Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bank pemerintah dan swasta akhirnya berkompromi. Main tinggi-tinggian bunga pun mereda. Sayang, banyak korbannya. TUJUH direktur utama bank pemerintah sejak pekan lalu, 24 Juli, telah mengisap pipa perdamaian dengan 28 bankir swasta terkemuka di Hotel Jakarta Hilton. Mereka, untuk sementara barangkali, bersepakat tak akan berlomba untuk menawarkan bunga deposito yang menggiurkan siapa saja yang punya uang lebih. Upacara perdamaian itu memang tak dihadiri oleh Menteri Keuangan Sumarlin, yang pada mulanya melemparkan gagasan turunnya bunga. Juga tidak oleh Gubernur Bank Sentral Adrianus Mooy, yang tak banyak terdengar suaranya dalam gerakan penurunan suku bunga tadi. Konon, para bankir swasta tersebut semula amat berharap bisa bertatap muka dengan Sumarlin. Tapi tokoh yang mewakili pemilik bank-bank pemerintah itu agaknya berhalangan untuk berdialog dengan para bankir swasta. Dan, yang kemudian tampil untuk berbicara dengan para bankir tadi adalah Kamardy Arief, Direktur Utama BRI. Dialah bankir pemerintah yang kini terbilang paling senior. Semula para bankir BUMN itu merasa ragu-ragu untuk menuruti permintaan Sumarlin, yang olehnya disebut sebagai moral suasion. Sebab, bank-bank pemerintah pulalah, setelah dimulai oleh BDN dan BBD Februari lalu, yang berani memasang bunga deposito yang bersaing dengan bank-bank swasta. Tapi setelah mereka akhirnya menerima ajakan Sumarlin? "Bank-bank pemerintah tak bisa lagi dipandang sebagai pemimpin," kata Kamardy Arief. Ucapan Kamardy agaknya bukan tanpa alasan. Dari statistik perbankan keluaran BI, tercermin peran bank-bank pemerintah, baik dalam pengerahan dana masyarakat maupun dalam penyaluran kredit, sudah jauh merosot. Sebelum Pakto (paket deregulasi Oktober 1988), bank pemerintah menguasai 60% dari seluruh dana masyarakat yang dihimpun perbankan. Kenyataan pada akhir Mei 1991, peran itu tinggal 44%. Sementara itu, dalam tempo yang sama, peran bank-bank pemerintah dalam penyaluran kredit telah merosot dari 72% ke 57%. Kamardy juga terus terang mengungkapkan kelemahan lain bank-bank pemerintah dibandingkan swasta. Banyak bank swasta telah go public hingga punya modal yang kuat. Mereka pun masih bisa memperbesar modal dengan laba ditahan. "Sementara itu, dari kami, sebagian besar laba harus disetor kepada pemerintah. Jadi, kami tidak punya uang untuk meringankan biaya," kata Kamardy. Itulah sebabnya, bank-bank pemerintah lalu secara serentak akhirnya mau menawarkan pipa perdamaian dengan bank-bank swasta. Dalam pertemuan itu bank pemerintah mengusulkan agar sama-sama menurunkan suku bunga deposito. Semua pemilik bank swasta yang hadir setuju. Tapi, pelaksanaannya masih membutuhkan pengelompokan. Ada sejumlah bank yang merasa tak bisa disejajarkan dengan bank pemerintah. Alhasil, entah atas usul bankir mana, para peserta pertemuan di Hilton itu sepakat pula untuk membagi dalam tiga kelompok. Pertama, mereka yang bersedia mengikuti bank-bank pemerintah memasang 20% bunga deposito setahun untuk simpanan sebulan, 21% untuk yang tiga bulan, dan 22% untuk simpanan setahun. Ketika pemimpin sidang langsung bertanya, siapa yang bersedia disejajarkan dengan bank pemerintah, kabarnya cukup banyak yang mengangkat tangan tanda setuju. Antara lain BCA, Panin Bank, Bank Danamon, BII, BUN, dan Lippobank. Kelompok kedua adalah yang ingin memasang bunga 1% di atas angka tadi. Dengan kata lain, untuk simpanan yang sebulan bunganya 21% setahun, untuk tiga bulan 22% setahun, lalu untuk simpanan enam bulan sampai setahun, bunganya 23%. Kelompok ini antara lain terdiri dari BDNI dan Tamara Bank. Ada juga bank swasta yang merasa belum sekuat barisan kedua hingga suku bunganya minta ditambah masing-masing dengan 1% lagi, jadi antara 22 dan 24% setahun. Siapa mereka, pasti akan terbaca mulai 1 Agustus ini. Toh kesepakatan tersebut mengundang tanya juga di antara beberapa pengamat. Bukankah langkah ini akan menjadi preseden yang lebih tunduk pada moral suasion tadi daripada hukum permintaan dan penawaran di pasar? Namun, sesungguhnya keinginan untuk menurunkan suku bunga deposito sebenarnya sudah beberapa bulan yang silam diayunkan oleh bank swasta. Setidaknya, ada 40 bank pada 24 April lalu telah bertemu di Bandung, atas inisiatif Bank NISP. Hasil pertemuan adalah, mereka setuju menurunkan suku bunga. Tapi kesepakatan di Bandung itu kurang lebih sama dengan sejumlah kesepakatan OPEC, yang lain di sidang, lain di ladang. "Soalnya, bank-bank pemerintah tak mau ikut," kata Direktur Utama Bank NISP, Karmaka Surjaudaja. Apa sebab? Menurut Dirut BRI, belakangan ini bank-bank pemerintah sangat terpukul oleh kebijaksanaan beruntun otoritas moneter. Kamardy menunjuk kebijaksanaan penarikan kredit likuditas BI tahun lalu, serta ketentuan Departemen Keuangan yang mengharuskan pajak 15% atas bunga deposito dan bunga tabungan agar langsung disimpan ke BI. Itu semua menyebabkan dana di bank-bank pemerintah terus menyusut. Pukulan lebih berat terjadi pada akhir Februari 1991. Saat itu Menteri Keuangan menarik trilyunan dana BUMN dari bank pemerintah, yang kemudian dialihkan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). "Padahal, kami sudah kepalang menyalurkan dana-dana tersebut dalam kredit," Kamardy berterus terang. Hal ini yang agaknya menyundut bankir pemerintah hingga seperti orang kalap. Masalahnya, jumlah bank sudah bertambah banyak sejak Oktober 1988. Bank-bank lama juga sudah menebarkan ribuan cabang sampai ke mana-mana. Berbagai tabungan modern, seperti Simpedes (BRI). Tabungan Plus (BNI), Tabungan Jumbo (BDN), Simpanan Masyarakat Kota (BRI), praktis telah menyedot hampir semua dana masyarakat. Akhirnya bank pemerintah melirik dana besar di bank swasta. Februari lalu, beberapa di antara mereka mengerek bunga sampai 27%, di atas yang ditawarkan sejumlah bank swasta. Bak gayung bersambut, bank swasta yang merasa disaingi pun pada menaikkan bunga, antara 27% dan 30% setahun. Gila. Banyak yang terpukul. Misalnya penghasilan nasabah berkurang banyak. "Para produsen terpaksa memperpanjang piutangnya dari agen dan distributor. Biasanya dua bulan, kini sudah ada yang sampai empat bulan. Bahkan, tak sedikit ngemplang," kata Kamardy. "Saya dengar banyak bank yang mengalami kredit macet. Di BII sendiri ada sekitar 2%, dulu cuma sekitar 1%," kata Eka Tjipta, pemilik BII. Total kredit BII bernilai Rp 2 trilyun, hingga jumlah uang macetnya sekitar Rp 40 milyar. Buntutnya, bank-bank memotong pemberian kredit baru. "Takut kredit macet," kata Kamardy. BRI kini hanya memberi kredit baru kepada nasabah kecil. "Bagi mereka, bunga tidak masalah. Yang penting tersedianya dana," kata Kamardy. "Perang bunga deposito ini seperti film koboi. Dar-der-dor, akhirnya banyak yang mati," kata Prof. Dr. Nurimansyah Hasibuan, konsultan, dan guru besar FE Universitas Sriwijaya. Di Palembang, menurut Hasibuan, banyak kontraktor kecil jadi korban. "Padahal, di kalangan bank pun ada permainan. Mereka tak dikenai sanksi," katanya. Peredaran cek kosong pun meningkat. Laporan Mingguan BI mencatat, nilai cek kosong pada triwulan terakhir 1991 berjumlah Rp 3,3 milyar, alias sekitar Rp 1,1 milyar per bulan. Sedang sejak Januari lalu, nilai cek kosong naik rata-rata dengan Rp 4 milyar per bulan. Sialnya, peminjam perorangan yang berpenghasilan tetap makin ketiban pulung. Selain dihantam bunga tinggi, kredit untuk mereka belakangan ini tak urung dianggap bersifat konsumtif. Misalnya, kredit perumahan dan kartu kredit. Padahal, mereka umumnya jadi korban rayuan bank-bank juga. Seperti diketahui, tahun lalu bank-bank swasta menawarkan kredit pemilikan rumah dengan bunga yang ditawarkan hanya 16%-17% setahun. Tapi belakangan ini, bank-bank secara sepihak menaikkan bunga kredit tersebut. BII, Lippo Bank, Bukopin kini meminta bunga sekitar 29%. Praktis terjadi kenaikan 12% atau sekitar 1% per bulan. Jika pinjamannya misalnya Rp 30 juta, itu berarti debitur harus menambah pembayaran bunga Rp 300.000 sebulan. Akibatnya, cicilan untuk masa 10 tahun, yang tadinya baru sekitar Rp 600.000 sebulan, kini menggelembung sampai mendekati Rp 1 juta sebulan. Tapi, untuk mereka juga terbuka fasilitas restrukturisasi. Lippobank, misalnya, menawarkan dua jenis restrukturisasi. Pertama, mereka bisa memperpanjang masa cicilan, misalnya dari 10 ke 15 tahun. Cara kedua, yakni untuk lima tahun pertama boleh mencicil hanya bunganya. Baru pada lima tahun terakhir, ketika pendapatannya sudah meningkat, diharuskan mencicil utang pokoknya berikut bunga. "Tapi, itu tentu tergantung kondisi debitur. Restrukturisasi tentu mengandung kerepotan administra- tif," kata Wakil Presiden Direktur Lippo Group, Roy E. Tirtadji. Kartu-kartu kredit, yang juga dahulu diumbar tanpa uang pangkal, kini diikuti syarat-syarat ketat. Kartu kredit Visa dan Master dari BII, misalnya, di masa promosi akhir tahun lalu hanya dikenai sekitar 28% setahun, kini dikenai bunga sekitar 43,44% setahun. Itu pun belum termasuk biaya administrasi. Apakah kelak tak akan timbul perang lagi? Ya, itu tergantung seberapa jauh kesepakatan para bankir bisa dipatuhi. Terutama dari bank pemerintah, yang memulai perang bunga tadi. Max Wangkar, Dwi S. Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo