Perang Vietnam, menurut George Ball, tokoh senior Departemen Luar Negeri AS pada masa Kennedy dan Johnson, adalah kesalahan terbesar yang dibuat Amerika dalam sejarahnya. Jenderal William Westmoreland menyebut kekalahan itu adalah "dosa" Presiden Lyndon Johnson: yang terlalu lamban dan mengalah pada opini rakyat Amerika yang menentang perang. Ia juga menuduh media massa suka memutarbalikkan cerita hingga "meracuni" pikiran bangsa Amerika yang ada di rumah. Kolonel Harry G. Summers, pengajar di Army War College, menyimpulkan AS mengalami kegagalan strategi. Bagaimana kenyataan yang sesungguhnya ditulis dengan gamblang oleh Stanley Karnow dalam buku Vietnam A History (1983) dan On Strategy oleh H.G. Summers Jr (1982). RIBUAN nama tertoreh di dinding batu hitam berkilat di Washington. Itulah monumen keterlibatan Amerika Serikat dalam pertumpahan darah di Vietnam. Tak kurang 57.939 warga Amerika yang tewas dan hilang dalam perang yang akan sulit dilupakan oleh negeri yang kini kembali terlibat dalam Perang Teluk itu. Generasi muda Amerika yang pupus itu rata-rata berusia 19 tahun. Mereka adalah saksi berakhirnya keyakinan mutlak Amerika pada kekuatan militernya yang tak terkalahkan dan kebanggaan sebagai bangsa yang paling demokratis. Singkat kata, dengan matinya tunas-tunas Amerika itu, mati pula mimpi sebuah "Abad Amerika". Amerika, dengan pemimpin progresif macam John F. Kennedy (1961-1963) dan Lyndon B. Johnson (1963-1969) ketika itu, yakin dapat mengulurkan etika liberal mereka ke Vietnam untuk menangkal paham totaliter. Namun, sayang, yang terjadi sebaliknya. Vietnam akhirnya justru dikuasai oleh komunis Vietnam Utara yang disokong Uni Soviet -- kendati lebih banyak korban jatuh di pihak komunis, sekitar 600 ribu. Perang Vietnam, menurut George Ball, tokoh senior Departemen Luar Negeri AS pada masa Kennedy dan Johnson, "Barangkali satu-satunya kesalahan terbesar yang dibuat Amerika dalam sejarahnya." Dalam bahasa Profesor Daniel Bell, "Abad Amerika" itu "terperosok di parit Vietnam". Mengapa bangsa besar Amerika kalah? Rakyat Amerika menyalahkan pemimpin politik mereka. Ini hasil pengumpulan pendapat yang dibuat seusai perang. Menurut mereka, para pemimpin itu menahan-nahan aksi militernya hingga mereka batal sebagai pemenang. Tak kurang dari 82 persen bekas tentara Amerika yang terlibat di medan perang, pada survei tahun 80, percaya bahwa mereka "kalah perang karena kami tak dibiarkan menang". Seolah ingin membuktikan kehebatan mereka, 66 persen dari veteran Vietnam itu sudi mengulang perang. Banyak pula perwira senior Amerika yang turun tangan ke Vietnam yakin, kekalahan itu bisa dicegah asal perang lebih diefektifkan. Jenderal William Westmoreland, yang pada 1965-1968 memimpin pasukan AS di kancah perang itu, menyimpan daftar keluhan dalam buku catatannya. Ia menyebut "dosa" Presiden Lyndon Johnson: terlalu lamban dalam mengintensifkan kekuatan perang, menolak usul penyerbuan ke tempat perlindungan musuh di Laos dan Kamboja, dan tidak memberikan perlengkapan perang yang memadai bagi sekutu Amerika, Vietnam Selatan. Johnson juga dinilai terlalu mengalah pada opini rakyat Amerika yang menentang perang. Westmoreland juga menyalahkan Presiden Nixon dan penasihat keamanan nasionalnya, Henry Kissinger, karena "melepaskan" rezim Vietnam Selatan atas persetujuan gencatan senjata 1973, yang memungkinkan pasukan Vietnam Utara bertahan di selatan. Namun, celaan jenderal itu paling keras pada jaringan televisi dan surat kabar. Media massa, katanya, suka memutarbalikkan cerita, hingga "meracuni" pikiran bangsa Amerika yang ada di rumah. Akibatnya, rakyat Amerika menentang perang Vietnam. "Ini pelajaran. Janganlah anak-anak muda dikirim ke medan perang kalau bangsanya sendiri tak mendukungnya", kata Westmoreland. Bukan hanya Westmoreland yang sebal pada wartawan-wartawan itu. Banyak pejabat militer eks Vietnam lainnya yang berpendapat sama. Kuli tinta Amerika di Vietnam, kata mereka, melebih-lebihkan kekejaman perang. Padahal, menurut sisa-sisa laskar Vietnam itu, yang melakukan kejahatan itu justru Presiden Johnson. Ia dengan sengaja tidak mengerahkan upaya agar pendukung perang di negerinya bebas dari ketakutan bahwa mobilisasi rakyat akan membawa petaka pada program-program ekonomi dan sosial dalam negeri. Sedangkan, tanpa dukungan di tanah air, semangat prajurit di lapangan patah. Ini dibenarkan oleh Jenderal Fred Weyand, komandan Amerika terakhir di Negeri Paman Ho itu. "Tentara Amerika benar-benar tentara rakyat, dalam arti milik bangsa Amerika, yang mempunyai kepentingan dengan keterlibatan ini. Jadi, tentara akan bertindak jika rakyat berpendirian sama. Kalau rakyat Amerika sudah ingkar, sia-sia saja usaha untuk tetap mempertahankan kesetiaan prajurit. Sikap ini bertentangan dengan awal cerita, ketika Presiden Johnson mulai mengirim pasukan darat ke medan perang, pada musim semi 1965. Kebanyakan rakyat Amerika, ketika itu, setuju pada putusan orang nomor satu Amerika itu. Sebab kekalahan Amerika diungkapkan juga oleh para tentara bayaran. Mereka menyalahkan komandan-komandan mereka. Bahkan beberapa di antaranya beranggapan bahwa gabungan kepala staf Amerika di perang Vietnam seharusnya mengundurkan diri setelah meluasnya kecaman terhadap perang. Sejumlah perwira angkatan udara, misalnya, ngotot. Seharusnya sejak awal bom-bom skala besar dijatuhkan ke Vietnam Utara. Kalau itu dilakukan, musuh-musuh sudah hancur sejak dulu. Sedangkan para perwira satuan infanteri menggugat sistem rotasi pada perang Vietnam. Dalam sistem itu serdadu Amerika hanya dinas satu tahun di Vietnam -- jangka yang tak cukup panjang untuk membangun esprit de corps yang akan memompa semangat dan mutu pertempuran. Brigadir Jenderal (purnawirawan) Robert Montague, yang mengunjungi Vietnam pertama kali di awal tahun 60-an, melihat kesalahan utama Amerika adalah memasang unit konvensional yang pernah dipakai untuk memukul mundur agresi Rusia di Eropa Barat. Metode yang tak cocok diterapkan ke Vietnam, daerah asing berhutan dan bersawah, yang gerilya Vietkongnya tak bisa dibedakan dari petani biasa. Daftar keluhan semakin panjang lagi dengan pendapat Laksamana Thomas H. Moorer, bekas ketua gabungan kepala staf. Ia berpendirian bahwa yang salah adalah lokasi perang. "Seharusnya kita berperang di utara, tempat semua jelas musuh. Jadi, tak ada kekhawatiran telah menembak rakyat sipil. Di selatan, kita harus berhadapan dengan wanita yang menyimpan granat di balik kutangnya atau di popok bayinya. Saya ingat dua anggota marinir kami dibunuh oleh pemuda yang justru belajar bola voli dari mereka," kata Moorer. Agaknya, kata Moorer, Lyndon Johnson tak ingin menggulingkan pemerintah Vietnam Utara. "Seharusnya satu-satunya alasan untuk perang adalah untuk menggulingkan pemerintah yang tidak disukai." Lain lagi tinjauan akademis dari Kolonel Harry G. Summers, pengajar di Army War College. Summers, yang juga pemimpin batalyon di perang Vietnam, menyimpulkan bahwa AS mengalami kegagalan strategi di sana. Terutama, praktek menguber-uber gerilya Vietkong yang, padahal sengaja disebarkan untuk mengimpit kekuatan Amerika, sampai unit di Vietnam Utara siap meluncurkan operasi besar. Dengan kata lain, usaha tentara Amerika cuma bikin letih dan sia-sia. "Seperti banteng yang memain-mainkan kain matador, bukan sebaliknya." Summers menegaskan bahwa seharusnya Amerika sudah menyerang di akhir 1965, setelah merusak usaha komunis untuk melintas Vietnam Selatan dari pegunungan ke daerah berpenduduk sepanjang pantai. Pasukan ini, mestinya, menguasai daerah yang memisahkan Vietnam Utara dan Selatan, dan maju ke wilayah tetangga, Laos, sampai ke perbatasan Muangthai di Mekong untuk mengunci rute penyusupan lewat jalur selatan. Alternatif ini memerlukan lebih sedikit orang dan bisa mengurangi jumlah korban dibandingkan misi "cari dan hancurkan" Westmoreland. Namun, itu semua teori. Kenyataan yang sesungguhnya, perjuangan komunis diilhami oleh dedikasi yang luar biasa untuk mempersatukan Vietnam di bawah pengawasannya. Akibatnya, perang dengan Amerika dan sekutunya Vietnam Selatan dianggap sebagai kelanjutan perlawanan dua ribu tahun pada pemerintahan Cina dan Prancis. Mereka sudah siap menerima jatuhnya korban yang tak terbatas untuk mencapai cita-cita suci. Sikap ini diperlihatkan pemimpin mereka Ho Chi Minh ketika berhadapan dengan penjajah Prancis. "Boleh saja kamu bunuh 10 orang kami untuk membalas pembunuhan satu orang di pihakmu. Tapi, bahkan lebih dari itu pun kamu akan tetap kalah dan saya menang." Sikap yang tak memandang korban ini juga menyembul dari Jenderal Vo Nguyen Giap, komandan pasukan komunis yang tersohor itu. Suatu kali katanya, "Setiap menit pun di bumi ini ratusan ribu orang mati." Ia seperti tak sadar bahwa itu adalah "hidup atau matinya seratus, seribu, sepuluh ribu manusia, bahkan teman sebangsa." Selama perang melawan Amerika, ia bicara tentang pertarungan sepuluh, lima belas, dua puluh, lima puluh tahun, tak peduli biaya, asalkan sampai ke "kemenangan terakhir". Rupanya, kesalahan strategi perang Amerika menghadapi Vietnam Utara dan Vietkong karena menerapkan nilai-nilai di Amerika sendiri ke negeri timur itu. Contohnya sang komandan Westmoreland mengira ia mampu menekan Vietnam dengan banjir darah. Harapan Westmoreland pemimpin-pemimpin pihak komunis itu akan sadar bahwa perang akan menghabiskan warganya "sampai ke titik bencana nasional bagi kelanjutan generasi", dan akan mendorong mereka untuk menuntut perdamaian. Ternyata, seperti yang disimpulkan oleh Konrad Kellen, ahli dari RAND Corporation, gagal, menyerah, atau perpecahan tak dikenal dalam kamus komunis. Letnan Kolonel Stuart Herington, penasihat militer AS yang bertugas di Hau Nghia 1971-1972, mau tak mau mengagumi kegigihan, sikap agresif, dan keberanian pasukan Vietnam Utara. Seorang jenderal Amerika yang menyembunyikan namanya malah menyebut tentara komunis di negeri itu sebagai "musuh terbaik yang pernah dihadapi dalam sejarah Amerika". Jenderal Maxwell Taylor, yang ikut menyetujui tindakan Kennedy ke Vietnam dan kemudian pada masa pemerintahan Johnson menjadi duta besar di Saigon, seperti baru tersadar setelah perang. Pertama, kata Taylor, pihak Amerika tak kenal kemampuannya sendiri. "Kami pikir paling-paling kita menghadapi jenis perang Korea yang lain, ternyata negara ini berbeda sekali," katanya. "Kedua, kami juga tak kenal sekutu kami Vietnam Selatan. Lebih tidak tahu lagi Vietnam Utara. Siapa Ho Chi Minh? Tak seorang pun tahu. Jadi, kalau kita tak kenal musuh kita, sekutu kita, dan juga diri kita sendiri, lebih baik jauhkan urusan kotor macam itu. Itu sangat berbahaya," ujar Taylor jujur. Tak kurang bingungnya bekas penasihat politik luar negeri Nixon, Henry Kissinger. Ia bahkan merasa frustrasi menghadapi komunis waktu melakukan perundingan rahasia dengan mereka. Kissinger menghindari pengulangan kurang tegasnya pembicaraan gencatan senjata pada perang Korea, yang akhirnya menggantung sampai dua tahun karena ia percaya Amerika tak akan memperkeras diplomasi dengan ancaman kekerasan. Tekanan keras pada pemerintahan Nixon untuk mencapai penyelesaian Vietnam datang dari rakyat. Pada waktu itu mereka menghendaki perdamaian berapa pun biayanya. Pada awal tahun 1968, pada malam tahun baru, komunis melancarkan serangan dramatis (yang dikenal sebagai serangan Tet) ke kota-kota di seluruh Vietnam Selatan. Kissinger memandang itu sebagai "titik balik" dari tindakan Amerika di Vietnam. "Untuk selanjutnya, strategi kita yang paling hebat pun tidak mungkin diselesaikan dalam waktu singkat atau secara politis gampang diterima oleh rakyat Amerika." . Kolonel Harry G. Summers Jr., yang pernah mengomandani satu batalyon infanteri dalam Perang Vietnam, menulis buku On Strategy. Ia menganalisa kekalahan Amerika. Sebuah percakapan di Hanoi, April 1975, beberapa hari sebelum Vietnam Selatan jatuh. "Anda tahu, Anda sebenarnya tak pernah mengalahkan kami dalam satu pertempuran pun," kata seorang kolonel Amerika. KOLONEL Vietnam Utara itu diam sejenak, lalu katanya, "Mungkin saja begitu. Tapi itu tidak relevan." Salah satu aspek yang membuat pihak tentara Amerika frustrasi dalam Perang Vietnam adalah, sementara logistik dan taktik direncanakan dan dilaksanakan dengan tepat, toh mereka terusir juga dari Vietnam Selatan. Padahal, di tahun-tahun puncak pertempuran di Vietnam, Amerika dengan sangat rapi bisa mengorganisasikan hampir sejuta tentara. Tak satu pun tentara Amerika di Vietnam kekurangan makan, tak punya barak tempat istirahat, kekurangan senjata dan amunisi. Belum ada dalam sejarah perang sampai waktu itu ada pasukan yang mendapat perlengkapan kebutuhannya di garis depan sebagaimana tentara Amerika di Vietnam. Dan sesungguhnya, dalam pertempuran-pertempuran, mereka pun tak terkalahkan. Pihak Vietnam Utara dan gerilyawan Vietkong selalu bisa dipukul mundur dengan meninggalkan korban dalam jumlah yang dahsyat. Jadi, bagaimana Amerika bisa kalah? Dalam tahun-tahun pertama, selama sekitar enam tahun, pihak Vietnam Selatan yang dibantu Amerika menghadapi gerilyawan Vietkong dengan cara yang tepat. Boleh dikata, waktu itu pihak Selatan berada di atas angin. Vietkong selalu dipaksa mundur dengan meninggalkan korban besar. Tapi pada 1963 pihak Utara mengubah strategi. Tak cuma gerilyawan yang maju, juga tentara resmi Vietnam Utara. Keduanya bahu-membahu melakukan serangan terbuka ke wilayah Vietnam Selatan. Celakanya, reaksi Amerika-Vietnam Selatan tak berubah. Tetap menjalankan strategi bertahan, bertumpu pada kekuatan angkatan darat Vietnam Selatan yang dibantu dari udara oleh Amerika. Cara ini tak cukup ampuh untuk menghadapi serangan kombinasi, yakni aksi gerilya dan perang terbuka. Dua tahun kemudian, 1965, para jenderal Selatan dan Amerika menyadari, strategi bertahan tidak cukup. Dibutuhkan bantuan pasukan tempur Amerika yang lebih kuat, untuk juga melakukan strategi menyerang. Ketepatan membaca situasi ini dibuktikan pada pertempuran di Lembah Ia Drang, Vietnam Tengah, November 1965. Waktu itu tiga resimen angkatan darat Vietnam Utara berhadapan dengan Divisi Kavaleri Pertama Amerika. Selama 10 hari, berlangsung pertempuran seru. Dan akhirnya pihak Utara mundur teratur, meninggalkan banyak korban. Jenderal Palmer, yang waktu itu mengomandani tentara Amerika di Vietnam Selatan, menulis laporan sebagai berikut: "Dalam pertempuran yang medannya ditentukan oleh pihak musuh itu, tentara Vietnam Utara kita paksa mundur teratur. Sejak saat itu, paling tidak, siapa menekan siapa jadi berbalik." Menurut Palmer, sudah waktunya bagi Amerika, yang selama ini bertahan, untuk melakukan serangan ofensif. Yang dimaksud, suatu serbuan angkatan darat, langsung ke Vietnam Utara -- bukan untuk menguasai negara itu, tapi sekadar melumpuhkan kekuatan militernya. Tapi kesempatan itu hilang percuma. Strategi Amerika memang bertahan, dan ternyata sulit diubah karena politik. Strategi itu digariskan oleh pemerintahan Presiden Lyndon B. Johnson. Masalahnya, meskipun Amerika tahu untuk memenangkan perang harus melakukan serangan ofensif ke Utara, ada kekhawatiran hal itu bisa memicu perang nuklir. Gedung Putih takut bila kemudian RRC, sebagai pelindung Vietnam Utara, melibatkan diri, dengan alasan Amerika telah melakukan agresi -- betapapun serangan itu bukan untuk menaklukkan sebuah negara. Maka, sinyalemen Jenderal Palmer sia-sia saja. Amerika tetap tak melakukan serangan ofensif. Hanya sekali-sekali ada serangan udara dan laut oleh Amerika ke Vietnam Utara. Memang, ada sedikit perubahan. Para komandan di garis depan diperintahkan untuk tak hanya menunggu serangan Vietkong yang sudah menelusup ke Selatan, tapi langsung mencari dan menggebuk mereka. Juga, sekaligus memutuskan jalur logistik mereka. Tapi cara ini sudah jelas tak memukul pusat kekuatan musuh yang berada di Vietnam Utara. Yang diserang hanyalah kekuatan sampingnya. Strategi Amerika tetap buta pada kenyataan ini: serangan gerilyawan Vietkong hanyalah taktik, bukan strategi Utara. Dan tujuan taktik itu adalah untuk mengulur waktu agar kekuatan Amerika di Selatan aus dengan sendirinya. Kata Norman Hannah dari Departemen Dalam Negeri Seksi Urusan Luar Negeri (Foreign Service Officer), yang lama bertugas di Asia Tenggara, "Ini seperti banteng yang menyerang topi sang matador, tapi bukan matadornya itu sendiri." Dalam meresensi biografi Jenderal Westmoreland, Hannah menulis bahwa Jenderal Westmoreland sebenarnya tahu sejumlah faktor yang membuat Perang Vietnam makan waktu. Tapi tampaknya sang jenderal tak melihat hal ini sebagai sesuatu yang perlu dikaji. Westmoreland bersedia memikul beban waktu itu karena ia yakin "akhirnya kemenangan berada di pihak kita." Buat Hannah, keyakinan Jenderal Westmoreland tak menjawab masalah. Sementara itu, waktu terus berjalan menggerogoti semangat Amerika. Daripada membuka pertempuran di front yang luas -- maksudnya menyerang ke Utara -- Amerika mencoba melayani strategi Utara tarik-ulur waktu. Memang benar, berdasarkan strategi bertahan itu, taktik Amerika selalu diusahakan disesuaikan dengan perkembangan perlawanan musuh, dan memang selalu unggul dalam semua kontak senjata sebelum terjadi serangan besar menjelang kemenangan Vietnam Utara, 30 April 1975. Prof. Hugh M. Arnold dari Universitas Nebraska mencoba mengkaji taktik perang Amerika di Vietnam, dan ia menemukan 22 perubahan, yang terbagi dalam tiga tahap besar. Tahap pertama, sampai sekitar 1962, taktik bertempur Amerika didasarkan pada perintah untuk menahan agresi kaum komunis yang dilancarkan lewat gerilyawan Vietkong. Ini dinilai berhasil, karena pihak Vietnam memang belum melakukan ofensif besar-besaran. Kemudian, dari 1963 sampai 1968, Amerika mengubah taktik, tak cuma menunggu serbuan, tapi mencari Vietkong yang menelusup ke Selatan. Dalam bahasa perangnya, inilah taktik counterinsurgency. Ini juga berhasil, meski Vietkong sudah bahu-membahu dengan tentara resmi Vietnam Utara. Baik dalam kontak senjata dengan gerilyawan maupun perang terbuka dengan tentara Vietnam Utara, Amerika tetap unggul. Celakanya, kapan hanya ada serangan gerilyawan, dan kapan ada serangan kombinasi, sulit diantisipasi. Maka, tentara Amerika selalu menyiapkan diri menghadapi serangan kombinasi, dan akibatnya, operasi militer yang mubazir. Dalam jangka panjangnya, dan inilah rupanya tujuan Vietnam Utara, tentara Amerika jadi capek. Pada tahap akhir, sejak 1969, tentara Amerika sekadar mempertahankan integritas keterlibatan Amerika di Indocina. Suatu usaha bertahan habis-habisan yang sia-sia. Dari tahap-tahap itu saja, terlihat bahwa hanya sampai tahun 1962 keterlibatan Amerika di Indocina punya dasar kuat: antara tujuan dan kenyataan di medan perang klop. Di medan perang para komandan tak mendapat kesulitan menerjemahkan tujuan itu dalam taktik menahan komunis. Dalam tahun-tahun inilah perang terbuka dengan tentara resmi Vietnam Utara sering terjadi dan selalu dimenangkan oleh Amerika dan Vietnam Selatan. Boleh dikata, hanya dalam periode ini Amerika benar-benar melakukan pertempuran. Selanjutnya, meski tetap menang dalam pertempuran, taktik perang Amerika tak cukup efisien mengatasi kombinasi serangan gerilya Vietkong dan serbuan tentara Vietnam Utara. Amerika dan Vietnam Selatan berhasil menahan dan memukul balik pihak Utara. Namun, dilihat dari strategi, apalagi strategi jangka panjang, Amerika kena tipu. Sialnya lagi, Amerika tak pernah bisa memotong garis perbekalan musuh, tak pernah benar-benar bisa mengisolasi para gerilyawan yang telanjur masuk dari pusat komando mereka di Utara. Lebih celaka lagi, pada 1968 itu, setelah serangan Tet yang terkenal (serangan besar-besaran tentara Vietnam Utara ke Selatan di Tahun Tet, tahun 1968 -- Tahun Kera menurut penanggalan Cina -- yang memang dimenangkan oleh Amerika dan Vietnam Selatan) pihak Utara mengubah taktik lagi, yang makin menyedot kekuatan militer Amerika. Serangan gerilyawan tetap dilakukan secara intensif, tapi tak lagi dalam kelompok besar, melainkan hanya dalam kelompok yang paling banter terdiri dari 20 orang. Ini berarti, lokasi pertempuran makin banyak. Sementara itu, tentara resmi Vietnam Utara mempersiapkan serangan besar-besaran. Benar, pada 1969, awal pemerintahan Nixon, Menlu Henry Kissinger menyadari bahwa strategi tentara Amerika di Vietnam kurang pas. Sebuah diskusi segera diadakan. Tapi kemudian mereka yang terlibat dalam diskusi hanya bisa mengusulkan satu perbaikan yang tak membuka jalan buat menang, yakni: mengintensifkan pengeboman terhadap Utara. Kenapa? Strategi bertahan tak bisa diubah, karena hambatan politik. Setahun sebelum Vietnam Selatan jatuh, Brigadir Jenderal Douglas Kinnard mensinyalir, "70% dari semua jenderal yang bertugas di Vietnam tak tahu apa sebenarnya tujuan Amerika melakukan perang di Vietnam." Padahal, antara strategi perang dan tujuan politik ada kaitan yang erat. Dari sinyalemen itu bisa dipahami bila dalam diskusi yang diprakarsai oleh Kissinger tak ada pembahasan yang mengena pada pokok persoalan. Amerika tak berani mengubah strategi bertahannya karena alasan politik. Akibatnya, itu tadi, untuk mengubah situasi perang, hanya diusulkan pengeboman yang ternyata juga tak banyak mengurangi kekuatan Utara. Dengan kata lain, Amerika dalam Perang Vietnam tak memiliki yang disebut "mempertahankan kebebasan bergerak", karena terikat oleh tujuan politis tadi. Padahal, untuk memenangkan perang kebebasan itu penting bagi para komandan di garis depan. Sebaliknya, pihak Vietnam Utara sungguh punya kebebasan beraksi itu. Mereka bebas melaksanakan teori perang dari jenderal Prusia yang sampai di abad modern ini masih relevan. Menurut teori Carl von Clausewitz (meninggal di abad ke-19) yang ia beberkan dalam bukunya Tentang Perang, ada tiga cara mengalahkan musuh dalam serangan ofensif. Pertama, hancurkan kekuatan persenjataannya. Bila ini gagal, cara kedua mesti dilakukan, yakni serbu negaranya. Bila kedua cara tak membawa hasil juga, tiba saatnya menggunakan cara ketiga, merontokkan semangat berjuang di pihak lawan. Cara ketiga ini banyak faktornya. Antara lain, membuat lawan terpaksa mengeluarkan biaya besar untuk perang, dengan cara memaksanya melakukan gerakan-gerakan yang sebenarnya sia-sia. Kemudian membuat musuh makin menderita dan capek secara fisik dan moral, secara berangsur-angsur -- suatu taktik yang sasarannya pengaruh "langsung pada politik jangka panjang". Pihak Utara bisa melakukan strategi ofensif yang terbuka karena tujuan politik mereka sangat gamblang menguasai Vietnam Selatan. Benar, Utara tak pernah menang perang. Baik Vietkong maupun tentara resmi Vietnam Utara tak pernah bisa menghancurkan persenjataan lawan. Mereka pun tak bisa melaksanakan doktrin kedua Clausewitz, yakni menyerbu Selatan secara besar-besaran secepatnya. Tapi mereka sangat berhasil menjalankan doktrin ketiga. Dengan cara mengulur waktu, dan melakukan serangan kombinasi, pihak Utara pun mengombinasi taktik bertahan dan menyerang. Taktik ini diambil setelah dalam tahap pertama Utara menyadari tak mungkin memenangkan perang melawan kekuatan modern dan tentara Amerika yang terlatih. Ini terbukti dalam pertempuran di Lembah Ia Drang, 1965, pihak Utara dipukul telak. Dalam taktik bertahan dan menyerang, tentara Amerika dipaksa mengeluarkan biaya besar untuk melayani serangan gerilyawan Vietkong yang sekali-sekali diseling oleh serangan tentara Vietnam Utara. Tentara Amerika dipaksa terus-menerus waspada, untuk menghadapi serangan tentara resmi Vietnam Utara yang entah kapan munculnya. Akibatnya, tentara Amerika jadi capek. Apalagi pihak Utara diuntungkan oleh perkembangan politik di dalam negeri Amerika. Munculnya demonstrasi anti-perang. Masalah bagi Utara, seperti kemudian dikisahkan oleh Jenderal Van Tien Dung dalam tulisannya, Kemenangan Besar Musim Semi, adalah memilih kapan serangan besar harus dilakukan. Bahwa akhirnya Utara menang, tampaknya serangan yang mereka tentukan -- meski dalam perang itu sendiri mereka kalah -- tepat. Dalam serangan besar Tet pada 1968 dan kemudian serangan Paskah pada 1972, misalnya, pihak Utara menderita kekalahan dahsyat. Lebih dari 100.000 anggota pasukan Utara tewas, belum lagi yang luka-luka. Tapi, celakanya, pihak Amerika-Vietnam Selatan tak bisa menarik keuntungan dari kemenangan itu. Di Vietnam Utara yang aman, kekuatan militer dibangun kembali. Hingga sebuah serangan menentukan, April 1975, jatuhlah Selatan. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini