Bunga simpanan turun sedikit, tapi bunga pinjaman masih harus menunggu. Bagaimana dengan pemilik uang yang ingin tidur nyenyak? INILAH peristiwa yang untuk pertama kali terjadi dalam sejarah perbankan di Indonesia. Bayangkan, 35 bankir terkemuka, tujuh dari pemerintah dan 28 swasta secara diam-diam berkumpul di dalam suatu ruangan besar di Hotel Jakarta Hilton, Rabu pekan lalu. Mereka berdebat panjang pasal suku bunga deposito yang tak juga mau turun. Suatu keadaan yang membuat para pengusaha menjerit-jerit karena tingkat suku bunga pinjaman (lending rate) tetap melayang-layang di atas bunga deposito yang rata-rata terbilang tinggi di Indonesia. Para bankir tadi akhirnya bersepakat untuk secara serentak mulai sedikit menurunkan suku bunganya sejak 1 Agustus ini. Suatu sikap yang memang terpuji untuk menolong keadaan sekalipun barangkali terasa tak sejalan dengan semangat deregulasi dan persaingan. Tak mengapa. Peran Pemerintah, bagaimanapun semangat deregulasi itu, masih besar dalam mengatur jalannya lalu lintas keuangan dan moneter di Indonesia. Maka, sejak dua bulan lalu, Menteri Keuangan Sumarlin, yang juga Ketua Dewan Moneter, telah memanggil para direktur utama semua bank pemerintah. Mereka diajak bicara. Mulanya satu per satu, lalu diajak berunding bersama-sama. Para bankir BUMN itu, yang punya peran besar dalam peredaran uang di Indonesia, akhirnya setuju untuk menurunkan sedikit suku bunga depositonya, 1 sampai 2 persen. Kecil memang. Tapi dalam suasana ekonomi yang secara beruntun ditimpuk oleh naiknya harga BBM, tarif listrik, angkutan, dan harga semen, penurunan yang sedikit ini diharapkan bisa mengendurkan saraf kaum pengusaha. Tapi ada juga suara yang mengatakan, jangan terburu senang dulu. Jangan-jangan penurunan suku bunga itu akan membangunkan suhu inflasi yang selama ini bisa ditekan ke titik dingin 3,6% sampai akhir Juni lalu. Ada juga orang yang menduga-duga, jangan-jangan turunnya suka bunga akan membuat para penyimpan mulai berpikir untuk melarikan duitnya ke Singapura. Atau ke dalam mata uang dolar di bank-bank dalam negeri yang berani menawarkan bunga lebih bagus dari bank-bank di luar negeri. Kemungkinan tersebut tentu saja berlaku bagi para pemilik uang di atas Rp 50 juta. Kemungkinan seperti itu agaknya bukan tak ada. Apalagi bagi pemilik uang panas yang lebih suka tidur nyenyak sekalipun rugi sedikit. Sebab, turunnya si bunga di sini, bagaimanapun, akan diatur begitu rupa agar tetap lebih tinggi dari bunga dolar dan mata uang kuat yang lain. Adalah Dahlan Sutalaksana, Kepala Urusan Giralisasi dan Pasar Uang di BI, yang merasa yakin suku bunga deposito di Indonesia masih lebih bagus dari luar negeri. "Suku bunga kita masih kompetitif, kok," katanya. Menurut Dahlan, bank-bank di Singapura paling tinggi hanya berani memberikan bunga deposito dalam dolar AS, sekitar 17,5% setahun, untuk simpanan sebulan. Nah, sambung Direktur Utama BRI, Kamardy Arief, "kalau misalnya kita memasang tingkat bunga di bawah itu, uang kita baru akan kabur ke luar negeri." Dahlan benar. Tapi barangkali, yang agaknya perlu dipantau lebih jauh adalah, ya, itu tadi: para pemilik uang besar yang lebih memilih tidur nyenyak daripada harus setiap kali mengikuti naik turunnya kurs valuta asing terhadap rupiah. Lebih-lebih jika kalangan ini termakan oleh kabar-kabar burung, bahwa depresiasi rupiah terhadap sejumlah mata uang asing kuat akan semakin besar. Bagi mereka yang waswas bahwa tingkat inflasi bisa dipompa dengan turunnya suku bunga, Sumarlin, dalam keterangannya kepada TEMPO, pagi-pagi sudah mengingatkan, Pemerintah tak bakalan akan mengorbankan inflasi. Kalau tingkatnya dalam paruh tahun ini baru mencapai 3,6%, bukan mustahil dengan agak longgarnya bunga, inflasi tak akan merayap hingga di atas 8% pada akhir tahun kalender ini. Pendek kata, "harus tetap single digit," kata Sumarlin. Jadi, berapa kira-kira bunga pinjaman yang akan diberikan kepada pengusaha setelah kesepakatan di Hotel Hilton? Tak mudah direka. Itu banyak bergantung pada gelagat bunga deposito, yang mau tidak mau akan bervariasi juga di antara bank-bank. Persaingan untuk menarik deposan besar pasti akan terus berjalan, tanpa perlu diumumkan setiap kali dalam koran. Tapi, menurut seorang bankir swasta yang terkemuka di Jakarta, lending rate tak boleh sampai di bawah 21% setahun. Perhitungannya begini: bunga pinjaman di antara bank-bank di Singapura, yang dikenal dengan istilah Sibor, adalah 6,5% setahun. Setelah ditambah spread atau tambahan di atas tingkat Sibor yang 1,5% setahun, dan premi swap -- diberikan oleh nasabah kepada bank yang menjamin pinjaman valuta asing dalam kurs tetap -- sebanyak 13% setahun. Penurunan suku bunga ini sedikit banyak juga ingin mengerem masuknya pinjaman off-shore -- rata-rata satu persen lebih tinggi dari pinjaman komersial biasa -- disalurkan ke dalam pinjaman deposito berjangka di Indonesia. Suatu praktek spekulasi yang selama ini kerap terjadi. Apakah praktek-praktek seperti itu akan dihambat mulai awal Agustus ini, masih harus dilihat. Seorang bankir lain menilai, dengan tindakan bersama penurunan bunga deposito, BI pun tak lama lagi akan melonggarkan premi swap-nya. Berbeda dengan yang dipasang bank swasta, premi swap di BI mencapai 16,5%. "Premi swap setinggi itu menunjukkan betapa otoritas moneter masih khawatir akan terjadi spekulasi valuta asing," ujarnya. Barangkali, yang masih ingin dilihat oleh kalangan pengusaha adalah, apakah turunnya bunga deposito akan segera diikuti dengan turunnya lending rate. Tapi, yang biasanya terjadi dalam praktek tak semudah hitungan matematis. Itu, setidaknya, kalau yang dikatakan Wakil Presiden Bank Internasional Indonesia Hidajat Tjandradjaja benar. "Paling tidak, itu memerlukan masa penyesuaian selama enam bulan," katanya kepada TEMPO. Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini