superbintang yang semasa hidupnya dihujani begitu banyak cinta, dan yang muncul bagai seorang pemimpin spiritual di sebuah masyarakat yang, kata orang, pada dasarnya semata-mata bersemangat benda. Tanggal 9 Desember ini genap empat tahun "rasul" itu ditembak orang tak waras. NOVEMBER 1980 Cahaya pagi musim dingin menggores jendela dapur apartemen besar milik John Lennon - satu di antara enam apartemennya di Dakota, kawasan apartemen mewah di sisi barat Manhattan, New York, Amerika Serikat. John terkantuk-kantuk di meja makan sembari membaca koran, sementara asap masih mengepul dari cangkir kopinya. Fred Seaman, asisten berambut pirang yang usianya menjelang 30, mengenakan kaus oblong bertuliskan IMACINE, masuk dari tangga yang menu ju halaman dalam, menenteng setumpuk surat dan majalah. John, sambil terus terpaku pada koran di hadapannya, mengulurkan tangan minta koran yang memuat berita musik. Double Fantasy, album John, baru saja diedarkan. Seaman menyodorkan lembaran Billboard dan Cashbox yang memuat berita album itu. Yoko Ono bergegas dari dapur, menomplok di punggung John ikut membacai kolom "100 teratas". Sebenarnya sudah ada pemberitahuan dari David Geffen, pengusaha rekaman yang dipilih Ono untuk mengedarkan Double Fantasy, bahwa album tersebut masuk peringkat ke-25, tapi John ingin melihatnya sendiri di koran. John menyeringai dan mengerjap ke arah Yoko. "Lumayan, 'kan, Ma?" katanya. Ia lantas meraih pena merah dan melingkari Number25. Dengan spidol lalu menarik garis berpanah ke nomor 1, dan mencoret nama album Barbra Streisand, Guilty. "Mestinya di sini ya," katanya lagi sambil terkekeh, dan lembaran Billboard ia letakkan di laci meja dapur yang terbuat dari kayu. Telepon berdering. Mioko Onoda, pembantu Jepang mereka, meraihnya, kemudian memberitahu Yoko bahwa Rich De Palma ingin bicara. De Palma adalah manajer Lenono, lembaga bisnis John dan Yoko yang menempati seluruh lantai satu apartemen itu - yang dikenal dengan sebutan Studio One. Yoko menjawab sejibun pertanyaan De Palma, menyangkut berbagai permohonan interviu - antara lain dari Barbara Walters. Terdengar Yoko memberitahu Palma bahwa ia akan segera turun untuk menandatangani setumpuk cek yang sudah disiapkan . Sebelum meletakkan gagang telepon, Yoko minta supaya disediakan limusin pukul 2 siang, waktu yang sudah direncanakan untuk pergi ke studio rekaman. John dan Yoko tengah mengerjakan Milk and Honey, runtutan album Double Fantasy - album pertama John dalam lima tahun ini. Sehabis bicara di telepon, Yoko membungkuk mencium John, memberitahu bahwa ia akan ke Studio One sebentar. John mengangguk dan maklum, karena memang Yoko yang menangani bisnis keluarga itu. Di lantai bawah, dikelilingi lemari-lemari arsip yang bertuliskan logo APPLE dan HOLSTEIN COWS, Yoko duduk menandatangani cek, menelepon ke sana kemari, memanggil lewat interkom. Sesudah kesibukan itu, sesuai dengan rencana, Yoko mengajak John jalan-jalan sebentar, minum kopi di warung sebelum menuju studio rekaman. Beberapa menit kemudian John turun, mengenakan baju dan celana hitam, menenteng kaca mata yang terbuat dari kulit penyu. Bergandengan tangan keduanya berjalan menyusuri lorong-lorong Dakota. Rambut Yoko yang hitam dan tebal diikat ke belakang, matanya terlindung oleh kaca matanya yang lebar. Udara cerah, tapi angin bertiup kencang dan hawa dingin menusuk. John mengeluh karena lupa membawa mantel. Yoko pun hanya mengenakan sweater tipis dan merasa dingin. Maka, sembari tetap jalan, keduanya berangkulan makin lengket. Seperti biasa, di luar kompleks Dakota beberapa penggemar menunggu dengan sabar termasuk Jeri Moll dan Jude Stein, dua cewek yang sudah berusia 30 tapi selama lima tahun ini hampir tiap malam dengan tabah menunggui pujaannya lewat di pojok pintu gerbang Dakota. Mereka cuma bergumam senang sewaktu pasangan John dan Yoko memberi salam. John dan Yoko terus berjalan menuju Columbus Avenue, masuk Jalan No. 71, lantas berhenti di Cafe La Fortuna, nongkrongdi situ untuk nyemiL Mereka memang mencoba untuk makan cemilan melulu, tanpa makan besar. Obrolan di warung kopi ringan-ringan saja. Mereka berkelakar soal kegemaran baru anak mereka, Sean, seperti yang dilaporkan pengasuhnya, Helen Seaman, yang menjagai Sean pada saat-saat John sibuk - Helen tante Fred Seaman. John mengeluh sedih. Dalam pengerjaan album kali ini ia merasa telah berpisah dengan Sean terlalu lama. "Akhir minggu ini dia kita suruh pulang saja, ya. Walaupun kita lagi kerja," katanya. Yoko mengiyakan. Kembali ke Dakota mereka memberikan pesan-pesan, dan menunggu di kantor. Rich dan Greg Martello ada di situ - seperti biasanya mengatur arsip. Kedua pemuda bersaudara ini beberapa bulan lalu menyusup masuk ke bangunan apartemen pahlawan mereka, John Lennon, hanya sekadar untuk sebuah lelucon. Tentu saja mereka ditangkap. Karena dianggap tidak membahayakan, mereka malah dipekerjakan. Keputusan begitu memang menggelikan. Dankeputusan bisnis John sering dipengaruhi Yoko. Memang, secara janggal John, si jutawan rock and roll jadi sangat penurut dan merasa telah bersikap merakyat. Dengan limusin mereka menuju studio rekaman. Tampang Sean, dalam foto berwarna, terpancang di ruangan kotak kaca di studio tempat keduanya bekerja menyelesaikan album baru. Mereka biasa bekerja di situ sampai malam. Hari itu tak ada kejadian istimewa. Pasangan yang penuh warna ini - setelah dulu hidup dalam hiruk-pikuk, disusul dengan ketertutupan yang misterius - kini bangkit dalam kreativitas yang mengagumkan, bagai sebuah anugerah, ketika John mencapai usia 40. "Hidup bermula pada usia 40, kan," kata John suatu waktu pada seorang wartawan yang menginterviunya - "seperti menghadapi cakrawala baru." * * 9 Desember 1980 Beberapa menit lewat tengah malam, kengerian di apartemen John Lennon tak juga mau mereda. John, si superstar, dibunuh orang sekitar satu jam yang lewat. Orang-orang yang selama ini menjadi bagian dari kehidupannya sehari-hari tak sanggup menanggung musibah itu. Tak juga bisa bertindak apa-apa, selain mencoba mendekati apartemen yang dijaga. Kerumunan makin membesar saja. Sebagian gerombolan manusia itu saling memegang tangan. Dalam cahaya ribuan lilin, air mata mereka berlinangan dan tubuh mereka menggigil dalam kesedihan. Sebagian lagi terkapar lena di pojok Central Park West dan Jalan No. 72. Polisi berkuda membantu para staf John membelah kerumunan itu. Yoko Ono, ditemani Geffen, dapat disusupkan lewat pintu belakang apartemen yang langsung masuk dapur. Dengan perasaan beku Yoko meminta De Palma menelepon tiga orang: Julian Lennon, anak laki-laki John dari perkawinannya yang pertama, yang saat itu sudah berusia 17, Mimi Smith, bibi John Lennon, yang telah membesarkannya, dan Paul McCartney. Yoko kemudian menyingkir dan membenamkan diri di kamar. Sementara itu, dari jalanan masih terus terdengar suara gemuruh massa yang menggema ke koridor. Tak kurang dari 5.000 orang berbaris dan membuat lalu lintas di sisi barat Manhattan macet total. Mereka menyanyikan Imagined an Give Peace a Chancedalam nada rendah yang menggiriskan hati. Bak paduan suara, mereka pun melagukan Dear Yoko. De Palma bertahan di kantor Lenono, di lantai bawah, sibuk melayani telepon-telepon yang masuk. Lampu sinyal di konsul telepon terus berkelap-kelip. Satu telepon membuat De Palma senang - dari Elliot Mintz, salah seorang teman dekat Mendiang John. Elliot mengatakan akan segera datang dari Los Angeles. Dua jam kemudian Mintz memang datang. Setelah bersusah payah menembus massa, ia naik ke tempat tinggal John, tapi toh gagal menemui Yoko yang tetap membenamkan diri di kamar. Mintz lantas turun ke Studio One, bergabung dengan orang-orang Lenono. Mereka terdiri dari para asisten, pengacara, dan kalangan bisnis. Ada juga David Warmflash, ahli hukum yang sekali waktu pernah bekerja untuk John. Geffen juga disitu, dan dialah yang mengangkut John ke rumah sakit setelah penembakan. Ia pula yang membantu Yoko menghadapi segerombolan reporter dan wartawan foto yang mengepung. Tak berapa lama Yoko mengamkil keputusan: jenazah John mesti diperabukan di daerah pinggiran Hartsdale. Untuk itu Warmflash diminta menjadi saksi. Keesokan paginya De Palma dan Mintz masih mengawaki kotak telepon, di bawah sinar lampu kantor yang temaram. Keduanya kelihatan begitu letih. Ratusan karangan bunga berserakan di sekitar mereka. Resepsionis kompleks Dakota memberitahu bahwa ada telepon dari seseorang di Los Angeles. Orang itu mengaku akan berangkat ke New York - untuk meneruskan gebrakan yang sudah diawali oleh Capman, si pembunuh John. Segera Mintz menghubungi polisi Los Angeles, dan beberapa saat kemudian dari seberang sana datang jawaban polisi - bahwa ancaman tersebut memang benar. Seseorang, kata polisi LA itu, telah disergap di lapangan terbang gara-gara melabrak perwira polisi sembari memekik akan menangani Yoko. Orang itu punya latar belakang psikologis kacau. Hal itu segera bisa diatasi meskipun bagi Yoko merupakan semacam pertanda bahwa hari-hari setelah kematian John akan diliputi kebrengsekan. * * 10 Desember 1980 Yoko dikabari bahwa Sean sudah bangun di pagi yang dingin itu. Selama ini hubungannya dengan Sean memang tak akrab. Sean lebih akrab dengan John. Yoko bergegas menemui anaknya, yang saat itu sudah berusia lima tahun, menggandengnya lewat tangga, menuju pintu masuk utama. Di balik gerbang besi, seratus depa dari Yoko dan Sean, sekelompok orang berkerumun dalam suasana sedih. Yoko mengisahkan pada Sean, di sanalah ayahnya ditembak. Keduanya kembali ke lantai atas. Setelah mengetik pesan-pesan, Yoko menenangkan Sean. Saat itu Sean, sambil mendekap pengasuhnya, menangis histeris memanggil-manggil ayahnya. Dari lantai bawah tiba-tiba ada pemberitahuan: seseorang mengaku telah memasang bom bersama paket yang dikirimkannya ke Dakota. Sungguh mencemaskan, karena kantor Lenono dipenuhi karangan bunga, bingkisan, kartu-kartu, dan paket. Petugas penjinak bom, dengan baju pelindung, segera didatangkan untuk membuka paket yang dicurigai. Ternyata, tak ada bom. Itu berarti dua kali ancaman datang. Ditambah dengan gangguan-gangguan telepon lain yang kurang ajar, semua itu akhirnya membuahkan satu keputusan: semua penggemar John sebaiknya tidak usah mengirim bunga - yang hari itu saja sudah menumpuk sampai ke langit-langit. Sebagai gantinya, kata Yoko, hendaknya mereka menyumbangkan uangnya kepada Yayasan Kerohanian (Spirit Foundation) yang didirikan John pada 1978. Yayasan itu akan mendermakan semua sumbangan untuk kegiatan belas kasihan ke pelbagai tempat. Hari itu pula sebuah buletin mengabarkan: seorang penggemar John bunuh diri, putus asa kehilangan bintang pujaan. Kemudian dua orang lagi menyusul. Yoko tak sanggup lagi menanggungkan semua itu. Mentalnya capek. Ia tak sanggup lagi mengontrol diri. Di lantai satu telepon terus mendering. Kali ini suara dari antah-berantah mulai masuk jalur. Seseorang mengaku baru saja tiba dari sebuah planet lain, datang membawa pesan dari John untuk Yoko. Ada lagi yang menyebut pembawa misi John, yang menyangkut soal hidup atau mati. Seorang pemuda mengadu bahwa tubuhnya telah dirasuki roh John. Dari Inggris seorang penelepon mengatakan, berhasil membuktikan bahwa pembunuhan John merupakan hasil persekongkolan. Semua penelepon merasa penting, dan mendesak untuk bisa bicara langsung dengan Yoko. Siang harinya Yoko mulai tenang. Tapi, begitu Mintz dan Warmflash pulang dan menyerahkan sekotak abu John, ketenangan itu buyar lagi. Yoko ingin tahu bagaimana John sebelum dikremasi. Warmflash menjawab, "la seperti sedang tidur." Yoko, yang kala itu masih terkapar di tempat tidurnya, kali ini memeluk lutut dan matanya lepas ke kejauhan. Berjam-jam lamanya. Di Studio One, di lantai bawah, para pegawai John terus menyeleksi surat-surat dan melayani telepon. Selain De Palma dan Mintz, beberapa orang lagi datang membantu - dan ngobrol. Corong radio mengumandangkan lagu-lagu karya John, sambil diselingi perkembangan mutakhir kasus pembunuhannya. Geffen, yang fotonya bersama Yoko terpancang pada koran hari itu, sibuk pula dipesawat telepon. Laki-laki itu gelisah ingin tahu kabar penjualan album Double Fantasydari perusahaannya, Geffen Records. Yang dibicarakannya hampir melulu soal akibat kematian John terhadap bisnisnya, dan ia juga berharap kekacauan di Polandia tidak sampai menenggelamkan berita kematian John. De Palma sibuk membukai amplop telegram yang hampir seluruhnya urusan belasungkawa. Ia mendekati Mintz dan menyerahkan sebuah telegram gawat. Setelah membacanya, Mintz bilang, "Wah, yang ini tidak bisa diberikan ke Yoko sekarang." Pengirimnya seorang wanita yang mengaku telah membuat film dan memotret upacara pembakaran jenazah John. "Anda bisa mengontak saya untuk informasi lebih lengkap," demikian bunyi kalimat terakhir telegram itu. Mintz menyerahkan telegram itu ke anggota keamanan. Sebuah telepon yang konyol masuk lagi. Penelepon memberitahu Mintz: Doug MacDougall, centeng John yang hadir di tempat kremasi, telah menjual foto tampang John yang tidak tertutup kain kafan ke sebuah sindikat. Situasi makin kacau. Tidak mungkin lagi menghalang-halangi pemunculan foto pemakaman itu, seperti yang diminta Yoko. Dan esoknya memang terbukti: foto itu keluar pada halaman pertama New York Post. Di The National Enquirermalah muncul yang berwarna. Di kemudian hari, hasil penyelidikan orang-orang Dakota membuktikan bahwa si pemotret telah dibayar 10.000 dolar. "Ini merupakan keculasan pertama setelah kematian John," kata Mintz. * * * Pertengahan Desember 1980 Yang pertama berancang-ancang mengeruk keuntungan dari kematian John ternyata orang dalam sendiri. Ia Fred Seaman. Salah satu asisten John yang lahir di Jerman ini ramping dan lulus jurnalistik dari City College of New York. Ia berhasil bekerja pada John lewat paman dan bibinya. Norman Seaman adalah sahabat kental John istrinya, Helen, menjadi pengasuh Sean. Maka, wajar kalau kemudian Fred bisa masuk ke dalam jaringan bisnis keluarga John. Bekerja sebagai pesuruh, pendamping setia selama proses rekaman Double Fantasy, ia membawakan talam untuk makan malam John dan Yoko. Kewajiban Fred jugalah untuk pergi ke Bermuda mengikuti John di awal tahun. Di situ John menulis dan membuat rekaman mentah lagu-lagu barunya yang kemudian merupakan separuh isi album Double Fantasy dan Milk and Honey. Lantaran berminggu-minggu mendekam bersama majikannya di Bermuda, Fred berhak merasa jadi orang paling dekat sang superstar. Terutama pada saat-saat pembunuhan John, si Fred bahkan merasa lebih dekat lagi dibanding para pendamping lain seperti Mintz, bahkan Yoko dan Sean. Dua hari setelah pembunuhan, Fred Seaman yang mengaku merasa hancur akibat kematian John - bicara bersemangat kepada temannya. "Saya benar-benar tersingkir dari kehidupan," katanya. Hari-hari itu ia berkoar bahwa di Dakota dia tak berfungsi lagi, dan kematian John berarti malapetaka pula buat dia. Yoko mendengar itu, dan mengiyakan. Si Fred pada suatu waktu, katanya, akan meninggalkan pekerjaan yang bergaji US$ 36.000 per tahun itu. Fred memanfaatkan detik-detik itu dengan baik. Dalam dua minggu ia sudah menggarap kontrak dengan bekas teman kuliahnya, seorang penulis dengan cita-cita selangit bernama Bob Rosen. Dalam kontrak itu dinyatakan bahwa keduanya berkedudukan sama untuk pembuatan sebuah buku tentang John Lennon, juga untuk segala hal yang berkaitan dengan proyek itu. Rosen ramping, pendek, dengan rambut jarang dan bicara yang gagap. Ia tinggal di sebuah rumah petak di Jalan No. 169. Di situlah "markas besar" Proyek Walrus, nama yang mereka berikan untuk pekerjaan itu. Segera setelah kembali bekerja di Dakota, Fred setiap hari memberikan laporan ke Rosen perihal segala yang terjadi di keluarga Mendiang John. Kewajiban Rosen adalah mencatatnya. Kedua orang ini masing-masing memiliki buku harian sendiri untuk segala pekerjaan yang memanfaatkan kematian itu. Untuk menggaji Rosen, sumber Fred adalah dana taktis yang tersedia di Lenono. Posisi Fred di Dakota ketika itu adalah asisten Lenono. Seminggu di situ, Fred langsung menjalankan kegiatan rutinnya - yang kemudian berlangsung selama setahun. Setiap Jumat sore ia tampak keluar dari Dakota dengan menjinjing kantung belanjaan berisi dokumen-dokumen yang ia sabet dari arsip kantor Lenono dan rumah Mendiang John. Semuanya ia bawa ke apartemen Rosen. Tugas Rosen selanjutnya adalah membaca, menggali, menyaring, memfotokopi berkas-berkas pribadi itu. Sementara itu, bagi Yoko, minggu-minggu sejak kematian John dilewatinya dengan tetap mendekam di kamar tanpa menggubris soal bisnis atau apa pun. Ia tenggelam dalam bayangan John. Paling-paling ia mendesak agar ada perayaan Natal untuk Sean. Maka, pohon dan lampu Natal dipasang. Hadiah Natal yang sudah disiapkan John untuk Sean adalah seekor anjing kecil perempuan. Anjing Akita itu hampir mati kelaparan pada hari-hari menjelang Natal, lantaran tak ada yang menggubrisnya. Yoko beruntung masih bisa menaruhnya di bawah pohon Natal. Diberinya pita bertuliskan from Daddy. Sean menamai anjing itu Merry. * * * Januari 1981 Setelah suasana tahun baru lewat, Yoko membiarkan Sean pergi ke tanah milik keluarga di Palm Beach, Florida, agar bisa terlepas dari hawa musim dingin New York dan suasana duka Dakota. Perpisahan sementara itu memang disengaja Yoko, karena seperti pengakuannya kemudian - rasanya lebih pedih dengan adanya Sean di dekatnya. Masih dalam keadaan terguncang, Yoko kemudian bisa menghibur diri dengan bekerja. Ia masuk studio lagi dan menyelesaikan lagu-lagu yang sudah ia kerjakan bersama John, dalam album Walking on Thin Ice. Geffen mengedarkannya sebulan kemudian. Pulang kerja, Yoko tetap membenamkan diri dikamar - kali ini dengan mengunyah cokelat. Sekali-sekali ia turun melaku kan pemeriksaan basa-basi ke kantor Lenono di lantai bawah. Sean pulang dari Florida. Yoko merasa berat untuk menemuinya, lantaran Sean selalu menggugah kenangannya pada John. Meski begitu, ia tetap berusaha lebih akrab, suatu hal yang tidak ia lakukan sebelum John meninggal. * * * April 1981 Orang-orang yang sering berkerumun di seputar Dakota mulai menipis. Bagi Yoko, itu belum berarti segalanya usai - siapa tahu ada yang lebih mengerikan sesudahnya. Yoko mulai merasa kuat lagi untuk menangani proyek besar: sebuah album solo, ungkapan perasaannya, akan ia buat. Album itu akan bernama Season of Class. Gambar sampulnya: jendela tempat John biasa duduk melamun, lalu kaca mata John yang bebercak darah kering berada di depannya. Yoko sendiri yang akan memotret. Sementara itu, Proyek Walrus berjalan sesuai dengan jadwal. Suatu sore, dalam tas belanjaan yang dibawa Fred, Rosen mendapati induk segalanya. Yaitu: catatan pribadi John dari 1975 sampai 1980, dijilid tebal dalam agenda New Yorker. Itu berarti, Rosen dan Fred merupakan pemilik catatan unek-unek dan pengakuan John yang paling bersifat pribadi, terutama pada saat-saat bintang dunia ini mengundurkan diri dari publisitas. Ini sejarah, namanya. Lebih dari itu, nilai dolarnya tak terhingga. Dalam catatan hariannya, Rosen menulis "Dean Lennon = Big $$$$$" * * * Juli 1981 Pertengahan musim panas, Yoko mencoba kembali ke kehidupan normal. Para pengawal mengelilingi dia dan Sean. Kalau dilihat dari ukuran normal, wanita yang mengelola kekayaan yang paling tidak berjumlah 150 juta dolar ini mau tak mau menjadi sangat istimewa. Toh hal-hal yang biasa masih menjadi perhatiannya juga. Apartemennya mulai didekor kembali, suatu kerja yang sebenarnya sudah dimulai sejak sebelum John tewas. Samuel Havadtoy, imigran Hungaria yang sukses sebagai dekorator ruangan, kembali bekerja. Dengan gayanya yang santai dan suka berkelakar, Havadtoy dengan mudah mendapatkan kepercayaan Yoko. Havadtoy gemar pula bermain-main dengan Sean, bergulingan di rerumputan kawasan Cold Spring Harbor, dan bersama-sama bermain video game. Kehadiran Havadtoy menggembirakan Yoko. Bahkan, waktu pertama kaii pergi ke restoran lagi sejak kematian John, Yoko bersedia pergi bersamanya. Persahabatan mereka akrab. Memang kondisi Yoko belum membaik benar, tapi tampaknya hidupnya mulai cerah kembali. * * * Agustus 1981 Proyek Walrus tetap jalan. Kali ini dengan tambahan anggota baru, Rick Dufay. Ia seorang gitaris grup band Aerosmith, yang juga kejangkitan semangat yang sama seperti Fred dan Rosen untuk mengubah gambaran dunia tentang John - tentunya dengan mengharap imbalan. Catatan harian Rosen bertanggal 14 Agustus, yang mendudukkan dirinya sebagai orang kedua, berbunyi begini: "Kamu telah merencanakan hasutan untuk menggerakkan revolusi kebudayaan. Tapi Brother Walrus akan bangkit dalam misi sosial dan politik. Kamu merintis jalan menembus kebudayaan yang beku ini, sejak Beatlemania, tapi sebaiknya jangan banyak omong sebab masyarakat akan mencacimu. Sialan." * * * September 1981 Suatu siang di Central Park, Sean keluyuran di bawah pengawasan tukang pukulnya, MacDougall. Saat itu Yoko memergoki anak itu nyelonong pergi, jauh dari MacDougall. Yoko marah, tapi MacDougall dengan ketus menjawab, "Kalau tidak suka cara kerja saya, saya akan keluar." Sean sebenarnya sudah terbiasa dengan MacDougall. Tapi si tukang pukul itu lalai, bahkan berani menggertak majikannya, pikir Yoko. Maka, ia akhirnya memutuskan melepaskan MacDougall. Lantas menyewa kepala keamanan yang baru, Sersan Dan Mahoney dari kepolisian New York seksi reserse. * * * November 1981 Pada sebuah koran terbitan London, Yoko membaca berita Julian Lennon, anak John dari perkawinannya terdahulu, telah menerbitkan lagu-lagu ayahnya yang belum beredar. Lagu-lagu itu sambungan album Double Fantasy. Yoko terperangah. "Bagaimana dia bisa mendapatkan lagu-lagu John?" pekiknya. Fred Seaman ketika itu duduk tak jauh dari Yoko. Dengan simpatik ia menggelengkan kepalanya. "Bukankah sudah saya bilang, Julian punya tabiat jelek?" katanya. Yoko menginterlokal Inggris, menghubungi Julian, menanyakan soalnya. Julian bilang, ia justru mendapatkan kaset masternya dari Fred. Yoko kalang kabut. Lantas bilang pada Julian, ayahnya berkeinginan mengedarkan lagu-lagu itu untuk albumnya sendiri. Julian minta maaf. Perlu diketahui, Fred memang pernah mendapat kepercayaan Yoko untuk mendatangi Julian di Inggris setelah kematian John. Keesokan harinya ada telepon dari MacDougall. Mintz yang menjawab. "Pokoknya, harus ada pembayaran," kata MacDougall. "Yoko akan memperhatikan hal itu," jawab Mintz. "Oke, kalau begitu. Saya akan tetap menahan barang-barang ini sampai ada uang tebusan," kata seberang sana. MacDougall mengaku, untuk pengamanan, sewaktu keluar dulu ia menyimpan dan membawa beberapa perkakas elektronik mahal, selusin pita kaset, dua buah pisau lipat Swiss, sepasang kaca mata John, dan surat cinta John untuk Yoko yang merupakan versi orisinil untuk lagu Dear Yoko. Ia dengan senang hati akan mengembalikan itu semua asal ada uang tebusan yang katanya sudah merupakan haknya. Mintz memberinya selembar cek, lalu mengambil kembali barang-barang itu. Sementara itu, Yoko makin bingung menghadapi tingkah laku Fred. Tak beda dengan MacDougall, Fred ini menunjukkan sikap congkak dan seenaknya dalam bekerja - seolah memang ia sengaja bikin kesal. Kalau sudah begini, Yoko hanya bisa merenung sendiri. Habis, ia segan pada Helen dan Norman, bibi dan paman Fred. Ia tak sampai hati meributkan perangai kemenakan mereka itu. Fred sendiri makin bertambah asyik dengan Proyek Walrusnya, dan mulai pikir-pikir untuk mengakhiri kerja rangkapnya di Dakota. Juga memutuskan bertindak lebih nekat. Dalam catatan hariannya ketahuan, ia bersama Dufay menyelinap masuk ke apartemen Yoko pada saat penghuninya keluar rumah dan berhasil mengangkut seperangkat perkakas audio, termasuk amplifier mahal yang selama ini disimpan John di kamarnya. Sebelum itu, Fred sudah menyabet pita rekaman percobaan John yang ia bawa ke apartemen Rosen. Dufay adalah musikus profesional. Maka, lengkaplah peralatannya. Keesokan harinya - sehari setelah Fred menyabet peralatan besar itu - ketahuan barang-barang itu hilang. Fred sendiri hanya bilang, barangkali ulah tukang reparasi AC yang sempat masuk. Yoko mengangguk-angguk. Kemudian mengadu ke Mintz, yang segera melakukan pemeriksaan. Mintz, yang kini sudah menjadi staf Yoko, menemukan bahwa yang lenyap tidak hanya amplifier stereo, tapi juga benda-benda lain. Tim keamanan ia beritahu. Dan secara terperinci mereka mewawancarai orang-orang di situ. Hasil yang kemudian dilaporkan ke Yoko: pencurinya orang dalam. Yoko naik pitam. Bukan soal kekayaan itu sebabnya, tapi ia merasa telah dikhianati. Ada sekitar selusin orang yang menjadi anggota staf Yoko, dan setengah lusin lagi keluar-masuk kantor Lenono setiap hari. Mahoney menganjurkan supaya Yoko menggunakan pesawat pengungkap kebohongan (lie-detector) untuk mengetes setiap orang di situ. Yoko menolak, dengan alasan penggunaan alat seperti itu tidak bermoral. Mahoney juga minta Yoko menghubungi polisi. Yoko tetap menolak, dengan alasan sama. Ia tak menaruh kecurigaan sedikit pun pada Fred, yang kemudian menulis dalam buku hariannya demikian: "Tampaknya tak akan ada konsekuensi apa-apa dari pencurian kemarin. Thank God." Hampir satu tahun setelah John meninggal, keributan terus juga berlangsung. Selain pengkhianatan para pekerja, ada pula orang lain inginmenulis buku tentang John. Ada kabar selentingan bahwa May Pang, bekas pacar John, tengah menulis memoar juga. Lalu Alber Goldman, penulis biografi Elvis Presley, akan mengisahkan pesta-pesta gilagilaan John dengan obat bius. Penulis itu konon melakukan perundingan dengan tujuh orang sebagai permulaan - untuk buku mengenai John. Rosen sendiri, setelah mendengar kabar rencana kerja Goldman, menuliskan dalam catatan hariannya: "Tuhan telah menyelamatkan John Lennon." Sekarang ada pula Mark David Chapman, pembunuh John. Ia ini menulis surat ke Yoko - menawari Yoko bekerja sama dalam pembuatan buku John. Pelaku tindak kriminal itu rupanya ingin pula mengeruk keuntungan dari kelakuannya. Bah! Sakit. Semua sakit. Yoko membenamkan diri lagi ke bilik tidurnya. Beberapa hari kemudian, dua orang disergap di kawasan Dakota. Mereka bilang, ada urusan dengan Yoko. Tapi begitu didesak menjelaskan tujuannya, mereka mencoba lari. Satu lolos, satunya lagi diringkus satpam. Sebelum diambil polisi, laki-laki yang jelas-jelas gila itu memekik bahwa ia datang untuk menyikat Yoko dan Sean. Keamanan diperketat. Pada tahun pertama sejak kematian John, Yoko telah menghabiskan biaya lebih dari sejuta dolar untuk urusan keamanan pribadinya. * * * Desember 1981 Ketika hawa dingin New York makin menggigit, Fred sudah makin ceroboh. Memang, manipulasinya menggunakan dana taktis Lenono untuk menggaji Rosen belum ketahuan. Tapi sudah banyak komentar mengenai kebiasaannya menggunakan limusin untuk pergi-pergi ke restoran, klub, yang pembayarannya dibebankan ke Lenono. Yoko menyelenggarakan pesta Natal kantornya di Window on the World, restoran spektakuler di puncak gedung World Trade Center, pencakar langit tertinggi di New York. Di pesta itu Fred mengenakan salah satu scarf lohn. Yoko menudine: "Lho. itu bukannya scarfsuami saya?" "Bukan, Yoko," jawab Fred. "Ini milik saya." Keberaniannya berbohong mengagetkan Yoko. Lalu Fred mendekati Yoko, dan mengakui bahwa mungkin saja scarf itu milik John. Di sini Yoko makin tak mengerti: Apa yang sesungguhnya terjadi atas diri Fred? Masalahnya kian lama jadi kian jelas. Fred ketahuan sering menggunakan Mercedes Benz milik Lenono untuk keperluan pribadi - suatu hal yang dilarang di perusahaan. Ketahuannya, suatu kali, ketika ia menggunakannya, terjadi kecelakaan. Kuitansi biaya perbaikan berjumlah US $12.000. Belum cukup, suatu hari Yoko pergi ke kamar mandi pribadinya. Ia terkejut setengah mati, mendapati Fred sedang mandi di situ. Padahal, waktu itu masih jam kerja. Fred dipecat - dan mendapatkan pesangon US $ 10.000. Di buku hariannya ia mencatat: "Yang paling membuat saya menyesal adalah, saya tak akan lagi punya kesempatan melacaki arsip-arsip dan menjadikan diri saya sebagai sumber kajian." Barang-barang curiannya meliputi sebundel arsip, manuskrip jurnal, bahkan novel karya John berjudul Skywriting by Word of Mouth - yang oleh Rosen dalam catatannya dianggap setaraf dengan karya James Joyce - yang belum lengkap. Untuk mendapatkan potongan-potongan novel ini di enam apartemen milik John bukan pekerjaan mudah tidak jelas di mana disimpan. * * * Januari 1982 Fred suatu kali menjadi pasien Dr. Francis DeBilio, ahli psikoterapi yang berpraktek di Brooklyn. Di situ ia ketemu Norman Schonfield, pedagang berlian yang juga pasien. Mereka sepakat bekerja sama dan menghasilkan kesimpulan: Rosen harus disisihkan. Caranya, Rosen diberi uang untuk berpiknik ke Kepulauan Karibia, dan bersamaan dengan itu Fred mengambili semua arsip dan catatan mengenai John yang terkumpul di apartemen Rosen. * * * Agustus 1982 Merasa patah arang, dan mengalami depresi, Rosen mencoba menjual kisah-kisahnya ke para penerbit dan majalah - termasuk Playboy. Ia memang telah berhasil menyimpan catatannya sendiri dan beberapa materi sumber informasi, termasuk pita rekaman, yang luput dari sabetan Fred. Dan ia mengaku kepada para penerbit memiliki kemampuan mengingat yang tajam. Sadar bahwa para penerbit tidak mau menggubrisnya kecuali kalau ada dokumen kongkret, Rosen akhirnya berkeputusan menghubungi Mintz. Ia bilang akan mengembalikan barang-barang yang ada padanya asal diberi imbalan. Sebaliknya, Mintz mengancam akan menghubungi polisi. Rosen mengalah, dan bersedia datang. Ketika itu Havadtoy sudah semakin terlibat dalam segala urusan Yoko. Maka, sebagai wakil Yoko, ia yang melakukan negosiasi dengan Rosen. Hari-hari selanjutnya, Rosen - yang dijuluki John Dean dalam persekongkolan ini oleh Mitz - digojlok oleh Mintz, Havadtoy, penasihat hukum Yoko, dan akhirnya Kantor Kejaksaan Distrik New York. Karena dia dianggap mengajukan diri secara sukarela, ia tidak dituntut apa-apa, tapi ia ketakutan setengah mati atas keselamatan hidupnya. Yoko masih berbaik hati memberinya uang untuk tinggal di hotel. Barangkali tergugah kebaikan Yoko, ia pun menyerahkan catatan hariannya dan berkas-berkas lainnya. Persekongkolan yang bisa diungkapkan itu sekali lagi membuat Yoko merasa ditipu mentah-mentah. Ia sakit hati. Ternyata, barang-barang yang bisa dicuri komplotan Fred termasuk lemari arsip yang berisi berbagai berkas, manuskrip, surat-surat cinta, fotofoto pribadi, pakaian John, dan - yang paling bernilai - buku hariannya. Havadtoy mencoba mengontak Fred secara pribadi. Yang paling penting, Fred jangan sampai menghancurkan barang-barang itu. Melalui paman dan bibi Fred - Norman dan Helen - Havadtoy mengimbau Fred mengembalikan semua dokumen. Lewat Norman, Fred membalas: "Silakan Yoko menuntut saya, supaya ada publisitas gratis yang akan bernilai jutaan dolar." Pelacakan selanjutnya berhasil menemukan nama Schonfeld, si pedagang berlian yang menjadi sumber dana. Orang inilah yang kemungkinan besar menyimpan catatan harian John. Havadtoy mencoba menelepon Schonfeld. Asal ada tebusannya, kata Schonfeld, ia bersedia membantu bagai mana caranya mengembalikan catatan harian John itu. Havadtoy dan Yoko akhirnya setuju. "Kita tidak punya pilihan lain," katanya. "Jika kita menghubungi polisi, bisa jadi catatan-catatan harian itu malah akan mereka hancurkan." Tebusan yang disepakati - untuk keselamatan catatan John yang asli - adalah US$ 60.000. Pada waktu yang dijanjikan, Schonfeld datang membawa sekopor dokumen. Isinya: arsip-arsip dari kantor Lenono, foto-foto, surat-surat, novel, dan empat jilid agenda New Yorker yang berisi tulisan tangan John. Sembari tersenyum Chonfeld juga menyerahkan sebuah amplop ke Havadtoy, dan berkata, "Ini hadiah untuk Nyonya John." Ternyata berisi karya drawing mendiang suami. Tapi, dari semua itu, tak ada catatan harian bertahun 1980 - yang terhitung paling bersejarah, dan itulah guratan terakhir John. "Mana catatan 1980?" tanya Havadtoy ke Schonfeld. "Saya tidak tahu-menahu," jawabnya. Schonfeld tetap berkeras bahwa ia toh sudah menepati janji sesuai dengan penawaran, dan tak tahu mengenai catatan harian 1980 yang tak jelas juntrungannya itu. Ia pulang dengan menggenggam cek. * * * September 1982 Musim semi, Sean minta pergi ke Cold Spring Harbor bersama kawan sekolahnya, Caitlin Hair (7 tahun), untuk berakhir minggu. Tanya, cucu pengasuhnya, Helen Seaman, juga ikut. Nah, sewaktu bermain, Caitlin jatuh tunggang-langgang. Maka, datanglah kabar: ibu Caitlin menuntut Yoko ganti rugi sebesar 1.050.000 dolar, karena anaknya terluka. Padahal, seperti pengasuh yang dulu, bibi pengasuh Sean yang sekarang juga mendapat instruksi khusus. Di antaranya, pada acara akhir minggu tak dibolehkan orang luar berada dalam kawasan (milik John) di Cold Spring Harbor. Helen Seaman menjelaskan, ketika itulah Caitlin dan Tanya tanpa diduga muncul di Long Island. Tak mungkun ia mengusir mereka, 'kan ? Belakangan, Yoko tahu kejadian yang sebenarnya. Rupanya, Helen mencarter limusin untuk keduanya, dan biayanya ia tanggungkan ke Lenono. Yoko sakit hati - cukup sudah baginya menghadapi keluarga Seaman. Karena melanggar instruksi dan berbohong pula, Helen dipecat - dan mendapatkan pensiun US$ 10.000 per tahun. "Memang berat buat Sean ," tutur Yoko. "Pertama, ia telah kehilangan bapaknya. Lalu pengawalnya, MacDougall, yang sudah akrab. Kini Caitlin dan Helen. Toh Sean tampaknya bisa menghadapi keadaan. Tapi saya khawatir dia tidak akan mempunyai kepercayaan lagi kepada orang lain." * * * Februari 1983 Desember tahun sebelumnya Yoko berhasil menelurkan album It's Alright, melalui perusahaan rekaman PolyGram. Penghubungnya adalah Eddie Germano, pemilik studio Hit Factory, tempat Yoko dan suaminya merekam album Double Fantasy. Untuk perannya sebagai penghubung, Eddie mengaku memperoleh imbalan US$ 50.000. Belakangan, Yoko mendapat informasi bahwa Eddie dari PolyGram memperoleh US$ 600 ribu untuk album-album Yoko dan John, plus royalti dari setiap rekaman karya-karya John dan Yoko yang terjual. Bagi Yoko, Eddie - yang selama ini ia anggap sisa teman baik yang masih bisa dipercaya - telah dengan kasar memanfaatkan namanya. Juga menipunya. "Eddie salah seorang yang paling dekat dengan saya," katanya. Sementara itu, surat masih terus membanjir ke Dakota. Pada tahun 1981 saja lebih dari 250.000 pucuk, dan paling banyak menyanjung Yoko dan John. Tapi salah satu surat berbunyi: "Sesuai dengan penujuman, saya akan membunuhmu. Kamu tidak pantas terus bertahan hidup." Sehabis membaca itu, dengan sedikit gemetar Yoko menelepon Mahoney. Penyelidikan dilaksanakan. Hanya beberapa hari setelah itu surat ancaman lain datang lagi - kali ini tidak ditangani seperti yang sudah-sudah. Dalam beberapa bulan ini seseorang di Florida berkirim surat memberitahukan adanya Mark Chapman Fan Club. Salam penutupnya "Mampus untuk Yoko." Surat itu disertai pula album rekaman Yoko yang sudah compang-camping tertembus peluru. Penulisnya memberitahu, ia kini dalam perjalanan ke New York bersama saudaranya - untuk membunuh Yoko. Mahoney, bekas anggota divisi kriminal elite kepolisian New York, mengencangkan keamanan di seputar apartemen. Ia bilang pada Yoko, keamanannya selama di Dakota tak bisa dijamin. Maka, suatu hari ia menganjurkan Yoko tinggal di hotel. Yoko merasa tak mungkin berlaku begitu selamanya, lantas minta pada Mahoney pulang saja ke Dakota - dalam keadaan apa pun. Mahoney dan pengawal-pengawal yang lain, kesemuanya bekas perwira polisi, belakangan terpaksa meningkatkan patroli di jalur masuk Dakota. * * * April 1983 Yoko mendengar kabar bahwa Fred telah meneken kontrak buku dengan penerbit Simon & Schuster, dengan uang muka US$ 90 ribu. Konon, pengawal yang dulu, MacDougall, ikut pula bekerja dengan Fred. Malah para pegawai yang tak puas diimbau Fred untuk bergabung. Isu paling keras: buku yang direncanakan itu terutama berdasarkan catatan harian pribadi John. Sudah saatnya kini menghentikan kegiatan detektif-detektifan di seputar rumah, dan menggantinya dengan menggebrak. Atas permintaan Yoko, Havadtoy menghubungi polisi. Fred ditangkap dengan tuduhan melakukan pencurian besar-besaran. Di rumah dan gudang yang disewa Fred polisi berhasil menemukan peralatan elektronik hasil curian dulu. Fred juga mengembaliican catatan-catatan harian John, pita-pita rekaman, dan slide. Namun, lagi, catatan bertahun 1980 tetap tak bisa ditelusuri. Di kemudian hari, setelah dibebaskan karena pengakuannya sendiri yang terus terang, Fred memperlihatkan obsesinya. Tempat tinggalnya di Brooklyn Heights bak kuil John Lennon: foto dan posterposter John bergantungan di mana-mana ada piringan emas album Double Fantasy ada perpustakaan buku-buku mengenai John ada seabrek piringan hitam dan pita rekaman lagu-lagu John. Kepada tamunya, Fred senantiasa memutarkan kaset John dan kemudian menghidangkan slide. Gambarnya: John, Yoko, Sean, Helen, dan lain-lain sedang bermain-main di Cold Spring Harbor, di Bermuda, dan di Palm Beach. Begitu slide selesai, Fred duduk di jendelanya, memandang ke luar, dan menggumam: "Si janda mesti dihancurkan." * * * 10 Mei 1983 Tampaknya, musim panas ini merupakan masa orang-orang menyudutkan John dan Yoko. Dengan buku-buku yang konyol orang mencoba membantai keluara John. Buku pertama yang segera jadi gunjingan adalah The Love You Make, yang dibuat oleh Peter Bron - orang dalam Apple, perusahaan yang pernah cekcok dengan John - bekerja sama dengan Steven Gaines. "Ah, itu tak perlu dikhawatirkan," kata Havadtoy kepada Yoko. "Tak akan ada orang yang menganggap serius banyolan itu." Tapi di pertengahan musim panas, buku itu ternyata laris. Bahkan disarikan di pelbagai koran, dengan headline berkibar-kibar: "Bagaimana Yoko menyerobot John dari istrinya." Pada minggu yang sama dengan saat ketika Brown mempublikasikan bukunya, Yoko dan Havadtoy makan siang di Russian Tea Room. Secara kebetulan Brown berada di situ, dan selama makan sempat meraih telepon mendengarkan kabar dari penerbitnya. Hak untuk edisi paperback telah terjual dengan omset US$ 750.000, sementara Yoko belum pernah membacanya. Selesai makan, sewaktu akan meninggalkan restoran, Brown mampir di meja Yoko dan Havadtoy dan memberi salam kepada keduanya. Havadtoy dengan kesal menatap Brown - menolak bersalaman. Yoko sendiri mengiyakan sekenanya sewaktu Brown berkata, "Kita sebaiknya makan siang bersama." Hari berikutnya Brown ditanya wartawan, apakah ada kalangan Beatles menemui dia. Jawabnya, "Saya sudah ketemu Yoko, dan dia tampaknya senang pada buku itu." Segera terbit pula Dakota Days, yang ringkasannya dimuat di majalah Penthouse. Penulisnya John Green, bekas tukang baca kartu ceki Yoko. Green seperti tak mau ketinggalan bikin kisruh - padahal dulu gajinya setingkat gaji seorang penasihat hukum. Green, yang merasa memiliki ingatan terang. menyusun ratusan haIaman buku yang berisi wawancaranya dengan John dan Yoko. Digambarkannya pula bahwa Yoko adalah wanita dengan semangat naga yang menelan bakat John. Yoko juga dituding sebagai pemikir ulung, sementara John adalah seorang suami yang "sudah kehilangan renungan-renungannya." Menyusul buku Green adalah buku May Pang. Berjudul Loving John dan dijadikan cerita sampul majalah Us - karya May Pang mengisahkan kembali kisah cintanya dengan John selama sang bintang berpisah dengan Yoko. Sepanjang musim panas itu Yoko mencoba menahan diri untuk tidak memberi kan reaksi. Tapi akhirnya ia mengomentari isi buku Green, dalam sebuah konperensi pers. "Buku Green tidak fair, terhadap John. Bahkan si Green sebenarnya tak semudah itu menemui John." Mintz, yang kebetulan berada di sebelah Yoko, menimpali: "Buku itu hanya penuh pembicaraan imajinatif." * * * Juli 1983 Musim panas yang menyengat berlalu dengan pelan. Yoko kembali ke studio rekaman, membuat "adonan" Milk and Honey. Berjam-jam ia menghabiskan waktu di studio mendengarkan lagu-lagu John terakhir - antaranya Livingon Borrowed Time, Grow Old with Me. Ia melakukannya berulang-ulang, hampir seperti tindakan masokistis. Havadtoy akhirnya menyelaknya sewaktu Yoko menyuruh petugas studio mengulanginya lagi untuk yang - paling tidak - ke-100 kalinya. Sering pula Sean ikut di situ, menikmati suara ayahnya. * * * Agustus 1983 Berita bagus: Penerbit Simon & Schuster membatalkan rencana menerbitkan buku Fred Seaman. Penyuntingnya menemukan banyak hal di dalamnya yang belum bisa dibuktikan kebenarannya. Dan hak buku itu dikembalikan ke Fred. Tetapi suasana mengendur akibat berita itu tidak bertahan lama. Segera terjadi guncangan lagi: orang-orang bilang, Fred telah membuat persetujuan kerja sama dengan Albert Goldman. yang disebut terakhir itu dikenal sebagai penulis yang menggunakan bakatnya cuma untuk mengumbar selera kasar. Ia penjual skandal, makin kotor makin baik, seperti yan sudah teriadi denan bukunva. Elvis. Kali ini, dengan modal uang muka sebesar US$ 900.000, ia merasa pantas memproduksi buku itu tak peduli menghadapi sumber informasi yang mungkin saja enggan berbicara padanya. Laporan yang masuk Dakota mengatakan, Goldman telah menyewa dua orang wanita untuk mendekati siapa pun yang pernah berbuat mesum dengan John, lalu menyuruh orang itu memberi tanda tangan dengan imbalan bayaran. Paling tidak Tony Menero, seorang musikus yang sempat kenal John pada tahun 1960-an, bilang bahwa Goldman telah menawarinya bayaran untuk mengisahkan kasus homoseksual dengan John. Persoalannya adalah, kata Manero, hubungan homoseks itu tak pernah terjadi. Lalu penata rambut Sparacino mengakui telah melakukan negosiasi dengan Goldman untuk menjual kisahnya. Ia merasa sebagai satu-satunya orang yang tahu cerita "sebenarnya" mengenai John pada tahun terakhir hidupnya. "Hanya John, Yoko, dan saya yang tahu.," katanya. "John tak mungkin lagi bicara. Yoko tentu tidak mau. Dan saya bersedia." la pun menawarkan kisahnya ke majalah Playboy. Ternyata, kekonyolan itu malah membuat Yoko tertawa terpingkal-pingkal. "Satu kali pun John tak pernah ngomong dengan orang itu," katanya. Rebutan kemungkinan mempublikasikan kisah tentang John lama-kelamaan jadi kasar. Sebuah sumber yang memang mengetahui kehidupan pribadi John telah menolak persekongkolan dalam membuat buku yang akan diterbitkan. Ia lalu mengalami musibah: rumahnya dirampok. Tetapi hanya barang-barang yang berkaitan dengan John yang disikat. Uang, uang. Uang di masyarakat uang, dan bukan ketulusan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini