Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Patung celeng hitam dari tanah liat itu digantung di pagu ruang depan galeri. Posisi celeng itu, yang berukuran sedikit lebih besar daripada kucing,terbalik. Keempat kakinya diikat tali dadung ke atas. Perutnya berlubang. Djoko Pekik, si pemilik galeri, mengisi perut patung itu dengan uang, cengkeh, beras, dan mobil-mobilan.
Pekik memesan patung babi hutan itu dari perajin gerabah di kawasan Kasongan, Bantul, Yogyakarta. ”Simbol segala macam harta kekuasaan,” kata Pekik kepada Tempo di kediamannya, Padepokan Djoko Pekik, di Desa Bedok, Kasihan, Bantul. ”Celeng rakus harta dan kekuasaan.”
Pertengahan Juni lalu, Pekik kembali unjuk kebolehan bersama sejumlah perupa lain. Bukan celeng lagi yang dia buat. Di Padepokan Djoko Pekik, ia saling lukis dengan Kartika Effendi dalam acara ”Nostalgia Romantis Bersama Maestro”. Acara itu mempertemukan perupa tua dan muda. Padepok an Pekik memang kerap menjadi tempat berkumpul seniman.
Pekik memang identik dengan celeng. Pelukis 73 tahun ini berkibar dengan lukisan trilogi celeng: Susu Raja Celeng, Berburu Celeng, serta Tanpa Bunga dan Telegram Duka. Lukisan Berburu Celeng laku dijual Rp 1 miliar.
Patung celeng tanah liat yang tergantung di atas langit-langit itu sedianya akan dipecah Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam pembukaan pameran lukisan Berburu Celeng. Babi hutan dianggap metafora rezim Soeharto yang rakus akan kekayaan rakyat. Pameran tunggal Pekik itu digelar di Bentara Budaya Yogyakarta pada 17 Agustus 1998.
Acara pecah patung celeng itu batal karena Sultan urung hadir. Pameran Berburu Celeng berlangsung pukul 19.00 hingga 04.00, ketika masyarakat di seluruh Indonesia bersiap mera yakan hari kemerdekaan. Ratusan orang datang ke pameran. ”Heran saya, satu lukisan ditonton ratusan orang,” kata Pekik.
Ide membuat lukisan celeng sebenarnya sudah muncul ketika dia berada di dalam penjara. Pekik dijebloskan ke penjara Wirogunan atau dikenal penjara Benteng, Yogyakarta, pada 1965 hingga 1972 karena mendirikan Sanggar Bumi Tarung di bawah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Selama dalam tahanan, Pekik terbiasa dengan segala bentuk penyiksaan berupa pukulan dan tendangan sepatu lars. Siksaan paling menyakitkan, kata Pekik, tak boleh membuat karya seni. Pekik hanya memberontak dengan sum pah serapah. Siapa yang membuat sengsara? Kekuasaan siapa? Ya, kekuasaan celeng! Simbol kerakusan kekuasaan.
Setelah keluar dari penjara, celeng tak langsung muncul dalam lukisan. Pekik menyambung hidup dengan menjadi tukang jahit batik lurik, membuat kemeja, jas, dan celana panjang. Profesi ini tak membuat kehidupan ekonomi keluarganya mantap. Ia menjadi penjahit lebih dari 15 tahun.
Pada 1989, karya Pekik menjadi bahan penelitian Astari Rasjid, pelukis yang ketika itu sedang belajar di Amerika Serikat. Sebelum mendekam di penjara, Pekik memang sudah mema merkan lukisannya di Rusia dan beberapa negara Eropa Timur. Pekik dilarang berpameran di luar negeri ketika zaman Soeharto.
Setelah muncul disertasi Astari, Pekik diundang ikut pameran Keliling Indonesia-Amerika Serikat (KIAS). Tema lukisannya yang sederhana tentang kehidupan tukang becak, petani, dan pe ngamen disanjung kurator Amerika. Pekik juga mengikuti Pameran Indonesia-Belanda (Pakib).
Kehadiran Pekik dalam pameran luar negeri mengundang protes seniman di Indonesia karena statusnya sebagai bekas tahanan politik dan anggota Lekra. Namun protes itu justru makin melambungkan nama Pekik. Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja membela Pekik dengan mengatakan karya seni tak ada kaitannya dengan ideologi. Karyanya makin diburu para kolektor lukisan.
Pada Desember 1996, Pekik baru me wujudkan ide celeng yang sudah ada di benaknya saat berada di dalam penjara melalui lukisan Susu Raja Celeng. Lukisan ini dipamerkan dalam peringatan sewindu takhta Sri Sultan Hamengku Buwono X di Keraton Yogyakarta.
Lukisan Susu Raja Celeng, kata Pekik, sengaja dipilih supaya mengingatkan Sultan. Celeng simbol angkara murka penguasa. Ia bisa memakan dan menabrak apa saja. ”Kalau mau jadi raja, silakan pilih, seperti raja celeng atau bukan,” ujar Pekik.
Kemudian politik Indonesia bergolak pada 1998. Demonstrasi terjadi di mana-mana dengan target menggu lingkan Soeharto. Pekik menggambarkan penguasa Orde Baru itu seperti raja celeng yang diburu ribuan orang. Jadilah lukisan Berburu Celeng. Dalam pameran tunggal di Bentara Budaya, Pekik mematok harga Rp 1 miliar.
Berburu Celeng diminati kolektor Jerman, museum Singapura, dan pe ng usaha lokal, Siswanto. Pekik memi lih menjual lukisan ke pembeli lokal dengan pertimbangan kedekatan. Jadi, ia bisa melihat lukisan kapan saja. Kalau ada tamu ingin melihat, tinggal telepon dan mengantar ke rumah pengusaha itu di kawasan Kelurahan Kotabaru, Yogyakarta.
Lukisan celeng, kata Pekik, dibuat dengan tebusan nyawa. ”Kalau tidak satu miliar, enggak,” kata kakek 15 cucu ini sambil tertawa. ”Berkarya bukan pekerjaan, melainkan peluapan batin.”
Pekik pun dikenal sebagai pelukis satu miliar. Sastrawan Danarto menyatakan, dari segi finansial, penghargaan terhadap karya Pekik sejajar dengan Raden Saleh dan Hendra.
Setahun kemudian, 1999, Pekik melanjutkan kisah celeng dengan membuat lukisan Tanpa Bunga dan Telegram Duka. Lukisan ini, kata Pekik, menceritakan kematian celeng tanpa ada orang melayat dan memberi bunga.
Kepiawaian Pekik sebenarnya tak hanya trilogi celeng. Dia sudah menghasilkan 300 lukisan sebelum masuk penjara. Namun sebagian besar lukisannya lenyap ketika ia dibui. Hanya ada dua lukisan yang dapat diselamatkan, yakni Tuan Tanah dan Gadis Sekolah Dasar.
Lukisan Tuan Tanah diselamatkan menjelang Pekik ditangkap. Ia menggulung lukisan dan menitipkannya ke teman perempuannya, Tini Purwa ningsih, yang aktif di Sanggar Pelukis Rakyat. Tini kini menjadi istri Pekik dan melahirkan delapan anak.
Sebelum mendekam di penjara, Pekik menjual lukisan Gadis Sekolah Dasar ke Kesenian Yogyakarta dengan harga ratusan rupiah. Rupanya lukisan itu kembali ke yang empunya. Pada 2000, ada orang yang menawarkan lukisannya. Ia menduga lukisan itu dicuri dari Kesenian Yogyakarta. Pekik membeli kembali lukisannya dengan harga Rp 35 juta.
Bocah lelaki itu berperan sebagai Kleting Kuning, gadis cantik dalam pertunjukan cerita rakyat Andhe- andhe Lumut. Djoko Pekik artinya pemuda tampan menjadi pemeran paling muda. Saat pentas keliling, Pekik kecil menempuh perjalanan sampai sepuluh kilometer berjalan kaki sehingga acap kali digendong pemain dewasa.
Pekik kecil menggambar dan membuat kostum panggung dari kulit kambing. Bocah kelas II sekolah dasar ini menggunakan pewarna alami. Hitam dari jelaga asap lampu minyak tanah, putih dari batu kapur alias gamping, kuning dari kunir, dan hijau dari daun pampasan.
Kemampuan melukis, kata Pekik, muncul begitu saja sejak kecil. Tak ada yang mengajari karena kedua orang tuanya petani buta huruf. Pekik, yang lahir di Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah, 2 Februari 1937, ini bahkan tadi nya bercita-cita menjadi lurah.
Tak lulus sekolah dasar dan pendi dikan menengah, bungsu 12 bersaudara ini melanjutkan belajar di Akade mi Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta, 1957-1962. Kemampuan melukisnya dimatangkan dalam Sanggar Bumi Tarung bersama Amrus Natalsya.
Sukses trilogi celeng dengan harga miliaran itu tak membuatnya melupa kan masa lalu. Masa kecilnya di hutan jati terus dikenang hingga sekarang. Konsep hidup bersama alam pun di terapkan dengan membangun rumah di hutan Ka sihan. Lahan tiga hektare itu dibeli pada 1994 dan dibangun pada 1997.
Pekik mendirikan bangunan tanpa membabat pohon. Bangunan berdiri dari sisa tanah yang tak ditumbuhi pohon. Bangunan utama dipakai sebagai galeri. Rumah tinggal merupakan bekas tempat pembakaran bata merah alias tobong. Ada juga bangunan penyim pan perangkat gamelan Kyai Gleger dan Kyai Lampor.
Di rumah hutan itu, Pekik menghabiskan masa tuanya. Bangun tidur, kakek kurus berkuncir ini menonton berita di televisi. Lalu senam pagi dan bersepeda memutari alas di sekelilingnya. ”Saya sudah tua, mungkin berhenti di sini,” kata dia. ”Keinginan terus berkarya ada, tapi daya kekuatan sudah menurun.”
Yandi Rofiyandi, Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo