Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH Ismail Bolong di Jalan Rajawali I, Kelurahan Sungai Pinang Dalam, Kecamatan Sungai Pinang, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, tampak lengang pada Jumat, 16 Desember lalu. Tidak tampak aktivitas apa pun di rumah bercat putih seluas setengah lapangan sepak bola tersebut. Menurut tetangga, pengusaha batu bara yang terjerat kasus tambang ilegal itu tidak pernah terlihat seusai video testimoninya beredar luas pada awal November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Titus Sidete, 52 tahun, Ketua Rukun Tetangga 10 di kawasan rumah Ismail Bolong, mengatakan sebelumnya Ismail tinggal di sana bersama istri dan empat anaknya. Namun kini mereka tidak tampak lagi. Sejak bulan lalu, sejumlah polisi beberapa kali datang mencari pengusaha batu bara itu sambil membawa surat panggilan. “Ada tiga surat, yang ngantar dari Mabes Polri,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surat pertama dan kedua datang pada November lalu. Sedangkan surat yang ketiga, yang dikirim pada awal Desember, ditujukan kepada istri dan anak Ismail. “Tapi, saat saya antar surat ke rumahnya, mereka sudah ada di Mabes Polri. Saya tahunya dari nonton TV.”
Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia menetapkan Ismail Bolong sebagai tersangka pada Rabu, 7 Desember lalu. Ia dituding mengoperasikan tambang batu bara ilegal. Pada hari itu juga Ismail mendekam di tahanan Markas Besar Polri.
Penetapan tersangka Ismail Bolong merupakan tindak lanjut perintah Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo supaya menangkap Ismail sejak pertengahan November lalu. Listyo ingin mendapat kejelasan pernyataan mantan anggota intel Kepolisian Resor Samarinda itu tentang aliran suap ke petinggi kepolisian. Ismail berhenti menjadi polisi pada Juli lalu dengan pangkat terakhir ajun inspektur satu.
Dalam videonya, Ismail mengaku sebagai pelindung tambang ilegal batu bara di Kalimantan Timur. Untuk melindungi penambangan ilegal, menurut Ismail, dia menyuap para pejabat kepolisian dari tingkat kepolisian resor hingga Mabes Polri. Ismail bahkan mengklaim menyetorkan duit untuk Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto.
Beberapa hari seusai video tersebut viral, Ismail meralat pernyataan yang menyebutkan aliran uang kepada Agus Andrianto. Dia mengatakan video itu dibuat saat ia dalam keadaan mabuk dan ditekan oleh Hendra Kurniawan. Saat itu Hendra masih menjabat Kepala Biro Pengamanan Internal Divisi Profesi dan Pengamanan Polri dengan pangkat brigadir jenderal.
Karier Hendra di Polri berakhir pada Oktober lalu karena dia diduga membantu mantan Kepala Divisi Propam Polri, Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, menutupi pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Komisaris Jenderal Agus adalah anggota tim khusus bentukan Kepala Polri untuk mengusut kasus kematian Yosua.
Meski Ismail meralat pernyataannya, video testimoni itu telanjur membuat geger Markas Besar Polri. Apalagi, saat masih menjabat, Sambo dan Hendra menelusuri langsung kasus suap ke petinggi Polri. Selain video testimoni Ismail, beredar video testimoni sejumlah pejabat di Polda Kalimantan Timur tentang suap tersebut.
Video testimoni Ismail menginspirasi Koalisi Solidaritas Pemuda Mahasiswa melaporkan Agus Andrianto ke Komisi Pemberantasan Korupsi pada Rabu, 30 November lalu. Koordinator Koalisi, Giefrans Mahendra, meminta KPK memeriksa keterlibatan Agus yang diduga turut melindungi para penambang ilegal batu bara. “KPK harus turun tangan terkait dengan dugaan keterlibatan Agus menerima setoran tambang ilegal,” ucapnya.
Kasus Ismail Bolong ditangani Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim. Ismail diperiksa sejak Selasa hingga Rabu dinihari, 6-7 Desember lalu, dan langsung ditetapkan sebagai tersangka. Penyidik juga menetapkan dua orang lain sebagai tersangka.
Mereka adalah Budi, 41 tahun, dan Rinto, 34 tahun. Budi adalah penambang batu bara tanpa izin di wilayah perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara PT Santan Batubara, sedangkan Rinto kuasa direktur PT Energindo Mitra Pratama.
Berdasarkan akta perusahaan, PT Energindo didirikan pada Desember 2020. Ismail adalah komisaris perusahaan tersebut dan menguasai 80 persen saham. Sedangkan sisa saham lain dipegang Mochammad Rifky Alfarez, yang menjabat direktur.
Ismail Bolong/Istimewa
Ismail dijerat dengan Pasal 158 dan 161 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Kedua pasal tersebut mengatur pidana penambangan tanpa izin. Selain itu, Ismail dijerat menggunakan Pasal 55 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman penjara lima tahun dan denda Rp 100 miliar.
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Hubungan Masyarakat Polri Komisaris Besar Nurul Azizah mengatakan Ismail diduga berperan mengatur penambangan ilegal batu bara. Lokasi tambang yang dimaksud berada di Kampung Citra, Desa Tanjung Limau, Muara Badak, Kutai Kartanegara. Lokasi tersebut merupakan terminal khusus PT Makaramma Timur Energi.
Ismail dan dua rekannya tersebut diduga memanfaatkan, mengangkut, serta menjual batu bara tanpa izin usaha penambangan, izin pertambangan rakyat, dan izin usaha pertambangan khusus. “Ismail berperan mengatur rangkaian kegiatan penambangan ilegal,” ujar Nurul melalui pesan video yang dibagikan kepada wartawan pada Kamis, 8 Desember lalu.
Mengenai dugaan setoran sindikat tambang ilegal batu bara kepada para pejabat kepolisian yang sempat disampaikan Ismail, Markas Besar Polri enggan berkomentar. Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Brigadir Jenderal Pipit Rismanto tidak bersedia memberi tanggapan. Pipit sempat merespons permintaan wawancara Tempo. Namun dia tidak menanggapi saat Tempo menyatakan hendak meminta konfirmasi mengenai kasus Ismail Bolong.
Pengacara Ismail Bolong, Johannes Tobing, mengaku tengah sakit dan dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, saat dihubungi Tempo pada Selasa, 13 Desember lalu. “Saya sedang persiapan operasi,” tuturnya. Johannes mengatakan semua tanggapan mengenai kasus Ismail Bolong sudah ia sampaikan di hari penetapan Ismail sebagai tersangka.
Saat itu Johannes mengatakan kliennya diperiksa dan menjadi tersangka kasus penambangan ilegal, bukan terkait dengan kasus dugaan suap ke pejabat kepolisian. “Ada 62 pertanyaan, semua terkait dengan perizinan tambang. Tidak ada tentang suap,” ujarnya.
Johannes mengakui bahwa Ismail mengenal Komisaris Jenderal Agus Andrianto, tapi sebatas anggota Polri yang mengenal pemimpinnya. Selama menjadi polisi hingga mengundurkan diri, Ismail tidak pernah bertemu dengan Agus. “Apa lagi menjanjikan atau memberi sesuatu. Satu juta persen tidak ada,” katanya.
Dalam sejumlah kesempatan, Komisaris Jenderal Agus Andrianto membantah pernyataan Ismail Bolong tentang suap. Menurut Agus, jika Ismail pernah diperiksa soal suap dan terbukti, semestinya Ismail sudah ditangkap sejak dulu. “Kini Ismail Bolong sudah ditangkap dan melalui pengacaranya sudah memberi klarifikasi dan bantahan mengenai tuduhan dia,” ujar Agus.
AGUNG SEDAYU, SAPRI MAULANA (SAMARINDA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo