Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PESAN Ajun Inspektur Satu Navi Armadianto ke nomor WhatsApp Erwin Rahardjo tak kunjung berbalas pada akhir Oktober 2022. Penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI itu tengah mengusut perusahaan tambang ilegal di Kalimantan Timur. Kepada Direktur PT Batuah Energi Prima itu, Navi mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan.
Bareskrim tengah mengusut perubahan kepemilikan PT Batuah. Belum ada tersangka dalam kasus ini. Tapi, Erwin tak kunjung merespons pesan Navi. “Beberapa hari kemudian muncul testimoni Ismail Bolong di media sosial,” kata Navi pada awal Desember lalu.
Ismail Bolong merupakan mantan anggota Kepolisian Resor Samarinda. Dalam video itu, Ismail mengaku sebagai beking tambang ilegal di Kalimantan Timur. Ia juga mengaku menyetorkan besel kepada para petinggi Kepolisian Kalimantan Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto (kanan) di Mabes Polri, Jakarta, 24 Februari 2021/TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia juga mengklaim menyerahkan uang kepada Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto.senilai Rp 6 miliar. Karena itu, Navi menduga rekaman pengakuan Ismail Bolong tersebut berkaitan dengan pengusutan perkara Erwin Rahardjo.
Penyidik Bareskrim mengusut kasus Erwin sejak 16 Desember 2021. Pelapornya bernama Eko Juni Anto, mantan Direktur PT Batuah Energi Prima. Eko melaporkan Erwin atas pemalsuan surat dan penempatan keterangan palsu dalam akta autentik perusahaan. Erwin dituding mengubah akta tanpa persetujuan mayoritas pemegang saham PT Batuah.
Lewat perubahan akta perusahaan pada Oktober 2021, Erwin mengangkat diri sebagai Direktur PT Batuah. Ia juga tercantum menguasai saham senilai Rp 100 juta. Tapi perubahan akta itu juga tanpa persetujuan kurator ataupun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Setelah menjabat direktur, Erwin mendepak Eko Juni Anto. Ia mengangkat Mansur Munir sebagai komisaris serta seorang mantan petinggi Kepolisian RI berinisial TP sebagai komisaris utama. Eko menilai perubahan itu melanggar hukum karena PT Batuah tengah berstatus pailit, yang berarti operasionalnya berada di bawah pengawasan kurator.
Sebelum Bareskrim mulai mengusut perkara itu, Eko dan Erwin sempat saling melapor ke polisi. Eko mengadukan Erwin ke Kepolisian Daerah Kalimantan Timur pada 27 Oktober 2021 dengan tuduhan terlibat pencucian uang dari penggelapan. Erwin balik melaporkan Eko dengan tuduhan penjualan saham tak sah.
Laporan Eko ditangani Subdirektorat Fiskal, Moneter, dan Devisa Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Kalimantan Timur. Saat penyidik mulai memanggil para saksi, Erwin mengirim pesan bernada ancaman kepada para penyidik.
Dalam salinan percakapan Erwin dengan seorang penyidik, Erwin menanyakan maksud pemeriksaan terhadap para anggota stafnya. Mereka dipanggil sebagai saksi. “Maksudnya apa? Kamu periksa saya saja,” tulis Erwin kepada penyidik itu, seperti turut dibaca Tempo.
Pria 46 tahun itu bahkan menelepon penyidik yang menangani laporan Eko. Percakapan tersebut direkam dalam bentuk video. Erwin menantang semua penyidik untuk memeriksanya. “Saya tunggu. Kasih tahu Kasubditmu,” ucap Erwin kepada penyidik.
Selain menantang, Erwin mengatakan bahwa Divisi Profesi dan Pengamanan Polri akan memeriksa para penyidik. “Kamu diperiksa Propam, kamu tanggung jawab sendiri. Saya tunggu kamu. Saya yang kuat atau kamu yang kuat,” ujar Erwin mengakhiri panggilan telepon.
Tiga pejabat polisi dan dua pengusaha yang ditemui secara terpisah mengaku tak heran jika Erwin menyeret peran Divisi Propam. Kala itu, Kepala Divisi Propam dijabat Inspektur Jenderal Ferdy Sambo. Erwin selama ini dikenal sebagai teman dekat Sambo.
Erwin mengenal Sambo saat dia masih menjabat Direktur Tindak Pidana Umum pada 2019-2020. Sambo menjabat Kepala Divisi Propam pada November 2020 hingga dipecat pada Juli lalu karena membunuh ajudannya, Brigadir Nofriansyah Yosua
Erwin Rahardjo dengan anak buah Ferdy Sambo di Ditipidum dan Propam Polri berpangkat Kombes/Tempo/Istimewa
Hutabarat.
Menurut para polisi, hampir setiap hari Erwin mendatangi ruangan Sambo. Hubungan keduanya makin erat saat Sambo menyokongnya mengambil alih saham PT Batuah Energi Prima dari tangan pemilik sebelumnya, Herry Beng Koestanto.
Peran Sambo sebagai beking Erwin makin kentara saat Bareskrim mulai memproses laporan Eko. Menurut seorang penyidik, Sambo menelepon koleganya yang dulu jadi anak buahnya di Direktorat Tindak Pidana Umum. Kepada penyidik itu, kata polisi ini, Sambo meminta polisi tak melanjutkan aduan Eko.
Sempat mangkrak beberapa waktu, penyidik kembali memanggil para saksi dan mengumpulkan bukti keterlibatan Erwin seperti dilaporkan Eko. Menyadari kasusnya kembali dibuka, Erwin kabarnya meradang. Kepada sejumlah pengusaha dan polisi, ia menunjuk hidung Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Agus Andrianto sebagai biang pengusutan kasus yang menderanya.
Dua polisi dan seorang pengusaha bercerita, Erwin mengadukan kasusnya kepada Ferdy Sambo dan Kepala Biro Pengamanan Internal Divisi Propam kala itu, Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan. Hendra turut dipecat pada Juli lalu karena membantu Sambo menutupi kematian Brigadir Yosua.
Dalam pertemuan yang diperkirakan berlangsung pada awal 2022, Erwin, Sambo, dan Hendra membahas setoran para penambang batu bara ilegal di Kalimantan Timur kepada petinggi Polri. Penyuapan dikoordinasikan oleh Ismail Bolong.
Seorang polisi bercerita bahwa Erwin mengaku mendengar pengakuan Ismail Bolong yang menyuap para petinggi Polri sebagai upah membekingi tambang ilegal karena berteman dekat, sebagai sesama pebisnis batu bara. Dari sini, muncul video testimoni Ismail Bolong yang menghebohkan itu.
Polisi menangkap Ismail Bolong pada 6 November lalu. Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Agus Andrianto tak memberi penjelasan soal tuduhan Ismail Bolong bahwa ia menerima suap dan menjadi beking tambang ilegal Kalimantan. “Saya konsultasi dengan pimpinan dulu. Kemarin arahannya cukup jawaban dua kali yang sudah saya lakukan,” ujarnya.
Aduan Erwin kepada Sambo dan Hendra berlanjut. Keduanya dikabarkan memerintahkan enam personel Divisi Propam ke Kalimantan Timur pada Februari 2022. Mereka menelusuri peran para polisi yang diduga menerima besel tambang ilegal. Dari beragam pemeriksaan, mereka menemukan informasi ada setoran hingga Rp 10 miliar per bulan yang dikumpulkan lewat perwira berpangkat komisaris besar di Polda Kalimantan Timur.
Sambo kini meringkuk di penjara Markas Komando Brigade Mobil Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Melalui kuasa hukumnya, Arman Hanis, Sambo menulis jawaban soal cerita Erwin dan tuduhan beking tambang ilegal kepada Tempo.
Ia tak menjawab soal investigasi suap tambang ilegal di Kalimantan Timur dan kedekatannya dengan Erwin Rahardjo. Ia mengaku tengah berfokus menghadapi kasus kematian Yosua di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. “Saya bukan anggota Korps Bhayangkara lagi,” tulisnya.
Perkara Hendra Kurniawan juga tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia tak menjawab ketika dimintai konfirmasi mengenai kedekatannya dengan Erwin serta ada motif lain di balik pemeriksaan beking tambang ilegal di Kalimantan Timur di sela sidang.
Tempo berupaya mendatangi rumah Erwin Rahardjo di Surabaya. Seorang pria yang mengaku sebagai ayah Erwin mengatakan anaknya jarang pulang ke rumah mereka. Erwin sempat membalas surat permohonan wawancara Tempo. Namun ia meminta pernyataannya tidak dikutip. “Nanti ada waktu kita ngobrol, supaya tahu detailnya,” katanya.
Pemilik lama PT Batuah Energi Prima, Herry Beng Koestanto, 48 tahun, juga tengah mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Salemba, Jakarta Pusat. Mantan orang dekat Herry, Iwan Sardjono, mengatakan tak bisa mengontak Herry dalam beberapa bulan terakhir. “Saya terakhir berkomunikasi September lalu,” ujar mantan Direktur PT Batuah tersebut.
Iwan bercerita, sebelum PT Batuah Energi Prima dinyatakan pailit, ia acap mendapat kontak seorang kolega Erwin Rahardjo. Petrus, nama teman Erwin itu, sedang menangani urusan pailit PT Batuah pada 2018 yang terlilit utang. Iwan tak meladeni Petrus karena berseberangan dengan Erwin. “Tahu-tahu pailit sudah berhasil,” ucapnya pada Kamis, 8 Desember lalu.
Pemailitan PT Batuah menjadi titik awal Erwin mencaplok perusahaan batu bara tersebut. Kala itu, Herry Beng menjadi terpidana penipuan Rp 1 triliun. Ia dihukum empat tahun penjara pada 2016.
Ide pailit datang dari Herry Beng, sebagai pemegang saham mayoritas PT Batuah. Ia meminta bantuan Erwin Rahardjo dan Petrus untuk merekayasa prosesnya. Erwin dan Petrus kemudian diduga merekayasa sejumlah dokumen Permata Group, induk perusahaan PT Batuah. Hal ini dilakukan agar PT Batuah terhindar dari lelang atau sita oleh bank dan kreditor lain.
Menurut Iwan, Erwin Rahardjo ternyata berhasil membuat PT Batuah pailit berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga Surabaya Nomor: 28/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Niaga.Sby. Putusan ini sekaligus menunjuk hakim niaga sebagai hakim pengawas dan mengangkat Yuda Yustisia serta Suhasto sebagai kurator dan pengurus PT Batuah.
Namun, tanpa setahu hakim pengawas, tim kurator memberikan surat tugas kepada Budhi Setya, seorang warga Tangerang, Banten, yang berjualan kopi dan onderdil bekas kendaraan, membereskan dan mengurus harta pailit di lokasi tambang PT Batuah. Erwin juga menunjuk Budhi mengoperasionalkan penambangan batu bara PT Batuah di Kalimantan Timur.
Dihubungi lewat akun WhatsApp-nya, Budhi sempat menjawab beberapa pesan. Ia tak membalas pertanyaan mengenai perannya di PT Batuah Energi Prima.
Berperan sebagai bagian dari tim kurator, Budhi Setya bersama-sama Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kalimantan Timur menandatangani pakta integritas dan rencana kerja anggaran biaya (RKAB) tahun 2019 PT Batuah Energi Prima. Seusai penandatanganan itu, masih dalam kondisi pailit, PT Batuah di bawah kendali Erwin Rahardjo menambang batu bara sekitar 2.873.560 ton dengan mempekerjakan tiga kontraktor tambang.
Seharusnya izin usaha pertambangan PT Batuah tak berlaku karena berstatus pailit. Namun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tak menegurnya. Akibatnya, pemerintah berpotensi merugi karena hasil penjualan PT Batuah sebesar 1,9 juta ton seharusnya merupakan kekayaan milik negara.
PT Batuah juga diduga menjual 80 ribu ton batu bara pada periode 1 Januari-18 Maret 2019. Sementara itu, RKAB baru disetujui Dinas ESDM Provinsi Kalimantan Timur pada 19 Maret 2019. Akibatnya, negara berpotensi kembali rugi karena seluruh batu bara merupakan hasil kegiatan penambangan ilegal.
Total volume batu bara yang dikelola PT Batuah di bawah penguasaan Erwin Rahardjo sebesar 3,19 juta ton selama setahun belakangan. Produksi ini tak tercatat di situs Minerba One Data Indonesia (MODI) milik Kementerian ESDM. Di web MODI, pemilik PT Batuah masih Herry Beng Koestanto sebagai komisaris.
Selama proses penambangan itu, Kementerian ESDM tetap melayani PT Batuah. Kepala Biro Hukum Kementerian ESDM yang kini menjabat pelaksana tugas Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Muhammad Idris Froyoto Sihite, tak merespons saat dimintai konfirmasi ihwal ini hingga Sabtu, 17 Desember lalu.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Lana Saria mengaku belum bisa mengomentari kasus PT Batuah. “Karena kasus itu sedang ditangani polisi,” ujarnya.
Ismail Bolong/Istimewa
Kini Badan Reserse Kriminal Polri tengah mengintensifkan pemeriksaan kasus yang menyeret Erwin Rahardjo. Penyidik sudah melakukan gelar perkara kasus ini. Beberapa pihak yang mengetahui perkara ini mengatakan Herry Beng Koestanto sudah mengadukannya kepada Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Agus Andrianto.
Dari pemeriksaan Herry Beng, polisi mendapat informasi bahwa sudah terjadi perdamaian antara Erwin dan Eko Juni Anto beberapa bulan lalu. Mereka dikabarkan saling mencabut laporan di Polda Kalimantan Timur dan Bareskrim.
Kepada penyidik, Herry mengaku tak pernah mengizinkan Eko mencabut laporan. Ia membuat pernyataan tertulis dan meminta Direktorat Tindak Pidana Umum tetap melanjutkan perkara penyidikan pencaplokan saham oleh Erwin. “Saya berharap dan meminta kepada Bapak Kabareskrim untuk melanjutkan perkara penyidikan tersebut,” tulisnya.
EKA YUDHA, HADI MULYANA (MAGANG), MUHADZIB ZAKY (SURABAYA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo