Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perang emas di borneo

Sejarah pertambangan emas di kalimantan barat diwarnai dengan berbagai pertempuran antara penguasa setempat(sultan sambas) dengan warga Cina yang semakin serakah. Pihak Belanda mengambil keuntungan.

23 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMAS di Kalimantan Barat muncul dari pemberontakan. Di zaman dinasti Ming, antara abad ke-14 dan ~ke-17, sejarah Tiongkok mencatat pemberontakan orang-orang gu~nung yang disebut-sebut bertampang dan berdialek kasar, lagi keras kepala.Mereka memberontak terhadap kaisar. Kalah. Lalu menghindari penangkapan oleh kaki tangan kerajaan, mereka mengungsi. Jung demi jung dilayarkan meninggalkan Cina, dan merapat di Pha-la. Itulah nama Brunei menurut lidah Cina kala itu, daerah yang pernah harus selalu membayar upeti ke Tiongkok. Sebagaimana imigran di mana pun, orang-orang dari utara itu pun siap bertarung dengan kehidupan baru. Antara lain, mereka segera menjadi pekerja tambang yang ulet. Tak satu dua jung, tak satu dua hari para imigran berdatangan. Tapi mereka makin banyak mengalir ke Brunei karena kemelut di Daratan Cina tak segera reda. Orang-orang itu ter~utama berasal dari Fu Kien dan Kwang Tung, daerah yang keras menentang kaisar. Adalah Panembahan Mempawah, salah seorang penguasa di sebagian kawasan yang sekarang disebut Kalimantan Barat, tertarik pada orang-orang sipit yang ulet bekerja itu. Panembahan lalu mendatangkan 20 orang Cina dari Brunei untuk menambang emas di Sungai Duri (90 km dari Pontianak), di wilayah kekuasaannya. "Impor tenaga kerja" yang dilakukan Panembahan pada 1750 itu ternyata sukses. Segera tambang emas Sungai Duri jadi kesohor, dan segera kawasan Kalimantan Barat menjadi tujuan imigran Cina. Pha-la lalu hanya jadi batu loncatan. Mereka masuk lebih ke selatan, ke wilayah Kalimantan Barat sekarang: Ngabang, Landak, Mempawah, dan Mandor. Mereka mencari emas. Tak diceritakan adakah demam emas kala itu seseru demam emas di Benua Amerika di zaman Wild West. Yang terang, di Laut Cina Selatan dikabarkan makin sering terlihat perahu jung melaju dari utara menuju Brunei. Para penumpangnya lalu melanjutkan perjalanan darat lebih ke selatan. Inilah yang diduga oleh para ahli sejarah menjadi pangkal awalnya Kalimantan Barat menyimpan lebih banyak warga keturunan Cina dibandingkan dengan wilayah mana pun di Indonesia. Dari sekitar 2,5 juta warga pro~vinsi tersebut, kini sekitar 30~, adalah keturunan Cina. Sebab, kemudian tak hanya Mempawah dan tak cuma "imigran spontan" yang menyebabkan Cina berdatangan. Sultan Kerajaan Sambas, penguasa wilayah lain di Kalimantan Barat, meniru tetangganya mendatangkan imigran Cina dari Brunei, sepuluh tahun kemudian. Umar Ahmadin, Sultan Sambas itu, menawarkan kepada imigran-imigran yang siap kerja keras ini membuka tambang emas di Montrado, Pemangkat, Bengkayang, dan Lumar. "Menawarkan" memang lebih tepat daripada "mengimpor tenaga kerja". Sebab, orang-orang Cina itu tak lalu disuruh bekerja dan mendapat bayaran dari Sultan. Justru mereka yang mesti membagi perolehan mereka kepada Sultan. Karena mereka tak cuma memiliki tenaga kerja, tapi juga keterampilan - sebut saja teknologi - penambangan emasnya. Karena itu, berdirilah kongsi-kongsi Cina yang bergerak di bidang pertambangan emas. Kesultanan lalu memungut cukai. Dalam buku Report of the Mining Industr~y in Bomeo and Its Economic Prospect (1939) karya Dr. C.P.A. Zijlmans van Emmichoven diceritakan, dari kongsi Cina di Bengkayang dan Montrado saja Sultan Sambas mengutip cukai 27 kg emas tiap tahun. Sedangkan dalam catatan Raffles tahun 1812, bisnis emas di kawasan barat Bomeo itu mencapai œ 11 juta setahunnya. Dan ketika muncul pertikaian antara Sambas dan Mempawah, para imigran itu pun mengail di air keruh. Mereka berserikat, membentuk semacam republik kecil, lalu mempersenjatai diri menyusun kekuatan. Lahirlah "distrik pecinan", tulis Zijlmans, yang "sudah mengatur dirinya sendiri tanpa campur tangan~ baik Panembahan Mempawah maupun Sultan Sambas." Sementara itu, ada pula yang mencoba cari muka. Seorang bernama Lo Fong Fa menjilat Sultan Sambas dengan turut memadamkan pemberontakan Dayak. Imbalannya, di tahun 1770 ia diizinkan membikin Kongsi Lan Fong. Tapi sejak awal tampaknya Lan Fong memang punya tujuan di balik bantuan. Kongsinya tak cuma mencari emas, juga menghimpun tenaga dan mengasah senjata. Enam tahun kemudian, ketika merasa diri sudah kuat dan senjata telah tajam, ia menolak membayar cukai kepada Sultan Sambas. Maka, kembali pecah pertempuran. Ganti kini orang Dayak, yang pemberontakan mereka dulu dibasmi oleh Cina pendatang itu, membantu Sultan. Sultan menang. Lalu ia menetapkan cukai mesti dibayar sekali sebulan, bukan sekali setahun lagi. Namun, pihak Kongsi memperoleh kekuasaan lebih: tak cuma menguasai wilayah tambang, tapi juga berikut orang-orang Dayak yang ada di kawasan itu. Ini berarti Sultan mengkhianati sekutunya. Maka, orang-orang Dayak kian tersisih, bergerak ke pedalaman. Kala itu setidaknya ada delapan kongsi tersebar dari Sambas hingga Pontianak, dan semuanya saja tumbuh kuat. Lan Fong, misalnya, beranggotakan 110 ribu orang. Ketika masing-masing merasa lebih kuat daripada yang lain nafsu invasi tak tertahan lagi. Kongsi Sin Ta Kiu di Sambas bertempur dengan Kongsi Tai Kong yang bemmarkas di Montrado, memperebutkan tambang kaya di Sungai Raya, Singkawang. Setahun bertempur, Sin Ta Kiu kalah. Lalu, sekali lagi, terjadilah politik ambil muka. Sin Ta Kiu menemui Sultan Sambas, mengajak bersekutu menggempur Tai Kong. Imbalannya, ia berjanji akan "setia dan tak akan mendurhakai sultan dan rakyat Sambas." Sultan termakan bujukan beracun ini. Tengku Sambo, bekas panglima Siak, Sumatera, yang menyerah, ditugasi menyerbu Montrado, markas besar Tai Kong, bersama Sin Ta Kiu. Lewat pertempuran sengit, Montrado jatuh. Tapi kemenangan ini mahal harganya: Tengku Sambo gugur, tepat pada saat pertempuran terakhir. Kepalanya dipenggal, dan tengkoraknya disimpan oleh para pewaris Tai Kong. Mudah ditebak, Sin Ta Kiu lalu menjilat ludahnya sendiri. Ia menentang Sultan sambil merangkul bekas musuhnya, Tai Kong dan Mang Ki Tiu. Perang besar pun tak terelakkan. Sultan Tsafioeddin, Sultan Sambas kala itu, menggempur seluruh tambang emas. Pasukan Kerajaan bergerak beringsut ke Pemangkat, Seminis, Sebawi, Bengkayang, Larah, Lumar, Montrado, hingga Buduk. Celaka, satu per satu kongsi itu lemah, tapi tiga menjadi satu tampaknya bukan tandingan tentara Sultan. Pemberontak yang memnguasai tambang emas tentu saja punya uang, maka bisa membayar pasukan dan membeli senjata. Tentara Tsafioeddin di bawah angin. Daerah demi daerah kekuasaan Sambas direbut. Tercatatlah cerita klise dari zaman kolonial: Sultan Sambas lalu mengirim surat kepada Belanda, minta bantuan. Ketika Sambas telah terkepung, dan tinggal -- soal waktu saja jatuh ke tangan komplotan itu, ketika itulah pasukan Belanda, di bawah komando Overste Zorg, datang. Segera, pada 1851 itu, Zorg menyerbu markas Sin Ta Kiu. Di luar dugaan Zorg agaknya, ternyata kekuatan musuh sudah demikian besar Zorg tewas di benteng musuh. Dan pemberontakan semakin berkobar. Orangorang Cina di luar komplotan tiga Kongsi itu ikut mengangkat senjata. Kompeni mendatangkan pasukan tambahan yang dikomando oleh Andersen: Akhirnya pemberontak dipadamkan setelah 5 tahun pertempuran. Para imigran Cina tetap bo~eh menambang emas, namun harus tetap menaati kesepakatan lama soal cukai itu. Hanya saja, cukai tak lagi dibayarkan kepada Sultan, melainkan kepada Belanda. Pada 1884, hasil tambang susut drastis. Kongsi-kongsi Cina itu ptm dibubarkan, karena tak lagi mendatangkan keuntungan. Para penambang, orang-orang Cina itu, lalu beralih kerja menjadi pedagang hasil bumi: kopra, pala, dan lada -- di Kalimantan Barat perdagangan hasil bumi itu hingga kini masih dikuasai kalangan mereka. Sebagian lainnya mengusahakan rumah bordil dan judi di kawasan kumuh. Lalu jadilah mereka, yang jadi pedagang maupun germo dan bandar, penduduk Kalimantan Barat. Sementara itu, emas, yang tak lagi sebanyak di abad ke-17 dan ke-18 itu, tetap saja jadi sumber konflik hingga kini. Bukan lagi antara imigran dan penguasa setempat, melainkan antara rakyat penambang tradisional dan perusahaan pemegang konsesi. ~Zaim Uchrowi dan Djunaini K.S. ~(Pontianak)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus