DALAM BAYANGAN TUHAN ATAWA INTEROGASI Produksi: Teater Kecil Naskah dan Sutradara: Arifin C. Noer Pemain: Amak Baljun, Ikranagara, Dorman Borisman, dll. SUTRADARA muncul dengan topi merah, memberikan instruksi kepada para petugas pertunjukan. Dengan senter menyala di tangan, para petugas kemudian berhamburan ke arah penonton. Mereka memeriksa dan mengamankan, karena yang hadir tidak diperkenankan membawa senjata. Seorang petugas, kena periksa rekannya sendiri, berteriak memprotes - sehingga tokoh Sutradara (dimainkan dengan baik oleh Amak Baljun) kembali campur tangan. Ternyata, petugas, sebagaimana petugas pada umumnya, tidak boleh diperiksa - dan hadirin, yang hampir memenuhi gedung Graha Bhakti Budaya TIM Jumat minggu lalu itu, tertawa. Selama empat malam Arifin C. Noer mementaskan sandiwaranya, setelah beberapa tahun sibuk mengurus film yang sempat memberinya beberapa Citra. Naskahnya, Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi, yang sudah dimuat majalah Horison tahun ini, terdiri dari empat babak. Di babak pertama, tokoh Sandek berdiskusi dengan Direktur Umum yang juga disebut sebagai Malin Kundang. Tampaknya, yang dapat simpati adalah Sandek. Pada babak kedua muncul tokoh Ibu Tua yang gagal mengutuk Malin Kundang malah si ibu sendiri akhirnya jadi patung sebagai monumen masa lalu. Disusul babak ketiga, adegan di rumah sakit yang dengan kocak dan pedih membongkar brengseknya rumah sakit dengan seluruh manusianya, termasuk tokoh Dokter Kepala - dimainkan dengan energetik dan bagus oleh Zainal Abidin Domba. Babak ini sangat segar dan komunikatif. Babak terakhir, kembali Direktur Umum bertemu Sandek. Sandek akhirnya membuat keputusan. "Sekarang diam," katanya "Biarkan Tuhan bicara". Direktur Umum dan kedua petugas satpam dengan pistol diacungkan, berusaha memaksa Sandek bukamulut, tetapi tak berhasil. Sandek rebah. Penonton lalu menyaksikan sebuah pemandangan manis. Di balik kelambu transparan tampak sejumlah lilin menyala di lantai. Di belakang, rombongan manusia menyanyi. Di level bagian depan panggung Sandek tertelungkup. Sementara Direktur Umum dan kedua satpam tetap mengancam, terdengar suara seperti orang sedang menginterogasi. Lampu pun redup perlahan-lahan. Toh semuanya belum selesai. Arifin masih akan menyambung bagian pertama triloginya ini dengan dua bagian lagi. Menyaksikan tontonan ini, kita seperti mendengarkan Arifin mengeluarkan unek-uneknya yang panjang, setelah lama diam. Ia menyampaikan sebuah karikatur yang sarat dengan opini. Arifin, yang berasal dari Cirebon ini, orang yang bebas dalam berekspresi. Panggung baginya adalah mulut dan sekaligus kanvas imajinasi, bukan tiruan kenyataan wadag. Ia ingin mengungkapkan inti realita, meski barangkali itu hanya pengalaman batinnya pribadi. Di masa lalu, baik sebagai naskah maupun sebagai tontonan, ekspresinya menggigit. Sedang pertunjukannya kali ini terasa masih sebagai proses melangkah untuk menemukan yang berikutnya. Dengan bantuan Roedjito, yang kembali menunjukkan kemahirannya dalam menangkap medan, penataan artistik tampil amat efisien. Penataan musik oleh Embie C. Noer, buat sebuah "pamflet jalan pikiran" ini, terasa terlalu manis. Sementara beberapa pemain tak dapat menyembunyikan diri dari kesan kurang matang. Bukan saja karena suaranya belum apa-apa sudah habis, tetapi karena mungkin tidak sempat dijamah habis-habis oleh Arifin yang dulu kita kenal cermat itu. Namun, pertunjukan berjalan lancar dalam tempo yang santai. Meski penuh dengan opini yang menyebabkan penonton bertepuk tangan, kali ini kita kehilangan idiom-ldiom surealistis Arifin masa lalu. Mungkin ini tidak penting, karena Arifin ingin menyederhanakan diri dan berkonsentrasi pada pikiran-pikirannya. Maka, sebagai bagian darl perkembangan teater Indonesia, pementasan ini penting karena ingin mengembalikan penonton untuk sabar mendengarkan kata-kata. Ini barangkali juga sebagai reaksi terhadap perkembangan teater yang belakangan ini terlalu cenderung pada hal-hal visual. Mungkin Arifin akan berhasil, meski pementasan jadi terasa miskin - justru karena kita selama ini mendapatkan idiom-idiom yang kaya dan segar dari Teater Kecilnya. Atau boleh jadi juga kita harus bersabar, membiarkan Arifin bicara sampai selesai seluruh perjalanan pikirannya. Sesudah itu, tawaran kebenarannya bisa kita uji: betul jitu, atau hanya usaha menarik perhatian agar kita akhirnya mengerti segala sepak terjangnya sebagai semiman. Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini