Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAWAT itu diterima Letnan Jenderal Yoga Soegomo di kantornya, Perwakilan Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat. Sang pengirim yang tak lain adalah Menteri Luar Negeri Adam Malik meminta Yoga segera pulang ke Tanah Air. Situasi hari itu, 20 Januari 1974, atau lima hari setelah huru-hara melumat Ibu Kota, masih genting.
Dua hari kemudian, dari Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Yoga langsung ke kantor Adam Malik untuk melapor. Namun oleh Menteri Luar Negeri itu Yoga disarankan menghadap Presiden Soeharto ke Istana. Dalam wawancaranya kepada Tempo pada 1999, Yoga mengaku diwanti-wanti menerima perintah Soeharto menggantikan Sutopo Juwono, memimpin lagi Bakin.
Yoga sudah lama dikenal sebagai orang dekat Soeharto. Kepala Intelijen Kostrad pada 1966 itu ditunjuk Soeharto membenahi Komando Intelijen Negara (KIN) dan menjadikannya Bakin. Yoga menjadi Kepala Bakin setelah menggantikan Mayor Jenderal Sudirgo, yang dicopot Soeharto karena dicurigai pro-Partai Komunis Indonesia.
Akibat kasus dokumen negara yang hilang di pesawat komersial, Yoga dibuang ke New York. Ia menjadi Wakil Kepala Perwakilan RI di PBB. Soeharto lalu menunjuk Mayor Jenderal Sutopo Juwono sebagai penggantinya. Setelah empat tahun (1970-1974), Yoga diperintah menggantikan Sutopo, yang harus berkemas ke Belanda. Yoga dilantik pada 28 Januari atau dua pekan setelah pecah Malari.
Tugas Yoga membenahi lagi Bakin. Ia akan dibantu Leonardus Benjamin Moerdani alias Benny Moerdani, yang juga ditarik dari Korea Selatan. Namun tugas utama Yoga dalam jangka pendek adalah mencari dalang huru-hara Malari. Ia diberi waktu tiga bulan untuk melakukan investigasi, menyusun laporan lengkap, hingga memberi solusi.
Yoga memilih bekerja sendiri di rumahnya, dibantu beberapa tenaga dokumentasi. Sesekali saja ia datang ke Jalan Senopati, kantor Bakin kala itu-kini menjadi Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. Dalam pekan-pekan pertama, Yoga tenggelam dalam seluruh dokumen dan laporan intelijen tentang Malari. Tak butuh waktu lama baginya untuk mempelajari semua itu. "Sebab, saat di New York, saya memantau ketegangan Jakarta ketika terjadi Malari, hari per hari, jam per jam," kata Yoga dalam wawancara dengan Tempo pada 1999.
Perwira intelijen juga menggelar serangkaian pertemuan. Semua laporan terbaru dipasok dari Pelaksana Khusus Daerah Jakarta Raya (Laksusda Jaya); Menteri Penerangan Mashuri; aspri presiden, Ali Moertopo dan Soedjono Hoermardani; juga para pejabat Kopkamtib, seperti M. Kharis Suhud.
Ini terkait dengan sejumlah dokumen yang ditemukan dalam operasi intelijen yang digelar Pusat Intelijen dan Strategis (Pusintelstrat) di bawah komando Laksamana Muda Kusnaedi Bagja. Operasi intelijen itu, seperti dikutip Kharis Suhud dalam bukunya, Catatan Seorang Prajurit, tahun 2004, antara lain digelar dengan nama sandi "Kembang Sepatu" dan "Geladak". Dua operasi ini atas koordinasi Intelijen Kopkamtib.
Operasi Kembang Sepatu dan Geladak berujung pada penemuan "Dokumen Ramadi" yang menyebut adanya sebuah skenario pergantian kepemimpinan per 1 April 1974, setelah huru-hara. Nama Jenderal Soemitro dikait-kaitkan sebagai tokoh yang dimunculkan dalam gerakan itu.
Sebenarnya dokumen Ramadi ini pernah dilaporkan Sutopo dan Menteri Pertahanan Maraden Panggabean kepada Soeharto. Soeharto, seperti ditulis Soemitro dalam bukunya tentang Malari, hanya menjawab bahwa nama Soemitro hanya dicatut dalam rencana gerakan itu. Namun, seusai pecah Malari, Soeharto memanggil kembali Soemitro dan menanyakan kebenaran gerakan itu, termasuk sikap Soemitro yang memberi angin terhadap gerakan mahasiswa.
Belakangan, laporan intelijen lain yang disampaikan Bakin dan Hankam menyebut justru Ramadi-pensiunan jaksa tentara-adalah orang binaan Ali Moertopo dan Soedjono. Pun GUPPI, organisasi yang menyertai, adalah kreasi Ali-Soedjono. Dalam laporan itu, juga disebut penjelasan Soemitro, ada beberapa tokoh PSI dan Masyumi di balik gerakan mahasiswa.
Menurut Yoga, ada banyak versi mengenai "Dokumen Ramadi". Semua versi itu juga telah sampai di tangan Soeharto. Namun Yoga mengaku punya versi hasil penelusurannya sendiri. Termasuk temuan operasi saling gunting di tubuh perwira intelijen, sebagai imbas rivalitas dua jenderal kala itu: Ali Moertopo dan Soedjono di satu sisi versus Sutopo dan Soemitro di sisi lain.
Rivalitas dua kubu intelijen memang tak terelakkan pada masa awal pemerintahan Soeharto. Kawat-kawat diplomatik Kedutaan Besar Amerika di Jakarta, yang sejak November 2010 dibocorkan WikiLeaks kepada media massa, juga mengungkapkan adanya rivalitas itu. Meski saat itu Ali Moertopo adalah Deputi III Bakin Urusan Penggalangan, perwira di Bakin sebagian besar bersimpati kepada Jenderal Soemitro dan Sutopo Juwono. Ini karena Ali Moertopo menolak menggabungkan Operasi Khusus (Opsus) yang dipimpinnya di bawah Bakin.
Posisi Opsus yang dipimpin Ali Moertopo yang merangkap asisten pribadi Presiden punya keistimewaan. Kantor terpisah, koordinasi dan pelaporan langsung dilakukan Ali kepada Presiden. Yang jadi masalah lain, Ali dianggap tak berkoordinasi dengan Sutopo Juwono, juga lembaga intelijen lain di bawah Hankam. Padahal, sebagai salah satu deputi, Ali wajib melaporkan segala kegiatannya kepada bosnya di Bakin. Akibatnya, sering terjadi "salah tabrak" di lapangan. Sebagai bos, Sutopo juga sering kena semprot ketika Ali diserang lawan-lawan politiknya.
Situasi ini menyulut pertentangan tajam. Sampai-sampai, seperti ditulis Ken Conboy dalam bukunya, Intel Inside, 2004, Sutopo memerintahkan satuan khusus intelijen yang dipimpin Nicklany, Deputi II, memantau gerakan Ali dan timnya menjelang Malari. Operasi dengan kode Bunglon itu sampai masuk ke tubuh mahasiswa. Para telik sandi berbaur dengan demonstran, terutama berasal dari Universitas Indonesia, dan secara rutin ikut rapat mereka. Bahkan ada yang ikut menjadi operator lapangan.
Semua pergerakan Ali Moertopo dan Soedjono juga diikuti, termasuk kepergiannya ke Yogyakarta, Bandung, dan sejumlah daerah. Kantor dan rumah Ali Moertopo serta Soedjono tak luput dari penyadapan. Ali Moertopo dan Soedjono menyadari dirinya menjadi sasaran. Jusuf Wanandi, pendiri CSIS yang juga orang dekat Ali, dalam memoar politiknya, Shades of Grey, menyebutkan Ali bertanya apa motif penyadapan di rumahnya. "Ali bertanya mengapa para penyadap adalah tentara di bawah koordinasi Jenderal Soemitro," kata Yusuf. Menurut Yusuf, Ali dan Soedjono juga heran mengapa para pengawal mereka dari Staf Komando Garnisun (Skogar) ditarik.
Situasi ini juga sampai ke telinga Soeharto. Pada akhir Desember 1973, Soeharto sesungguhnya sudah memanggil para jenderal intel dan Kopkamtib ke Jalan Cendana, Jakarta Pusat. Soemitro, Ali Moertopo, Sutopo, dan Kharis Suhud hadir. Di situ Soeharto menanyakan "Dokumen Ramadi" dan masalah penyadapan Ali dan Soedjono. Soeharto mengatakan, jika ada yang ingin memiliki ambisi untuk kudeta, Soeharto mengingatkan sebaiknya yang konstitusional. Ini agar Indonesia tak mengalami nasib seperti Amerika Latin.
Soemitro menyangkal punya ambisi itu. Namun Soeharto meminta Soemitro menjelaskan semua itu ke media. Karena menjelang tahun baru, jumpa pers akan disampaikan setelah pertemuan kedua di Cendana, 2 Januari 1974. Kepada wartawan yang menunggu di luar Cendana, Soemitro-sebagaimana dituturkan sendiri di kemudian hari dalam memoarnya-menunjuk Ali Moertopo yang ada di dekatnya dan berkata, "Saya dan dia diisukan akan mengganti Presiden Soeharto." Soemitro mengaku diadu dengan Ali, kemudian Ali dengan Sutopo. "Ini keterlaluan dan sangat kotor," ujarnya. Ali menimpali, "Dan itu makar."
Yoga memiliki versi sendiri mengenai pertarungan dua kubu. Laporan mengenai versinya setebal 50 halaman. Dan itu disampaikan ke Soeharto, pertengahan April. Lengkap dengan foto, grafik, dokumen, dan slide. Soeharto minta Yoga memaparkan temuannya dalam sidang kabinet, akhir April 1974.
Dalam laporan tersebut, Yoga menunjukkan bukti jelas dan konkret bahwa peristiwa Malari bukan sebuah kebetulan, melainkan telah dipersiapkan jauh-jauh hari. Banyak dokumen resmi, foto, hingga temuan dalam bentuk surat kaleng yang dibuat untuk mengadu domba para pejabat hingga mendiskreditkan pemerintah.
Laporan Bakin yang dikeluarkan tiga bulan kemudian-dengan kata pengantar yang diteken Yoga Soegomo-hanya menggambarkan gerakan tertentu yang memanfaatkan asumsi perpecahan. Tak secara formal disebut adanya perpecahan internal antarpetinggi. Tepatnya Bakin ingin mengesankan bahwa perpecahan sekadar ditiupkan dari luar.
Laporan yang kemudian disebut "buku kuning Bakin" itu lebih menggambarkan kronologi semua kegiatan mahasiswa dari awal dewan mahasiswa pimpinan Hariman Siregar sampai terjadinya Malari. Juga pertemuan para mahasiswa dengan sejumlah elite dan unsur di luar kampus. Disebut-sebut ada penggarapan oleh orang-orang yang memanfaatkan mahasiswa, di antaranya kelompok eks PSI. "Ceramah dan demonstrasi di kampus mematangkan situasi," kata Yoga.
Menurut Yoga, Malari sesungguhnya perang elite, ada pendomplengan, ambisi perorangan dan beberapa pejabat. Targetnya semata hanya mencari posisi paling dekat dengan Soeharto dan bukan gerakan menggantikan Soeharto. "Faktanya, gerakan makar itu hanya isu," ujar Yoga.
Menurut Yoga, pada masa itu Soeharto masih dianggap yang terbaik memimpin dan bisa diterima. Penyimpangan Soeharto justru terjadi sejak 1983, ketika anak dan keluarganya mulai berbisnis. "Saya mengikuti Soeharto sejak dari komandan resimen sampai Kepala Bakin, jadi tahu persis," kata Yoga. Maka, dalam saran dan rekomendasinya setelah Malari kepada Soeharto saat itu, Presiden diminta mengurangi pejabat yang terlibat dalam friksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo