Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERSETERUAN di antara para jenderal di Korps Bhayangkara hanya bisa berakhir jika Presiden Joko Widodo serius membenahi institusi kepolisian dan konsisten memberantas korupsi. Jokowi harus mengerahkan semua modal politiknya untuk mengembalikan martabat polisi dan memperbaiki sistem hukum di negeri ini. Kegagalan memanfaatkan momentum reformasi aparatur penegak hukum akan membawa petaka untuk masa depan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisah terbaru dari perang bintang di Trunojoyo terjadi dalam ihwal penahanan Ismail Bolong, mantan anggota Kepolisian Resor Samarinda, Kalimantan Timur. Sebelum ditangkap, dia merilis pernyataan menghebohkan tentang suap Rp 6 miliar yang ia klaim dikirim kepada Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belakangan, beredar video lain yang berisi pencabutan pengakuan itu. Ismail mengaku dipaksa membuat testimoni suap ketika diperiksa Hendra Kurniawan, mantan Kepala Biro Pengamanan Internal di Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. Kita tahu atasan Hendra adalah Ferdy Sambo, eks jenderal bintang dua yang kini duduk di kursi pesakitan dalam kasus pembunuhan ajudannya sendiri, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, awal Juli lalu. Adapun Hendra telah dipecat karena membantu Sambo menghalang-halangi penyidikan.
Penelusuran majalah ini menemukan kisah lain dari pengakuan Ismail Bolong. Video viral pengakuan itu dirilis ketika para penyidik Badan Reserse Kriminal Polri tengah menelusuri kasus penipuan yang melibatkan pengambilalihan tambang batu bara Kalimantan bernilai ratusan miliar rupiah. Ferdy Sambo diduga terlibat dalam kasus itu dan aktif mempengaruhi penyidikan. Siapa yang benar dan siapa yang salah dalam sengketa itu tentu masih harus dibuktikan. Yang pasti, perseteruan yang kini muncul tak lepas dari konflik perebutan tambang batu bara para jenderal polisi.
Walhasil, silang sengkarut perkara ini sebenarnya hanya puncak gunung es. Bagi Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, menyelesaikan kasus Ismail Bolong tak sulit. Yang lebih penting dari itu adalah menyelesaikan akar persoalan perang bintang ini. Leluasanya para jenderal saling jegal untuk melindungi kepentingan sendiri-sendiri menunjukkan ada persoalan serius dalam akuntabilitas penegakan hukum kita.
Kedekatan para pengusaha nakal dengan petinggi Korps Bhayangkara dan mudahnya mereka memanfaatkannya untuk melindungi bisnis ilegal menimbulkan pertanyaan besar soal prinsip kesetaraan di depan hukum. Tanpa reformasi mendasar—tak hanya di tubuh kepolisian, tapi di seluruh perangkat hukum kita—ketidakpuasan publik mudah meletup menjadi pembangkangan sipil dan bencana sosial yang meluas.
Banyak riset seputar korupsi polisi di berbagai belahan dunia mengungkapkan bagaimana sistem politik dan akuntabilitas para elite berpengaruh besar dalam membangun kultur antikorupsi penegak hukum. Pembiaran korupsi di tubuh kepolisian merefleksikan lemahnya sistem antikorupsi di semua struktur elite politik Indonesia.
Fenomena perang bintang di Markas Besar Polri sejatinya mencerminkan masalah korupsi yang akut dalam sistem politik dan hukum kita. Para elite mendapatkan keuntungan dari lemahnya akuntabilitas penegak hukum. Merekalah penerima manfaat terbesar dari kegagalan reformasi polisi. Dalam 5-10 tahun terakhir, kita menyaksikan praktik pemanfaatan polisi untuk berbagai kepentingan politik para elite. Berkelindannya kepentingan penguasa dengan penegakan hukum berdampak buruk pada profesionalisme polisi. Sudah saatnya Presiden Joko Widodo dan para pemimpin mengakui fakta yang sudah begitu kasatmata: Indonesia sudah berada di titik nadir penegakan hukum.
Karena itu, penyelesaian kasus Ismail Bolong membutuhkan lebih dari sekadar kesungguhan Kapolri. Secara politik, Jenderal Listyo Sigit perlu didesak untuk membersihkan seluruh institusi kepolisian. Tanpa campur tangan Presiden, mustahil polisi bisa melepaskan diri dari jerat kepentingan para elite yang justru menikmati buruknya penegakan hukum di Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo