Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perang meriam di bulan puasa

Perang meriam antara warga desa sungai jingah dengan penduduk kampung melayu selama 3 hari 3 malam. mereka mempergunakan meriam tradisional dengan mesiu karbit. polisi tidak berdaya dibuatnya.

20 Mei 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI kisah di bulan Puasa yang lalu. Bukan perang menahan nafsu, tetapi perang meriam. Moncong-moncong meriam berjejer di sepanjang tepi sungai di dua desa di pinggiran Kota Banjarmasin. Sederet meriam diarahkan ke Desa Sungai Jingah, dan sebaris lagi mengarah ke Kampung Melayu Laut. Itulah dua kampung yang lama berseteru. Bunyi meriam memekakkan telinga. Perang? Ya! Dua desa bertetangga itu hanya dipisahkan Sungai Martapura. Maka, perang pun cukup seru, bak pertempuran di Afghanistan. Warga Sungai Jingah menggelar 12 meriam dari batang pinang atau kelapa. Warga Melayu Laut tak mau kalah, juga menggelar meriam yang sama banyaknya di atas kapal tongkang. Mesiunya tentu saja karbit. Maklum, meriam tradisional. Tapi kadang moncong meriam disumbat benda-benda yang berfungsi bagai peluru. Bahaya juga. Perang meriam itu meletus tiga hari tiga malam. Namun, saat-saat beduk berbuka puasa ditabuh, gelegar meriam pun surut, orang-orang asyik menikmati hidangan. Di malam pertama itu, polisi pun datang. Bukan untuk meramaikan perang, tapi menawarkan gencatan senjata. Yang berani melawan malah ditahan. Itu menimpa Asri, salah seorang penduduk Sungai Jingah. Ia ditahan semalam di Polsek Banjar Timur. Gelegar meriam dari Sungai Jingah pun berhenti. Tak ada yang berani menyulut, karena dilarang Pak Polisi. Tapi meriam dari Melayu Laut tetap membahana. Warga Sungai Jingah pun lantas protes. Lho, kok mereka dibiarkan? "Kampung Melayu Laut itu urusan Polsek Banjar Utara, di luar wewenang Polsek Banjar Timur," demikian polisi Banjar Timur punya alasan, yang disampaikan kepada pembantu TEMPO Almin Hatta. Alasan itu tak bisa diterima warga Sungai Jingah. Suasana pun panas kembali. Perang meriam kembali meletus. Polisi hanya bisa geleng kepala. Berbeda dengan pemuda kedua desa itu, yang pada bermusuhan, pemuda dan pemudinya malah saling melirik. Tak jarang mereka memadu kasih. Tempat ngapelnya sembunyi-sembunyi. "Lha, siapa berani ngapel ke rumah cewek Sungai Jingah, orang kita bermusuhan," kata seorang pemuda Melayu Laut. Ucup, pemuda Melayu Laut, misalnya, toh mempersunting Ida, cewek dari Sungai Jingah. Ida pun lantas jadi warga Melayu Laut. Sewaktu meletus perang meriam itu, Ida terpaksa membela Melayu Laut. Tapi ketika sebuah meriam besar akan disulut, Ida buru-buru berteriak, "Moncongnya jangan diarahkan ke situ." Rupanya, moncong itu mengarah tepat ke rumah orangtuanya di Sungai Jingah.Budiono Darsono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum