Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Kelas menengah di masa pra-kolonial

London : yale university press, 1988 resensi oleh : r.z. leirissa.

20 Mei 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOUTHEAST ASIA IN THE AGE OF COMMERCE, 1450-1680 The Lands Below the Winds. Jilid 1 Pengarang: Anthony Reid Penerbit New Haven & London, Yale University Press 1988 ADAKAH suatu kelas menengah dalam sejarah Asia Tenggara? Pernah ada, tulis analis Dr. Anthony Reid. Sejarawan dari Australian National University ini meneliti soal itu selama sekitar satu dasawarsa. Dalam bukunya yang ia rencanakan terdiri dari dua jilid ini ia mencoba meyakinkan kita bahwa kelas pengusaha yang mandiri pernah muncul di abad ke-15, di samping kelas pengusaha dan petani. Namun, pada abad ke-17 (zaman VOC), karena berbagai hal, kelas menengah itu tergusur dari panggung sejarah. Menemukan kembali suatu kelompok sosial menengah yang mandiri memang tidak mudah. Data (sumber sejarah) tentang itu sangat langka. Karya para pujangga di masa itu tidak selalu membantu. Yang ada sejumlah tulisan dari generasi pertama orang Barat yang datang kemari, yang terheran-heran (atau bersikap sinistis) melihat kota-kota dagang yang mereka sebut "negeri-negeri di bawah angin" (karena wilayah ini dipengaruhi sistem angin muson dan passat). Selain itu, ada pula berbagai monografi para ahli ilmu-ilmu sosial yang bisa dipakai sebagai bahan bandingan. Dari data-data itulah Dr. Reid menyusun studinya. Dalam jilid I ini perhatian utamanya ditujukan kepada gaya hidup. Kehidupan di kota-kota dagang dalam masa "pelayaran niaga" tersebut, seperti yang disaksikan para pendatang dari Barat, kurang-lebih sama -- sekalipun variasi dari tempat ke tempat ada juga. Tetapi menyamaratakan keadaan kadang-kadang bisa menimbulkan keraguan. Juga tentang organisasi sosial. Misalnya disebutkan bahwa peran wanita sangat otonom dalam organisasi sosial Asia Tenggara di masa lampau. Namun, kurangnya contoh kasus menimbulkan pertanyaan atas keabsahan generalisasi itu. Umpamanya, sulit memahami pernyataan bahwa banyak wanita memegang peranan diplomasi atau perdagangan, tanpa contoh-contoh kongkret. Kemudian, benarkah anggapan bahwa munculnya beberapa raja wanita di kerajaan tertentu memang merupakan usaha menghidupkan lagi dinamika perdagangan yang terhambat karena sikap otokratis raja-raja sebelumnya? Juga penjelasan mengenai demografi, yang sebenarnya menarik, menimbulkan pertanyaan. Dikemukakan bahwa jumlah penduduk Asia Tenggara di sekitar 1600 hanyalah 22.435 juta jiwa (Pulau Jawa 4 juta), pertumbuhan rata-rata 0,22%, (Jawa 0,11%), kepadatan 5,55% (Jawa 30,3%). Angka-angka itu mencolok kalau dibandingkan dengan keadaan sekarang. Namun, angka itu diperoleh melalui ekstrapolasi data dari abad ke-19 -- data yang juga belum tentu benar. Lebih menarik lagi penjelasan penulis tentang angka-angka demografis yang cenderung rendah sebelum abad ke-19. Perang dikatakan sebagai salah satu faktor. Perang di Asia Tenggara bukan terutama untuk membunuh, tetapi untuk mendapatkan tawanan yang dipekerjakan sebagai budak. Kematian justru disebabkan oleh hancurnya lahan-lahan pertanian dalam masa perang, dan hal inilah yang menghambat kenaikan angka penduduk. Faktor lainnya adalah pengaruh agama besar seperti Budha Therawada, Islam, dan Kristen, yang cenderung mempengaruhi kehidupan yang teratur. Tidak kurang penting adalah kesimpulan mengenai kesejahteraan badaniah (physical wellbeing) penduduk. Dalam masa ini tinggi rata-rata orang Asia Tenggara tidak berbeda dengan orang Barat ketika itu (155-160 cm). Tapi mengapa kemudian orang Barat rata-rata menjadi jauh lebih tinggi? Salah satu jawaban terletak pada soal gizi, khususnya kekurangan protein hewani. Ini berkaitan dengan larangan memakan berbagai jenis hewan dalam agama-agama besar itu. Selain itu, di Asia Tenggara tidak terdapat pola pemeliharaan hewan secara besar-besaran di padang rumput seperti di Eropa. Sumber protein hewani utama adalah dari ikan. Tapi apakah penjelasan ini cukup memadai? Keadaan data yang demikian sporadis memang memaksa sejarawan menggunakan analogi dari hasil penelitian di masa-masa yang lebih muda. Soal hiburan, misalnya. Bertumpu pada teori Geertz tentang theater state, disimpulkan bahwa hiburan selalu berkaitan dengan seremoni politik. Senenan dan rampogan di Jawa dan sejenisnya di Muangthai menjadi contoh. Bahwa agama-agama besar membawa perubahan dalam sistem nilai tradisional, tampak dalam banyak hal. Paling jelas terlihat dalam soal tata rias. Di kalangan yang masih tradisional (umpamanya di pedalaman) badan dianggap sebagai media utama dari ekspresi artistik. Lebih dari itu, hiasan badan itu berfungsi untuk membangkitkan atau menolak tenaga-tenaga magis. Kebiasaan ini berubah karena pengaruh sistemsistem relegi tersebut. Kebiasaan mentato, melubangi telinga, menggondrongkan rambut, dan lain-lain mulai menghilang di abad ke-16. Karena pengaruh agama-agama tersebut, maka badan manusia dilihat sebagai wahana yang "netral dan natural bagi jiwa yang transenden" (hlm. 83). Namun, perubahan-perubahan itu tidak semata-mata disebabkan soal agama. Ciri kosmopolitan dari kota-kota dagang juga menyebabkan timbulnya "sekularisasi" (dari keadaan tradisional) dan memaksa oran beradaptasi denan keadaan. Agama-agama besar serta proses adaptasi memang dianggap sebagai kerangka pokok dalam buku ini untuk memunculkan masyarakat peda gang tersebut. Dalam jilid pertama buku ini pola perdagangan di masa pelayaran niaga belum dibahas. Agaknya itu berkaitan dengan metodologi yang digunakan penulis. Pedoman penulis adalah historiografi kaum "Annal" (Prancis) khususnya dari Fernand Braudel -- yang berambisi mengungkapkan semua aspek kemasyarakatan dari suatu kurun waktu sejarah (total history). Dua hal dari Braudel menonjol dalam buku ini. Pertama adalah konsepnya mengenai tiga struktur waktu sejarah, yaitu longe duree, conjuctures, dan evenments (hlm. xv). Yang kedua adaah batasan geografis kawasan Laut Tengah dalam abad ke-16 sebagai unit historis. Buku pertama ini berhasil memperlihatkan kedudukan geografis Asia Tenggara sebagai suatu kawasan "Laut Tengah" (antara India dan Cina). Namun, dalam jilid ini hanya satu struktur waktu yang muncul yaitu longue dure Asia Tenggara, berupa struktur-struktur fisik dan sosial yang bertahan selama zaman pelayaran niaga (struktur fisik ini tidak berubah). Meskipun demikian berbagai kesimpulm dari jilid I telah memberi pengertian tentang dinamika perdagangan di masa itu. Berbagai teori lama tentang modernisasi (Max Weber, David MacClelland, dll) diabaikan. Sebagai gantinya muncul penjelasan dengan cara membandingkan kelas menengah Eropa pada masa renaissanee (bougeoisie) dengan kaum pedagang di negeri-negeri di bawah angin" itu. Disimpulkan hahwa kelas menengah Asia Tenggara tidak bisa bertahan dalam se jarah seperti kaum borjuasi tersebut. Itu disebabkan terutama karena sistem hukum yang tidak memungkinkan akumulasi modal yang menjadi prasarat modernisasi di kawasan Barat, selain adanya perbedaan prinsip organisasi sosialnya (hlm 136). Banyak pertanyaan memang masih tersisa, namun kita harus menunggu jilid II. Yang menggelitik adalah perbedaan kesimpulan dengan Dr. J. Van Leur (1934). Menurut Van Leur sampai dengan abad ke-17 pola perdagangan di Asia masih mengikuti tata cara orang Asia, belum ada dominasi VOC. Perbedaan pendapat ini makin menarik karena Van Leur menggunakan sumber sejarah yang sama. Kita memang bisa mempermasalahkan kerangka analisa studi dalam huku ini dan mempertanyakan banyak hal. Toh buku ini berjasa dalam satu segi: memberikan gambaran adanya kelompok masyarakat yang sangat kosmopolitan dan yang menjalankan fungsi perdagangan di Asia Tenggara di masa pra-kolonial. Selain itu, hasil studi ini memperlihatkan relevansi antara studi sejarah tentang masa lampau dan usaha memahami dunia kontemporer. Implikasi praktisnya pembangunan di kawasan ini tidak bisa mengikuti pola modernisasi yang pernah dilalui dunia Barat. Agaknya teori modernisasi yang lebih memperhitungkan situasi di Timur seperti diri David Apter (Politics of Modernization, 1965), lebih bermanfaat. R.Z Leirissa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus