Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Rangkulan grup salim untuk hipmi

Salim grup akan bekerja sama dengan anggota hipmi dalam proyek bernilai us$ 20 juta. para konglome- rat membentuk lembaga modal ventura dalam upaya mengurangi kesenjangan ekonomi.

3 Agustus 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hubungan kemitraan dianggap cocok untuk mengurangi kesenjangan ekonomi. Eka Tjipta menolak istilah pri dan nonpri. Hipmi mendapat 20 juta dolar. ADA pekerjaan baru bagi Menteri Keuangan J.B. Sumarlin sejak Jumat pekan silam: menjadi wasit untuk pelbagai rencana kerja sama antara Salim Group dan Hipmi (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia). Jabatan baru itu merupakan hasil kesepakatan yang dibuat oleh lima pengurus Hipmi (dipimpin ketuanya Bambang Riyadi Soegomo) dengan Anthony Salim, yang Jumat pagi itu mengadakan perundingan selama hampir satu jam di ruang kerja Sumarlin. Sebagai tuan rumah, Sumarlin menjadi pemandu perundingan tersebut dan tak menolak dipilih sebagai wasit. Pagi itu Anthony didampingi Direktur Eksekutif Senior Salim Group, Johannes Kotjo. Anthony, anak ketiga "putra mahkota" Liem Sioe Liong, jarang keluar dari markas besarnya di lantai 19 Wisma Indocement, Jalan Jenderal Sudirman Jakarta, untuk bertemu dengan wartawan. Apalagi pembicaraan di situ menyangkut rencana-rencana kerja sama dengan sekelompok wakil dari calon mitra usahanya. Anthony, belum genap 42 tahun -- dan masih gemar joging ringan -- selama ini lebih suka melihat Om Liem, Presiden Komisaris Salim Group, untuk maju ke depan umum. Langkah baru Salim Group ini tentu mengundang banyak perhatian. Terutama di tengah isu kesenjangan ekonomi bertiup kencang dan bersinggungan dengan masalah pri dan nonpri. Dan Salim Group, seperti kata seorang anggota direksinya, sesungguhnya bisa saja berkembang sendiri tanpa melibatkan kelompok-kelompok usaha yang berskala jauh lebih kecil. Tapi bukan jalan itu yang rupanya dipilih oleh Salim Group. Maka, sejak beberapa waktu lalu Anthony dan Sumarlin berunding tentang soal pri dan nonpri tersebut, melalui rencana untuk merangkul Hipmi, yang kebanyakan anggotanya tergolong pribumi kelas sedang. Hatta, sepekan menjelang Pak Harto menunaikan ibadah haji kemarin, pihak Hipmi dipanggil oleh Sumarlin. Dan kemudian terjadilah pertemuan Jumat pagi lalu itu. Rencana kerja sama itu sendiri kongkretnya akan mulai jelas bentuk dan wujudnya pekan depan, tanpa formalitas upacara dan memorandum of understanding. Kedua pihak sudah sepakat untuk langsung membentuk proyek bersama. Sebagai ancar-ancar, kerja sama tersebut pada tahap awal akan melibatkan anggota-anggota Hipmi dalam kegiatan sekitar lima buah proyek bernilai sekitar US$ 20 juta. Bagi Salim Group, yang omsetnya sekitar US$ 7 milyar, nilai US$ 20 juta yang tercuil untuk dinikmati anggota-anggota Hipmi pasti tak akan mengganggu irama pertumbuhannya. Porsi tersebut hanya bagian kecil dari rencana-rencana Salim Group untuk pengembangan investasinya di segitiga emas Kepulauan Riau- Johor-Singapura. Sebagian lagi kabarnya akan diambil dari proyek Cikampek, Jawa Barat, berupa rencana pengembangan fasilitas pusat pengelolaan produk-produk ekspor. Kebetulan untuk proyek-proyek raksasa di Pulau Batam dan Pulau Bintan, serta Cikampek, yang nilai totalnya mencapai trilyunan rupiah, motor utamanya adalah Anthony Salim sendiri. Dan sudah lama Anthony memberikan aba-aba, agar untuk proyek di Cikampek dalam tahap awal dibuka celah kerja sama dengan sekitar 300 perusahaan lain, dalam bentuk joint venture, atau istilah sekarang kemitraan. Barangkali anggota Hipmi bisa ikut jadi subkontraktor dalam pembangunan infrastrukturnya. Anthony mengatakan, "Kami tidak akan memberikan bagian proyek itu dengan begitu saja." Maksudnya, dari pihak anggota Hipmi yang terpilih bekerja sama nantinya diperlukan banyak persyaratan, di antaranya meliputi kemampuan teknologi dan keandalan manajemennya. Harap maklum, dari kira-kira 6.000 anggota Hipmi, kabarnya masih banyak yang kualitas pengelolaan perusahaannya masih "asal-asalan". Belum lagi menyangkut kecocokan dalam banyak hal lain untuk mengamankan kerja sama itu. Maka, kata Anthony dalam pertemuan Jumat tersebut, "Diperlukan penjajakan lebih dulu. Dan ketika bekerja sama, perlu adanya fair play, tidak main belakang." Suara lugas seperti ini rupanya diperlukan sejak dini untuk memupus segala kekhawatiran yang bisa saja muncul dari mitra yang kurang bertanggung jawab, mengingat sudah memperoleh kemudahan menggarap suatu proyek. Dari pihak Hipmi sendiri sudah ada sikap tegas, bahwa anggota-anggota yang memiliki kesempatan nanti akan disaring berdasarkan kualitas mereka. Maka, kata salah seorang pengurusnya, Anthon Riyanto, "Kami hadir di sini, di hadapan Pak Marlin, bukan untuk menadahkan tangan lantas menerima proyek dari Saudara Anthony. Bukan, bukan itu." Anthon, Presiden Direktur Ritra Group (antara lain bergerak di bidang international air & sea freight forwarders), selanjutnya mengatakan, pertemuan ini adalah langkah awal terbentuknya kemitraan sejajar antara Salim Group dan anggota-anggota Hipmi. Dengan demikian, kata Anthon, "Kendati kami sudah memperoleh proyek dari pihak Saudara Anthony, tak berarti akan diam saja kalau Salim Group melakukan hal-hal yang menyimpang. Pokoknya, kami tak akan menggadaikan integritas kami." Pihak Anthony pun segera menyahut, "Kalau dalam kerja sama nanti Salim Group melakukan kesalahan, silakan saja disebutkan." Maka, pagi-pagi Anthony Salim mengingatkan perlunya aturan main, dengan mengibaratkan, "kalau di sana mengajak main catur, jangan nanti berubah jadi main halma." Kemitraan kelompok usaha Liem dengan Hipmi mudah-mudahan bisa dianggap salah satu alternatif mengurangi kesenjangan ekonomi. Karena langkah ini, yang juga diiringi dengan upaya penyertaan modal, akan memperluas jangkauan kerja sama kelompok Liem ke perusahaan-perusahaan menengah (di Jakarta dan daerah). Tidak hanya dengan pribadi-pribadi anggota Hipmi di Jakarta yang kebetulan berteman baik dengan Anthony -- di antaranya Sharif Cicip Sutardjo, bos Ariobimo Group. Cicip sudah kenal Anthony sejak 20 tahun lalu, kemudian keduanya membentuk PT Ariobimo Estate Perkasa, membangun gedung 16 lantai di Jalan Rasuna Said, Jakarta, dengan investasi US$ 40 juta. Bentuk penyertaan modal dalam pembinaan pengusaha lemah atau menengah tidak hanya bisa dilakukan oleh satu grup konglomerat. Bisa saja beberapa raksasa bisnis bergabung menghimpun dana, membentuk lembaga modal ventura. Dan penyertaan modal melalui lembaga ventura inilah yang kemudian ditempuh oleh para konglomerat, antara lain Eka Tjipta Widjaja (Sinar Mas Group), Liem Sioe Liong, Ciputra (bos Pembangunan Jaya dan Ciputra Group), Soedarpo Sastrosatomo (Soedarpo Corporation dan Samudera Group), Sukamdani S. Gitosardjono (Sahid Group), dan Mochtar Riady (Lippo Group). Rabu pekan silam mereka sudah sepakat menanamkan dana Rp 25 milyar, yang akan dikembangkan sampai Rp 100 milyar, dalam upaya mengurangi kesenjangan ekonomi. Eka Tjipta mengatakan kepada TEMPO, "Beberapa teman kami sudah merasakan adanya kesenjangan sosial antara pengusaha lemah dan yang kuat. Tapi saya tidak setuju kalau disebut pri dan nonpri. Mereka yang lemah, siapa saja, memang perlu dibantu." Mereka yang lemah modal selama ini tak memiliki akses ke bank, dan biasanya tak punya agunan untuk memancing utang. Uluran tangan melalui modal ventura, kalau saja diurus secara baik, agaknya bisa merupakan alternatif pemecahan persoalan semacam itu, karena akan merupakan penyertaan ekuiti, dalam jangka waktu lima sampai sepuluh tahun. Lebih dari penyertaan ekuiti, lembaga ventura juga berhak mengerahkan orang-orang yang dipercayainya untuk ikut mengelola perusahaan penerima modal. "Orientasi modal ventura adalah gabungan antara bisnis dan inovasi," kata Ciputra kepada Siti Nurbaiti dari TEMPO. "Kalau tidak berorientasi bisnis, uang yang sudah diberikan tentunya tidak akan kembali. Padahal, pengembalian itu perlu supaya bisa diberikan kepada perusahaan lain yang memerlukannya." Tentu saja modal itu kembali dengan sudah menggendong keuntungan atau nilai saham perusahaan penerima modal sudah naik, karena sudah berkembang. Saham bisa dijual kepada mitranya (perusahaan bersangkutan). Di samping itu, pemberi modal juga berhak menikmati dividen. Itu yang lazimnya terjadi. Sebaliknya, kalau perusahaan tersebut kemudian gagal, pihak pemberi modal tak memperoleh pengembalian atau ganti rugi apa pun. Kendati demikian, modal ventura bukan merupakan proyek sosial. Kalau sepenuhnya merugi, tentunya tidak banyak yang berminat membuka usaha ini di Indonesia. International Finance Company (bagian dari Bank Dunia) sekarang ini tengah memilih satu dari tiga kandidat yang hendak dijadikan mitra usaha modal ventura. Seperti sudah pernah dikabarkan, Lippobank bekerja sama dengan UNDP (salah satu badan PBB yang mengurusi proyek-proyek pembangunan), telah mempersiapkan sebuah perusahaan modal ventura. Kecuali itu, UNDP -- melalui sektor swasta dan dewan pembangunan (development council) sudah pula mempersiapkan dana US$ 10 juta untuk membentuk Forti Feid, juga sebuah usaha modal ventura. Kata Hudiono Kadarisman, penasihat Forti Feid, usaha ventura tersebut akan mengajak bank-bank besar menjadi lead investor, dengan suntikan modal paling tidak US$ 15 juta. Sebenarnya, kita sudah lama memiliki lembaga modal ventura, yakni PT Bahana PUI (Pembinaan Usaha Indonesia), yang bermodal Rp 10 milyar. PT Bahana, didirikan pada 1973, sahamnya dimiliki oleh Bank Indonesia (Rp 6 milyar) dan Departemen Keuangan (Rp 4 milyar). Sampai saat ini usaha tersebut sudah memberikan pendanaan kepada 73 perusahaan. Modalnya pun belakangan ditambah lagi oleh BI sebanyak Rp 7,5 milyar. Kepada wartawan TEMPO Dwi S. Irawanto, Dirut PT Bahana Bahauddin Darus, mengatakan, "Bagi saya, ciri khas dari penyertaan modal ventura adalah memburu capital gain." Itu sudah terjadi, misalnya, ketika pada 1984 Amal Wahana (sebuah cold storage udang di Medan) dilepaskan Bahana, maka saham Bahana naik sekitar 225%. Penyertaan modal Bahana dimulai 1977, senilai Rp 70 juta atau setara 50% dari ekuiti. Kemitraan usaha memang bertujuan untuk menambah keuntungan, bukan pembagian rezeki. Karena cara kemitraan semacam itu akan menjadikan perusahaan lemah yang kena suntikan modal, perlahan-lahan bisa terangkat ke atas. Hingga, suatu waktu, siapa tahu, bisa mencapai posisi yang kurang lebih sejajar dengan si pemberi modal. Asal saja pihak yang diberi memiliki wawasan bisnis dan semangat kerja yang sama dengan si pemberi. Bahwa ternyata Salim Group berkembang menjadi perusahaan raksasa, "itu karena jam terbang kami yang lebih lama," kata Anthony Salim. Dia benar. Asal saja, mekarnya sebuah perusahaan tak disertai dengan fasilitas monopoli, yang di sana-sini masih hidup di negeri kita. Mohamad Cholid, Moebanoe Moera (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus