Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Abdi rakyat hanyalah stiker

Banyak pegawai negeri di indonesia merasa bukan menjadi kewajibannya untuk melayani rakyat, apalagi rakyat yang kastanya lebih rendah dibandingkan dengan dirinya. rakyatlah yang membutuhkan mereka.

20 Mei 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INGGRIS adalah negara kerajaan, yang biasa menamai segala sesuatu milik negara dengan awalan Her Majesty, atau His Majesty kalau kebetulan pimpinan kerajaannya seorang pria. Tetapi toh mereka menyebut pegawai negeri sipil mereka sebagai civil servant, dan bukan her atau his majesty servant. Kata civil itu sendiri, menurut kamus Merriam Webst-er, berarti sesuatu yang berkaitan dengan warga negara. Jadi, pegawai negeri non-militer di negara-negara berbahasa Inggris, secara implisit, sudah tahu bahwa tugas mereka adalah melayani warga negara, bukannya melayani raja atau ratu. Di Indonesia, kata pelayan memang menimbulkan konotasi yang kurang nyaman, apalagi untuk para punggawa yang berpendidikan tinggi, berumah bagus, dan berpakaian necis. Terasa ada semacam kasta di antara masyarakat kita yang telah tertanamkan sejak zaman dulu, yang menempatkan peringkat status pedagang, petani, dan apalagi pelayan, di bawah kaum priayi dan kaum menak. Dan pegawai negeri yang pada umumnya diidentikkan dengan kaum priayi tentu sulit untuk bersedia disebut sebagai pelayan. Kalaupun mereka mau disebut sebagai "pembantu", mereka lebih memilih "pembantu menteri", "pembantu gubernur", ataupun "pembantu rektor", tetapi jelas tidak sudi disebut "pembantu rakyat". Oleh karena itu masuk di akal jika banyak pegawai negeri merasa bukan menjadi kewajibannya untuk melayani rakyat, apalagi rakyat yang kastanya lebih rendah dibandingkan dengan dirinya. Mereka yang demikian itu lebih memilih istilah Belanda yang ambtenaar daripada istilah Inggris yang civil servant. Ambtenaar lebih tepat bagi pandangan mereka, karena artinya kira-kira sama dengan "pejabat", atau yang diserahi wewenang. Dengan demikian, secara tersirat, sudah jelas bahwa kedudukannya berada di atas rakyat yang di bawah wewenangnya. Dalam pola hubungan yang demikian, maka dianggap rakyat lebih memerlukan kehadiran pejabat daripada yang sebaliknya. Oleh karena itu, dalam segala urusan, pejabat mempunyai wewenang untuk mengatur, tanpa perlu ada kewajiban untuk menjelaskan mengapa aturan itu dibuat. Dan dalam segala urusan, karena rakyat yang memerlukan, sudah selayaknya jika pejabat mendapat imbalan yang langsung sebagai tanda terima kasih rakyat kepada pejabat yang sudi meluangkan waktu untuk melayani rakyat. Sekali lagi, bukankah mereka bukan "pelayan rakyat"? Bahwa mereka mendapat gaji setiap bulan, itu adalah dari negara. Bukan dari rakyat. Oleh karena itulah maka motto mereka pun "abdi negara" dan bukannya "abdi rakyat". Abdi adalah kata yang lebih halus untuk "pelayan". Dan karena "negara" dalam perwujudannya sering direpresentasikan oleh pejabat-pejabat, maka orientasi pelayanan pun lebih mengarah ke atas. Artinya, apakah seseorang akan mendapat pelayanan secara sopan, cepat, cermat, dan gratis, akan sangat tergantung kedudukannya dalam pemerintahan. Dapat dimengerti jika kerancuan falsafah ini kemudian tampil dalam buruknya berbagai bentuk pelayanan publik, tanpa para "pelayan publik", eh, maaf "abdi negara", tadi merasa bersalah. Kemudian karena rasa berkasta-kasta tadi sudah merasuk ke mana-mana, lemahnya pelayanan publik bukan hanya didapati di instansi pemerintah, tetapi juga di instansi swasta yang dilahirkan oleh pemerintah, seperti BUMN-BUMN, misalnya. Untuk kalangan swasta sepenuhnya, yang merasa bahwa benar-benar hidup mereka akan tergantung dari kepuasan rakyat yang dilayani, tentu akan berusaha memberikan pelayanan yang sebaik mungkin. Mereka sadar bahwa mereka membutuhkan rakyat, dan bukan sebaliknya. Tanpa rakyat yang mau menjadi konsumennya, mereka tidak akan mampu menggaji karyawannya. Maka jangan heran jika informasi tentang Indonesia tidak banyak diperoleh di luar negeri, karena pejabat kita di sana mungkin beranggapan bahwa bukan kita yang memerlukan minat orang luar negeri itu, tetapi orang luar negeri itulah yang memerlukan kita. Juga harap dimaklumi jika untuk memperoleh keterangan tentang rencana tata kota, atau meminta izin mendirikan bangunan, kita harus mengeluarkan uang khusus sambil merengek-rengek minta dikasihani. Seolah-olah aturan dibuat bukan untuk menertibkan, tetapi untuk mempersulit. Bukankah rakyat yang memerlukannya dan bukannya pejabat tata kota? Dan bukankah ia tidak merasa digaji oleh rakyat? Juga harap ditekan kemarahan jika perawat di rumah sakit membentak-bentak Anda, kecuali jika Anda tampil dengan baju safari, baju seragam, atau berdasi. Jangan pula menuntut jika PLN tidak merasa bersalah jika listrik mendadak naik tegangannya sewaktu disambung sehingga merusak alat-alat listrik pelanggan. Meskipun menjadi kewajiban PLN untuk memberi pelayanan yang profesional dan menjamin bahwa hasil perbaikan akan dites sebelum disalurkan ke rumah pelanggan. Atau jika pramugari melayani penumpang dengan merengut, karena mungkin ia yang sehari-hari anak pejabat tinggi tentu merasa kurang patut kalau disuruh melayani seorang buruh tambang yang mampu naik pesawat karena dibayari perusahaan. Karena kondektur pun merasa sudah menjadi pejabat dalam bis, harap tidak gusar kalau Anda diperlakukan secara kasar olehnya meskipun Anda sudah membayar. Mereka itu memang tidak membutuhkan rakyat. Rakyatlah yang membutuhkan mereka. "Konsumen adalah raja" hanyalah stiker yang patut menjadi pajangan dinding toko. Di tempat-tempat pelayanan umum, pejabat (termasuk kondektur bis, bahkan juga petugas kebersihan kantor) adalah raja. Mereka mungkin sudah dilatih baris-berbaris untuk mengenal disiplin, tetapi tidak dibina untuk menjadi "abdi rakyat" yang peringkat statusnya lebih rendah dari mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus